Silang Pendapat antara Kepala BKPAD dan Pengamat Soal Serapan Anggaran Kaltim Jelang Akhir Tahun
Penulis: Akmal Fadhil
2 jam yang lalu | 0 views
Ilustrasi.
Samarinda, Presisi.co - Menjelang penutupan tahun anggaran 2025, perhatian publik tertuju pada rendahnya penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim).
Data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) mencatat hingga 31 Oktober, realisasi keuangan Pemprov Kaltim baru mencapai 58,81 persen, sementara realisasi fisik berada di angka 71,63 persen.
Kepala BPKAD Kaltim, Ahmad Muzakkir, meminta publik melihat capaian tersebut secara proporsional. Ia menilai kondisi tahun ini tidak bisa dibandingkan langsung dengan 2024 karena adanya sejumlah kebijakan baru dari pemerintah pusat.
“Sejak awal tahun, daerah harus menyesuaikan diri dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja, serta surat edaran bersama Kemendagri dan Kemenkeu yang menunda pengadaan barang dan jasa. Akibatnya, kegiatan baru bisa dimulai pada April,” jelas Muzakkir, Rabu 5 November 2025.
Ia menambahkan, dengan waktu pelaksanaan efektif hanya tujuh bulan, capaian hampir 60 persen sudah tergolong baik.
Menurutnya, beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) besar seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Pekerjaan Umum memang tampak rendah serapannya karena pola pembayaran dilakukan bertahap.
“Zona merah bukan berarti kinerjanya buruk. Banyak kegiatan yang sudah selesai namun belum dibayar karena masih dalam masa pemeliharaan,” ujarnya.
Namun, pandangan berbeda datang dari pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar. Menurutnya serapan di bawah 60 persen mencerminkan lemahnya manajemen dan koordinasi antarinstansi.
“Kalau serapan di bawah 60 persen, itu tanda ada masalah. Gubernur, wakil gubernur, dan sekda harus menjelaskan secara terbuka. DPRD pun tidak bisa lepas tangan karena fungsi pengawasan mereka juga lemah,” tegasnya.
Ia mengingatkan, lambatnya realisasi anggaran berimplikasi langsung pada masyarakat.
“Dana Rp9 triliun yang belum terserap berarti Rp9 triliun manfaat yang belum dirasakan rakyat. Layanan publik tertunda, proyek infrastruktur tersendat, dan ekonomi daerah melambat,” tuturnya.
Dengan waktu yang tersisa hingga akhir Desember, publik kini menanti apakah janji percepatan serapan anggaran mampu direalisasikan, atau kembali menjadi alasan klasik di penghujung tahun anggaran. (*)