search

Berita

Pemprov KaltimSeno AjiRudy Mas’udDarlis PattalongiFelisitas DefungZulkarnaenFajar AprianiBuyung MarajoArusbawah.coGratispolBeasiswa Gratispol

Menelisik Carut Marut Realisasi Gratispol Lewat “Tuk Ki Tak Ki Tuk Gratispol Pendidikan, Supaya Baik Jalannya”

Penulis: Rafika
39 menit yang lalu | 0 views
Menelisik Carut Marut Realisasi Gratispol Lewat “Tuk Ki Tak Ki Tuk Gratispol Pendidikan, Supaya Baik Jalannya”
Diskusi Publik Bertajuk “Tuk Ki Tak Ki Tuk Gratispol Pendidikan, Supaya Baik Jalannya” yang digelar media siber arusbawah.co di Temindung Creative Hub, Samarinda, pada Kamis 20 November 2025. (Presisi.co/Rafika)

Samarinda, Presisi.co - Realisasi janji politik Rudy Mas’ud-Seno Aji untuk menggratiskan biaya pendidikan tinggi bagi puluhan ribu mahasiswa Kalimantan Timur (Kaltim) jelas sangat dinanti-nanti oleh publik. Baik bagi mereka yang berharap duduk di bangku kuliah tanpa mengeluarkan banyak biaya, maupun publik yang penasaran seberapa jauh pemerintah sanggup mengeksekusi komitmen ambisius ini.

Program yang diberi nama Gratispol Pendidikan ini dirancang sebagai bantuan pembiayaan pendidikan tinggi bagi seluruh mahasiswa S1, S2, hingga S3 asal Kalimantan Timur, tanpa membedakan latar belakang ekonomi maupun capaian akademik. Boleh dibilang, program ini cukup ambisius, mengingat pada 2024 jumlah mahasiswa di Kaltim saja sudah menembus sekitar 101 ribu orang.

Berbeda dari program pendahulunya, beasiswa Kaltim Tuntas, di mana dana bantuan pendidikan ditransfer langsung ke rekening penerima, Gratispol mengadopsi mekanisme baru, yakni pembayaran uang kuliah langsung ke perguruan tinggi. Skema ini dibagi untuk mahasiswa dalam daerah, luar daerah, hingga luar negeri, dengan porsi terbesar dialokasikan untuk mahasiswa Kaltim yang menempuh studi di kampus-kampus lokal.

Di APBD Perubahan 2025, Pemprov Kaltim mengalokasikan Rp206,9 miliar untuk bantuan pendidikan tinggi. Jumlah tersebut jauh melampaui provinsi lain seperti Kalimantan Tengah yang hanya mengucurkan Rp50 miliar, Kalimantan Utara Rp15 miliar, dan sementara Maluku Utara bahkan hanya Rp3 miliar.

Namun, besarnya anggaran ternyata tidak otomatis berbanding lurus dengan kelancaran realisasi. Hingga November 2025, baru Rp44 miliar yang tersalurkan ke tujuh perguruan tinggi negeri di Kaltim, dan itu pun hanya mencakup mahasiswa semester pertama. Pemerintah masih harus menyalurkan lebih dari Rp160 miliar sebelum tutup anggaran.

Rendahnya realisasi ini menunjukkan adanya celah dalam pelaksanaannya yang kemudian memicu berbagai masalah teknis dan administratif di lapangan. Sejumlah indikator memperlihatkan bahwa kebijakan tersebut dikebut sebelum sistem pendukungnya siap sepenuhnya.

Berbagai persoalan tersebut mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Tuk Ki Tak Ki Tuk Gratispol Pendidikan, Supaya Baik Jalannya” yang digelar media siber arusbawah.co dalam rangka perayaan HUT ke-4 mereka di Temindung Creative Hub, Samarinda, pada Kamis 20 November 2025.

Hadir sebagai narasumber yakni Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji, Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim Darlis Pattalongi, Pengarah Tim Pelaksana Program Gratispol (TP2G) Zulkarnaen, Staf Khusus Wakil Rektor IV Universitas Mulawarman Felisitas Defung, akademisi kebijakan publik Universitas Mulawarman Fajar Apriani, serta Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo.

Akademisi Kebijakan Publik Unmul, Fajar Apriani menilai, Gratispol Pendidikan belum solid sejak awal peluncurannya. Sebabnya, sejumlah persiapan tampak belum matang, terutama terlihat dari persoalan pendataan yang dihadapi kampus.

“Dari sisi perencanaan memang tampak kurang matang. Ada perubahan anggaran, target kebijakan, mekanisme pendataan, sampai persoalan sosialisasi yang tidak berjalan mulus,” tutur Fajar.

Ia menyebutkan bahwa sejak awal terjadi sejumlah perubahan mendadak dalam realisasi kebijakan ini. Contohnya, target program yang awalnya ditujukan untuk mahasiswa di program studi terakreditasi unggul atau A, kemudian diperluas untuk seluruh prodi. Kampus yang sebelumnya telah melakukan pendataan hingga mahasiswa semester tiga, akhirnya harus menyesuaikan kembali karena kebijakan bergeser hanya untuk mahasiswa semester satu. Belum lagi persoalan sosialisasi yang tidak berjalan optimal.

“Hal-hal semacam ini perlu dibenahi jika program ingin berjalan secara berkelanjutan,” ujarnya.

Ia juga menyinggung aspek penganggaran. Menurutnya, pencairan seharusnya dilakukan bertepatan dengan periode pembayaran uang kuliah, sehingga orang tua tidak perlu lebih dulu menanggung biaya lalu menunggu penggantian dari pemerintah melalui skema refund.

“Meski ada skema refund, tapi hal semacam ini berpotensi memicu penurunan public trust. Idealnya, kalau anggaran itu tersedia tepat saat periode registrasi, itu akan lebih menenangkan publik,” jelas Fajar.

Kritik serupa juga disampaikan oleh Stafsus WR IV Unmul, Felisitas Defung. Ia menilai pelaksanaan program Gratispol Pendidikan masih dibayangi sejumlah persoalan krusial terkait kesiapan teknis dan koordinasi lintas institusi.

“Memang banyak drama, tetapi kami memahami karena ini masa transisi dari sistem sebelumnya. Mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi drama soal efisiensi dan teknis lainnya,” ujarnya.

Dampak keterlambatan pencairan dana, kata Felisitas, cukup fatal. Unmul bahkan harus mengambil kebijakan penundaan beberapa proses akademik agar status mahasiswa tidak terganggu.

“Kalau mahasiswa tidak terlapor pada periode itu, mereka tidak akan terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Kalau tidak terdaftar, drama berikutnya adalah pada akhir masa studi mereka bisa tidak mendapat penomoran ijazah nasional,” katanya.

Felisitas menilai risiko tersebut sangat besar bagi keabsahan akademik mahasiswa. Karena itu, ia menekankan bahwa keterlambatan pencairan tidak bisa dibiarkan terjadi berulang-ulang.

“Untuk periode ini Unmul mengambil kebijakan penundaan, tetapi tentu kebijakan seperti ini tidak bisa berlangsung terus-menerus,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo menilai, alur komunikasi program ini belum berjalan satu pintu.

“Informasi dari Sekda, Kesra, hingga TP2G kerap tidak sinkron sehingga menimbulkan simpang siur di lapangan,” tuturnya.

Di lain sisi, kalangan legislatif mengingatkan pendidikan tidak semata-mata persoalan pembebasan uang kuliah. Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim Darlis Pattalongi menilai Gratispol mesti dilihat dalam konteks sistem pendidikan yang lebih luas.

“Sistem pendidikan itu berhasil jika lima faktor dipenuhi: pembiayaan, kurikulum, sarana prasarana, kesejahteraan tenaga kependidikan, dan aksesibilitas,” kata Darlis.

Menurutnya, masih banyak calon mahasiswa yang menghadapi hambatan akses dengan biaya yang justru lebih besar dari uang kuliah itu sendiri.

“Uang kuliah gratis tidak otomatis membuat akses kuliah lebih mudah. Banyak orang yang ingin kuliah, tapi hambatan akses justru lebih besar biayanya. Gratispol bagus, tapi faktor lain tidak boleh dikorbankan,” tuturnya.

Menjawab persoalan tersebut, Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji mengatakan, keterlambatan realisasi anggaran Gratispol disebabkan oleh proses penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) baru yang memakan waktu panjang.

“Saat itu kami masih menunggu SK Kemendagri, sementara universitas harus segera menarik uang SPP. Ini yang memicu keterlambatan, dan ke depan tidak boleh terjadi lagi,” ujar Seno.

Sebagai program baru, kata Seno, Gratispol membutuhkan dasar hukum yang jelas. Pemerintah harus mengubah Pergub beasiswa menjadi Pergub pendidikan gratis, dan proses evaluasi di Kemendagri memakan waktu cukup lama.

“Namanya program baru, harus memiliki landasan hukum yang jelas. Evaluasi di Kemendagri membutuhkan empat sampai lima bulan baru akhirnya bisa dicairkan melalui APBD Perubahan 2025,” tuturnya.

Ia berjanji, permasalahan serupa tidak akan terulang lagi. Apalagi mengingat skala program ini akan meningkat drastis pada 2026.

“Tahun depan kami menganggarkan semester 1 hingga 8 bagi sekitar 130 ribu sampai 140 ribu mahasiswa se-Kaltim. Anggarannya bisa mencapai Rp1,4 triliun sampai Rp2 triliun,” tutur Seno.

Tajuk diskusi publik ini, “Tuk Ki Tak Ki Tuk Gratispol Pendidikan, Supaya Baik Jalannya,” diambil dari lirik lagu Naik Delman ciptaan Ibu Sud. Dalam lagu itu, ada bait berbunyi “’Ku duduk samping Pak Kusir yang sedang bekerja, mengendali kuda supaya baik jalannya.” Layaknya Pak Kusir yang harus mengendalikan kuda agar delman tetap stabil, kebijakan Gratispol juga membutuhkan kendali yang cermat, arah yang jelas, serta kesiapan sistem agar program dapat berjalan baik dan tidak oleng di tengah jalan. (*)

Editor: Redaksi