search

Daerah

Keadilan FiskalAkademisiPemangkasan DBHDana Bagi Hasil

Akademisi Singgung Keadilan Fiskal Saat DBH Kaltim Terancam Dipangkas Pusat

Penulis: Akmal Fadhil
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 35 views
Akademisi Singgung Keadilan Fiskal Saat DBH Kaltim Terancam Dipangkas Pusat
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo. (Ist)

Samarinda, Presisi.co – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menghadapi tekanan fiskal serius menyusul proyeksi penurunan tajam Dana Bagi Hasil (DBH) tahun 2026, dari kisaran Rp6–7 triliun menjadi hanya sekitar Rp1,6 triliun.

Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud, menyatakan optimisme masih terbuka lewat dialog dengan pemerintah pusat. Ia berharap koreksi kebijakan bisa dilakukan melalui APBN Perubahan 2026.

“Masih ada ruang untuk komunikasi dan memperjuangkan kepentingan daerah,” ujarnya usai pertemuan di Kemenkeu RI beberapa waktu lalu.

Namun, kekhawatiran mencuat dari berbagai kepala daerah bahwa pemangkasan dana transfer akan menghambat proyek strategis dan memperlambat pembangunan di tingkat lokal.

Seruan untuk memperkuat sinergi fiskal dan efisiensi anggaran pun mengemuka.

Akademisi: Sentralistik dan Tidak Adil

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menyebut kebijakan pemangkasan DBH sebagai bentuk sentralisasi fiskal yang semakin mengabaikan kepentingan daerah penghasil sumber daya.

“Kalau benar hanya Rp1,6 triliun, sebagian besar akan habis untuk pembiayaan pendidikan gratis. Itu belum menyentuh sektor lain,” kata Purwadi, Jumat 10 Oktober 2025.

Ia mengingatkan, Kaltim selama ini menjadi salah satu penopang utama perekonomian nasional, namun kerap mendapat porsi fiskal yang tidak proporsional.

“Kalau daerah penghasil seperti Kaltim terus ditekan, efeknya pasti akan berbalik ke pusat juga. Ini bukan cuma soal efisiensi, tapi soal keadilan fiskal,” tegasnya.

Kritik terhadap Pemerintah Pusat

Purwadi juga menyoroti komunikasi pemerintah pusat yang dianggap terlalu mudah melempar tudingan dugaan penyimpangan dana tanpa data akurat.

“Kalau ada penyalahgunaan, buktikan. Jangan bangun stigma yang justru merusak kepercayaan publik terhadap daerah,” ujarnya.

Ia mencontohkan, jika alokasi Rp1,6 triliun harus dibagi ke seluruh kabupaten/kota di Kaltim, wilayah kecil seperti Mahakam Ulu kemungkinan hanya menerima sekitar Rp200 miliar.

“Itu pun hanya cukup untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan,” tambahnya.

Ketimpangan Proyek Nasional dan Dampak Daerah

Purwadi juga menyoroti ketimpangan antara prioritas pembangunan pusat dan beban yang ditanggung daerah.

“Dari tambang ilegal, hutan yang rusak, sampai banjir, semua ditanggung daerah. Tapi anggaran justru banyak terserap untuk megaproyek seperti IKN,” kritiknya.

Ia menilai, belanja negara masih didominasi untuk birokrasi pusat, termasuk kenaikan tunjangan kinerja (tukin) kementerian yang dinilai tidak selaras dengan kondisi fiskal daerah.

“Kalau efisiensi jadi alasan, mestinya dimulai dari pusat. Tukin bisa naik 300 persen, sementara dosen dan ASN daerah masih menunggu gaji cair,” sindirnya.

Desakan Evaluasi Fiskal Nasional

Di akhir pernyataannya, Purwadi mendesak pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan fiskal.

“Kalau harus ada pemangkasan, lakukan secara adil. Jangan terus daerah yang ditekan. Negara ini perlu dikelola dengan serius, bukan sekadar retorika,” pungkasnya. (*)

Editor: Redaksi