Fokus pada Nilai Tambah Investasi, BI Dorong Kaltim Tinggalkan Strategi Insentif Pajak Konvensional
Penulis: Akmal Fadhil
9 jam yang lalu | 0 views
Kepala Perwakilan BI Kaltim, Budi Widihartanto sekaligus Dewan Pembina Regional Investor Relations Unit (RIRU). (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Bank Indonesia (BI) menilai Kalimantan Timur perlu keluar dari pola lama dalam menarik investasi, yang selama ini terlalu bergantung pada insentif pajak.
Sebagai gantinya, Kaltim diminta mengembangkan pendekatan insentif berbasis nilai tambah dan keberlanjutan.
Pernyataan ini disampaikan Kepala Perwakilan BI Kaltim sekaligus Dewan Pembina Regional Investor Relations Unit (RIRU), Budi Widihartanto, dalam High Level Meeting RIRU Kaltim yang digelar di Samarinda, Senin 29 September 2025.
“Kita tak bisa lagi hanya mengandalkan tax holiday atau tax allowance. Dunia sudah bergerak ke arah beyond tax incentives—insentif yang berbasis ekosistem, nilai tambah, dan keberlanjutan,” tegas Budi.
Budi mencontohkan sejumlah negara seperti Singapura dan Vietnam yang sukses menarik investor dengan menawarkan insentif non-fiskal, seperti ketersediaan infrastruktur, kepastian hukum, kemudahan logistik, dan dukungan teknologi.
“Investor global saat ini lebih tertarik pada kesiapan ekosistem. Mereka melihat hal-hal seperti energi yang stabil, air bersih, konektivitas transportasi, dan layanan digital,” ujarnya.
KEK Maloy Belum Maksimal
Ia menyoroti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK) yang memiliki potensi besar—termasuk sewa lahan termurah se-ASEAN, yakni hanya USD 0,11 per meter persegi per tahun.
Namun, keunggulan harga itu belum cukup menarik minat investor karena lemahnya dukungan infrastruktur.
“Harga murah tidak cukup kalau tidak dibarengi fasilitas pendukung. Kita perlu memastikan kawasan seperti MBTK benar-benar siap secara teknis dan operasional,” kata Budi.
Lebih lanjut, BI mendorong adanya sinergi antara pengembangan kawasan industri, hilirisasi sumber daya alam (SDA), dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurut Budi, integrasi ini penting agar investasi tidak hanya besar dari sisi nominal, tapi juga memberi dampak ekonomi jangka panjang.
“Kita harus menilai keberhasilan investasi bukan dari berapa besar modal yang masuk, tetapi dari seberapa besar kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, penguatan industri lokal, dan peningkatan daya saing daerah,” ujarnya.
Budi mengingatkan bahwa dalam konteks transformasi ekonomi, insentif investasi harus berbasis keberlanjutan, bukan sekadar menarik investor dalam jangka pendek.
“Kalau ingin transformasi ekonomi berjalan, insentif harus menciptakan nilai tambah, memperkuat industri hilir, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Itu yang harus jadi orientasi kita ke depan,” pungkasnya. (*)