Bloomberg dan Filantropi dalam Arena Kapitalisme Global: Analisis Kritis Mazhab Frankfurt School
Penulis: Opini
Rabu, 24 September 2025 | 773 views
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.
Presisi.co - Pada beberapa hari terakhir rakyat Indonesia dikejutkan oleh kabar di berita portal Kompas (www.kompas.com), bahwa Presiden Joko Widodo masuk dalam daftar 22 anggota Advisory Board Bloomberg New Economy, sebuah pengumuman yang mengundang pertanyaan dan memicu perdebatan; apakah ini penghormatan yang menegaskan posisi geopolitik, atau sekadar simbol status yang dibeli melalui jaringan dan uang?. Perdebatan itu sebenarnya mencerminkan perselisihan yang lebih luas tentang peran aktor-aktor seperti Bloomberg dalam peta kekuasaan global; apakah mereka merupakan fasilitator teknokratis yang netral, atau instrumen pelembagaan kapitalisme global yang secara struktural memprioritaskan pasar dan modal ?.
Indikator Masalah
Untuk memberikan jawaban komprehensif atas dua pertanyaan di atas, maka penting dipertimbangkan beberapa indikator kuat sebagai landasan analisis ilmiah; Pertama, perlu dilihat struktur Bloomberg secara ringkas. Di bawah payung nama yang sama terdapat setidaknya tiga entitas berbeda yang bekerja Bersama, yakni: Bloomberg L.P. (perusahaan penyedia data dan layanan profesional yang terbesar pengaruhnya di pasar keuangan), Bloomberg News (cabang media), dan Bloomberg Philanthropies (kendaraan filantropi Michael Bloomberg). Sebagaimana Bloomberg Philanthropies melaporkan distribusi besar pada 2024, bahwa Bloomberg L.P. adalah dispenser informasi pasar - terminal Bloomberg menjadi infrastruktur penting bagi investor institusional - sementara cabang filantropi menyalurkan miliaran dolar untuk program public. Dalam praktiknya ketiga fungsi ini saling berkorespondensi, mulai dari data ke narasi, berlanjut ke funding hingga terakhir ke akses jaringan, (Ref; Web Bloomberg).
Indikator kedua, menyangkut legitimasi simbolik, bahwa bergabungnya seorang kepala negara ke dalam dewan penasihat semacam Bloomberg New Economy menawarkan akses simbolik dan jaringan - kesempatan untuk “bertemu” CEO, mantan menteri, dan akademisi kelas atas yang dapat mempengaruhi persepsi internasional dan peluang investasi. Pengumuman Advisory Board pada April 2025, menegaskan bahwa platform ini secara sadar memosisikan diri sebagai arena ekonomi-politik di mana kebijakan dan modal bertemu. Namun, penting membedakan antara status simbolik dan kekuasaan substantif, bahwa duduk di meja penasihat tidak otomatis mengubah keseimbangan kekuatan ekonomi global. Ia memberi akses, legitimasi, dan kemungkinan pengaruh kebijakan yang nyata bila diikuti jaringan dan modal, (Ref; Bloomberg New Economy).
Indikator ketiga, tentang klaim bahwa penghormatan semacam ini “dibeli” lewat donasi atau hubungan ‘pay-to-play’ berangkat dari pengalaman empiris yang valid, dimana penelitian dan kritik jurnalisme menunjukkan bagaimana filantropi besar dapat membuka pintu pengaruh dan membentuk agenda publik. Michael Bloomberg sendiri menjadi contoh sering dikutip - filantropinya dipuji karena banyak program publik yang berdampak, namun juga dikritik karena efeknya pada demokrasi lokal dan agenda kebijakan suatu negara. Kritik semacam ini bukan teori konspirasi, namun ia menunjukkan risiko struktural ketika dana swasta mendanai program publik, pertanyaan tentang akuntabilitas politik dan prioritas publik menjadi relevan, (Ref; Brookings).
Indikator keempat, bagaimana modernisasi berfungsi sebagai instrumen ideologis kapitalis global ?. Dalam praktik kontemporer, modernisasi sering dibingkai sebagai masalah “efisiensi” dan “data-driven solutions”, yakni data (sering disediakan atau dikurasi oleh aktor privat), forum elit, dan filantropi bersama-sama mendorong model kebijakan yang menempatkan mekanisme pasar, teknologi, dan standar teknokratik sebagai solusi utama. Aktor sekaliber sekelas Bloomberg memproduksi dan mempromosikan indikator, narasi, dan pilot program yang menekankan solusi berbasis pasar, misalnya mobilisasi modal swasta untuk masalah iklim atau penggunaan indikator ekonomi tertentu sebagai standar penilaian kinerja. Model ini memperkuat legitimasi pasar sebagai penentu ‘apa yang dianggap modern’ sambil mereduksi ruang bagi solusi redistributif-politik yang menentang kepentingan modal, (Ref, Bloomberg New Economy).
Indikator kelima, ini bukan berarti aktor seperti Bloomberg hanya “alat jahat.” Mereka juga mendanai program anti-rokok, inisiatif iklim, dan bantuan kemanusiaan yang nyata hasilnya. Perdebatan normatif muncul ketika kita menimbang efektivitas teknokrasi versus konsekuensi demokratis; siapa yang men-setting agenda, siapa yang dipertimbangkan, dan siapa yang diabaikan ketika keputusan kebijakan semakin dipengaruhi oleh logika donasi, data, dan jaringan elit ?. Studi-studi tentang filantropi kontemporer menegaskan bahwa meskipun hasil proyek sering positif secara teknis, ketergantungan institusi publik pada dana swasta dapat melemahkan akuntabilitas politik. Ini jelas didasarkan pada fakta realitas yang tidak terbantahkan, (Ref, Bloomberg).
Hal lain, bahwa sikap rasional masyarakat dan pengamat ekonomi-politik dan kebijakan publik seharusnya bersifat ganda, yakni skeptis terhadap konsentrasi pengaruh yang tak transparan, tetapi juga realistis mengenai peran jaringan dan data dalam tata kelola global modern. Kritik yang lazim - bahwa “semua bisa dibeli” - perlu ditanggapi dengan pekerjaan empiris dengan menelusuri aliran dana, menganalisis dampak kebijakan yang dihasilkan, dan memeriksa standar editorial pada media yang terkait. Di sisi lain, defensif tertutup terhadap kehadiran di forum global juga bermasalah jika ia menutup peluang diplomasi ekonomi atau pembelajaran kebijakan untuk negara-negara Global South.
Analisis Paradigmatis
Terhadap semua indikator di atas secara ilmiah hanya layak dibedah melalui paradigma kritis. Mengapa demikian ?. Karena tema ini adalah masalah ideologi yang menjadi salah satu ranah utama analisis paradigma kritis. Dalam esay ini pemikiran dari mazhab Frankfurt School ala Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Jugen Habermas dijadikan sebagai alat bedah. Melalui analisis kritis Horkheime dan Adorno, nampak bahwa program-program Bloomberg - baik berupa forum New Economy maupun jaringan filantropinya – kelompok Bloomberg jelaslah tidak netral, ia melainkan bagian dari industri budaya kapitalisme global. Informasi pasar, indikator ekonomi, hingga wacana “solusi teknokratik” yang diproduksi Bloomberg dapat dipahami sebagai komodifikasi pengetahuan, dimana data dan narasi tidak hanya memberi informasi, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif yang menormalisasi logika pasar sebagai satu-satunya horizon modernisasi.
Dalam kerangka ini, filantropi dan forum elit Bloomberg yang dikemas sebagai pelayanan publik sesungguhnya adalah cara kapitalisme memperhalus dominasi ideologisnya, menjadikan “kebaikan sosial” sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi modal. Melalui pemikiran Adorno, gerakan Bloomberg dapat disebutnya sebagai upaya menciptakan “kesadaran semu,” di mana masyarakat merasa dilayani (baca, dinina-bobokan), padahal sedang diarahkan untuk menerima tatanan kapitalisme global tanpa kritik.
Demikian juga analisis melalui pemikiran Marcuse, ia menambahkan kritik tentang one-dimensional man, dimana masyarakat modern dipaksa menjadi “satu dimensi” karena pilihan-pilihan yang ditawarkan sesungguhnya semua berakar pada logika pasar. Program Bloomberg tentang iklim, kesehatan, maupun teknologi, misalnya, umumnya mengedepankan solusi berbasis investasi swasta dan inovasi pasar, bukan redistribusi kekuasaan atau perubahan struktur politik-ekonomi. Melalui perspektif Habermas, analisis terhadap ruang publik (public spare) global yang dibangun melalui forum-forum Bloomberg pun bukanlah public sphere yang ideal, melainkan distorted communication yang didominasi kepentingan modal dan elit teknokrat. Dari sisi Communication action Theory-pun, Komunikasi yang riil dalam program Bloomberg bersifat strategis untuk kepentingan kapital, bukan aksi komunikatif untuk mencapai konsensus rasional yang inklusif. Dengan demikian, klaim “netralitas” Bloomberg runtuh bila dilihat dari paradigma kritis ini, karena kelompok ini adalah bagian integral dari reproduksi hegemoni kapitalisme global dalam wajah modern, teknokratis, dan penuh legitimasi moral melalui bahasa filantropi.
Demikian pula, nilai-nilai demokrasi deliberatif dan aksi komunikasi (baca, Theory of Communicative Action) dari Habermas sebagai jalan keadilan dan kesejahteraan warga tidak ditemukan sepanjang program Bloomberg. Artinya, program bombastis Bloomberg dapat dipandang sebagai sub-ordinat symbolic campaign semata dari kelompok kapitalisme global yang tidak pernah netral karena ruang diskursif yang dibangunnya lebih mencerminkan strategic action daripada communicative action.
Dalam forum dan jaringan yang diklaim sebagai wadah global deliberation diisi dan didominasi oleh aktor-aktor elit seperti para pemimpin negara, CEO, dan akademisi utama. Mereka beroperasi dalam logika instrumental yang berorietasi mengamankan modal (capital), memperluas pasar bebas, dan mengelola legitimasi publik. Proses deliberatif yang idealnya membuka ruang bagi partisipasi luas dan argumentasi rasional inklusif terdistorsi hanya menjadi arena negosiasi kepentingan kapital. Dengan demikian, klaim Bloomberg untuk menjadi fasilitator solusi global sesungguhnya mereproduksi ketidaksetaraan struktural, dimana suara masyarakat sipil, komunitas lokal, dan negara-negara kecil cenderung terjebak dalam arena permainan struktur komunikasi yang dikuasai elit global.
Kongklusi dari analisis ini, dalil yang paling logis adalah bahwa Bloomberg bukan institusi “netral” yang bebas dari kaitan dengan kapitalisme global. Kapitalisme adalah infrastruktur informasi dan jaringan ekonomi-politik global yang memperkuat mekanisme pasar bebas sebagai model primadona jangka Panjang, serta menyediakan ruang bagi pemodal untuk saling berkolerasi, berkoordinasi, dan interdependensi. Namun, menyatakan bahwa hal itu otomatis sama dengan “kejahatan” akan melewatkan lapisan kompleks, dimana filantropi dapat menghasilkan manfaat publik sekaligus menimbulkan dilema demokratis. Oleh karena itu, respon publik yang paling konstruktif adalah menuntut transparansi, mengembangkan kapasitas institusional lokal pada setiap negara untuk bernegosiasi setara dengan donor, dan melakukan studi empiris yang memetakan pengaruh nyata (bukan sekadar simbolik) pada setiap negara yang berbeda-beda itu. (*)
Penulis:
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co