Anies Rasyid Baswedan dalam Simulasi Kepemimpinan Nasional: Antara Retorika, Realitas dan Resiko
Penulis: Opini
Rabu, 10 September 2025 | 679 views
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. (Dok)
Presisi.co - Sosok Anies Baswedan sejak lama menjadi magnet dalam percaturan politik nasional kita. Anies menapaki politik nasional dengan citra intelektual yang penuh gagasan. Ketika mulai tampil di panggung politik, Anies telah memperlihatkan kemampuan mengolah narasi politik yang mampu memikat perhatian publik dengan etika retorika komunikasi politik yang khas. Namun, pepatah mengatakan, "memimpin bukan sekadar kata-kata, tetapi membuktikan," rekam jejaknya-pun meninggalkan jejak perdebatan tajam antara keberhasilan dan kelemahan.
Perdebatan komunikasi politik tentang kualitas kepemimpinan nasional di Indonesia kerap berpusat pada sosok figur politik yang memiliki rekam jejak panjang, seperti sosok Anies Baswedan. Perpaduan latar akademisi dan sekaligus politisi telah menjadikan Anies salah satu aktor politik yang menarik untuk dikaji. Dalam konteks komunikasi politik, Anies tidak hanya menghadirkan narasi perubahan, tetapi juga menampilkan gaya komunikasi yang menekankan aspek retorika yang kuat. Namun demikian, efektivitas retorika tersebut masih memunculkan pertanyaan ketika dihadapkan pada soal capaian konkret kebijakan publik.
Analisis komunikasi politik dan kepemimpinan Anies penting ditempatkan dalam kerangka dialektika antara retorika dan realitas. Retorika memberikan legitimasi simbolik dan membangun citra politik, sementara realitas menuntut bukti empiris dalam bentuk dampak kebijakan yang terukur pada masyarakat. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa sebagian programnya, seperti penataan transportasi dan pembangunan ruang publik, memperoleh apresiasi. Tetapi pada saat yang sama ia tidak luput dari kritik terkait eksekusi, konsistensi, serta prioritas kebijakannya.
Dalam perspektif komunikasi politik nasional, simulasi kepemimpinan Anies dapat ditinjau melalui tiga dimensi utama yakni kapasitas manajerial, kemampuan membangun konsensus politik, dan efektivitas implementasi kebijakan. Kapasitas manajerial berhubungan dengan pengelolaan birokrasi dan sumber daya negara. Konsensus politik berkaitan dengan keterampilan dalam merangkul berbagai kekuatan politik yang beragam. Sedangkan efektivitas implementasi kebijakan menjadi indikator penting untuk menguji apakah visi dan janji politik dapat diterjemahkan ke dalam realitas kebijakan yang nyata.
Artikel ini berupaya menyajikan simulasi kinerja Anies dengan pendekatan analisis skenario, yang dibagi ke dalam tiga kategori yakni optimis (best case scenario), moderat, dan pesimis (worst case scenario). Pendekatan ini tidak hanya membantu memetakan kemungkinan arah kepemimpinan Anies di masa depan, tetapi juga memberi kerangka konseptual bagi publik dan akademisi untuk menilai secara kritis sejauh mana retorika, realitas, dan risiko kepemimpinannya dapat berkontribusi terhadap dinamika politik dan pembangunan nasional.
Jejak Kepemimpinan Anies Baswedan
Kinerja politik dalam jejak kepemimpinan sebelumnya, Anies pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2014-2016. Saat itu ia memunculkan program Gerakan Indonesia Mengajar dan kemudian Program Indonesia Pintar. Ia memiliki inovasi, tetapi juga terdapat kritik kepadanya terkait implementasi Kurikulum 2013 dan mutasi birokrasi yang dianggap oleh publik sebagai program yang terlalu cepat. Pase berikut Anies terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Masa ini Anies memiliki program sosial dan kemanusiaan, yakni kepemilikan rumah dengan DP 0%. Lalu program KJP Plus, KJS Plus, revitalisasi trotoar di Jakarta, integrasi transportasi (JakLingko), kebijakan tata kota dalam bentuk normalisasi jadi naturalisasi sungai, revitalisasi kawasan Monas dan Tanah Abang.
Kepemimpinan Anies selama menjadi gubernur DKI dinilai cukup kontroversi, utamanya karena program kepemilikan rumah DP 0% dimana dalam realisasinya dinilai jauh di bawah target. Selain itu, kondisi umum Jakarta pada musim hujan masih dilanda banjir secara berulang karena program sumur resapan air sepanjang jalan di Jakarta tidak menyelesaikan masalah banjir tersebut, ternyata air tidak terserap ke bumi melalui sumursumur resapan itu. Begitu pula, program reklamasi teluk Jakarta yang telah dihentikan namun diganti dengan program pengembangan kawasan baru ternyata menambah masalah baru.
Gaya Kepemimpinan
Anies memiliki gaya komunikasi politik yang khas yakni gaya naratif dan retoris. Ia sangat piawai memainkan simbol, dan cenderung membangun citra visioner. Dari perspektif komunikasi politik gaya kepemimpinan Anies Baswedan identik dengan asumsi Transformational Leadership Theory dalam buku Leadership yang digagas James MacGregor Burns (1978), lalu dikembangkan oleh Bernard Bass (1985) dalam buku Leadership and Performance Beyond Expectations. Teori ini mengasumsukan, “Pemimpin transformasional menginspirasi pengikut dengan visi besar, idealisme, serta motivasi moral; lebih fokus pada perubahan fundamental ketimbang sekadar administrasi”. Gaya kepemimpinan Anies berorientasi pada perubahan sosial, pendidikan, lingkungan, dan demokrasi, sebagai ciri khas pemimpin transformasional.
Gaya kepemimpinan Anies dianggap seorang visioner-retoris, yakni lebih menekankan gagasan besar, narasi kebangsaan, dan pencitraan moral. Ia juga cukup kolaboratif–simbolis, yakni suka merangkul banyak pihak, tapi sering dianggap oleh public bahwa Anies terkesan lambat dalam melakukan eksekusi kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam tinjauan politik identitas, Anies dianggap cukup piawai “menangkap” aspirasi kelompok Islam konservatif sejak Pilkada 2017, walau di masa gubernur ia mencoba tampil lebih moderat.
Atas dasar realitas itu, maka kinerjanya dapat diprediksi bahwa jika seandainya ia terpilih dalam Pilpres 2024 lalu, kemungkinan besar Anies menghadapi koalisi besar yang sangat cair. Dengan karakter yang melekat pada dirinya mungkin ia akan kuat di dalam proses diplomasi internasional dalam membranding Indonesia, dan juga di dalam membangun narasi transformasi sosial. Namun ia juga bisa terkendala dalam eksekusi program ekonomi–infrastruktur karena gaya kerjanya lebih konseptual daripada teknis.
Begitu juga, jika Anies terpilih dalam Pilpres 2029, ia akan memiliki lebih banyak waktu mengonsolidasi jaringan politik dan para profesional. Anies akan tampil lebih matang karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman “terjebak simbol” di Jakarta. Namun, di balik itu, ia menghadapi tantangan, apakah ia bisa membuktikan delivery capacity, dan bukan hanya membangun citra semata. Poin ini menjadi pertanyaan tersendiri dalam pertarungan media sosial menghadapi Pilpres 2029 nanti.
Kelebihan dan Tantangan
Nilai lebih yang melekat pada sosok Anies terutama pada kemampuan retorika politik yang kuat. Seorang pemimpin seperti ini bisa mengangkat citra Indonesia di mata internasional. Ia seorang visioner yang mampu membawa isu jangka panjang. Ia juga memiliki kemampuan membangun koalisi. Dengan modal ini ia bisa jadi “pemersatu” di tengah polarisasi masyarakat Indonesia yang multicultural. Di balik kelebihan itu, kepemimpinan Anis memiliki kelemahan.
Citra kepemimpinan Anies yang kurang positif di masa lalu bisa menjadi tantangan baginya di masa depan. Dalam proses eksekusi program kerja saat ia menjadi Gubernur DKI Jakarta terdapat beberapa target yang meleset. Anies juga memiliki resistensi dari kalangan oligarki dimana gagasan idealisnya bisa berbenturan dengan kepentingan elit ekonomi-politik. Selain itu, tuduhan politik identitas yang diarahkan kepadanya bisa menjadi bumerang jika Anies tidak berhasil menyeimbangkan isu itu.
Prediksi netral, jika Anies menjadi Presiden, Indonesia mungkin akan tampil dengan citra lebih “humanis–demokratis” di dunia internasional, dengan fokus pada pendidikan, kesetaraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, risiko terbesar adalah gap antara gagasan dan realisasi. Dengan kata lain, narasi Anies bisa hebat, tetapi PR terbesarnya adalah pembuktian semua narasi itu dalam implementasi riil di tengah masyarakat.
Adapun perbandingan scenario kepemimpinan Anis yang terlihat saat ini; Pertama, kekuatan utama Anies ada pada kemampuan membangun narasi besar, visi jangka panjang, serta diplomasi internasional. Ini yang membuat Best Case Scenario menempatkan ia sebagai Presiden visioner dan reformis dengan citra akademis-modern. Kedua, kelemahan utama terdapat pada aspek implementasi program dan manajemen eksekusi, sebagaimana tercermin dalam Worst Case Scenario, di mana gagasan besar berisiko terjebak pada retorika tanpa hasil konkret. Risiko lain adalah kerentanan koalisi politik dan potensi bangkitnya polarisasi sosial. Ketiga, tentang Most Likely Scenario menempatkan Anies di posisi tengah, artinya sebagian gagasan berhasil diwujudkan khususnya di bidang pendidikan, transportasi publik, dan citra internasional, tetapi banyak target ambisius yang hanya tercapai sebagian. Dengan demikian, ia lebih berpeluang dikenang sebagai pemimpin naratif dengan gaya kepemimpinan transformasional. Keempat, secara umum, kinerja Anies sebagai presiden akan sangat ditentukan oleh kemampuannya mengubah narasi menjadi realisasi, serta sejauh mana ia mampu mengelola koalisi politik dan menghindari jebakan oligarki.
Dari paparan di atas pada akhirnya simulasi kepemimpinan Anies memperlihatkan paradoks yang khas, di satu sisi ia hadir sebagai simbol harapan dengan retorika perubahan, namun di sisi lain ia masih dibayangi pertanyaan besar tentang konsistensi realisasi. kebijakan. Anies adalah cerminan dilema politik Indonesia kontemporer, di mana visi dan janji kerap lebih kuat gaungnya daripada kepastian implementasi. Publik tidak lagi cukup diyakinkan dengan narasi idealisme, melainkan menuntut bukti konkret yang dapat mengubah wajah birokrasi, ekonomi, dan kualitas hidup rakyat.
Dengan demikian, kepemimpinan Anies di tingkat nasional, jika benar-benar terwujud akan menjadi ujian penting antara “politik gagasan” dan “politik kerja nyata”. Bila ia berhasil menyeimbangkan keduanya, ia bisa memosisikan diri sebagai pemimpin transformasional. Namun jika gagal, ia berpotensi mengulang pola retoris yang menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap elite politik. Dengan demikian, pertanyaan mendasarnya bukan lagi sekadar apakah Anies mampu memimpin, melainkan apakah bangsa ini masih bersedia memberi ruang bagi retorika tanpa realitas yang terjamin. (*)
Penulis:
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co