search

Berita

Amnesti untuk HastoUntag SamarindaDosen HukumRezky Robiatul Aisyiah IsmailAbolisi adalah

Ramai Soal Amnesti dan Abolisi Begini Penjelasan Dosen Hukum Untag 45 Samarinda

Penulis: Akmal Fadhil
18 jam yang lalu | 161 views
Ramai Soal Amnesti dan Abolisi Begini Penjelasan Dosen Hukum Untag 45 Samarinda
Rezky Robiatul Aisyiah Ismail, Dosen di Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag 45) Samarinda.

Samarinda, Presisi.co - Keputusan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong telah menimbulkan perdebatan publik yang cukup tajam.

Akademisi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag 45) Samarinda dan selaku Dosen di Fakultas Hukum, Rezky Robiatul Aisyiah Ismail angkat bicara prihal keputusan tersebut. Ia memandang keduanya merupakan tokoh politik dan pejabat publik yang tersangkut perkara tindak pidana korupsi.

Sehingga pemberian pengampunan oleh Presiden dengan persetujuan DPR RI memicu beragam respons dari masyarakat.

Dikatakan Rezky, bahwa secara konstitusional, hak Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi merupakan bentuk kewenangan prerogatif yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

Namun, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara sepihak, Presiden wajib memperhatikan pertimbangan dari DPR RI sebelum keputusan tersebut dikeluarkan.

“Ini menunjukkan bahwa mekanisme check and balance tetap dijaga dalam pelaksanaan hak prerogatif tersebut,” ujarnya dalam wawancara bersama Tim Presisi.co Pada Jumat 1 Agustus 2025.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam konteks sejarah hukum di Indonesia, kewenangan ini pernah diatur dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, di mana Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi berdasarkan nasihat Mahkamah Agung.

Namun seiring berlakunya kembali UUD 1945 dan berbagai amandemen yang telah terjadi, struktur kewenangan ini mengalami perubahan, khususnya dalam hal pertimbangan legislatif yang kini menjadi syarat mutlak.

“Agar publik tidak salah memahami, penting untuk membedakan secara yuridis antara amnesti dan abolisi. Keduanya memang sama-sama merupakan bentuk penghapusan pidana, tetapi berbeda dari sisi substansi hukum,” tegasnya.

Disampaikannya, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu umumnya berkaitan dengan delik politik dan dapat diberikan tanpa permohonan.

Sementara itu, abolisi adalah penghentian proses hukum, bahkan jika kasus telah diputus atau dijalankan, selama pertimbangan hukum mendukung hal tersebut.

Dalam kasus Hasto Kristiyanto, pemberian amnesti oleh Presiden menunjukkan bahwa terdapat unsur pidana yang dianggap terbukti, namun atas pertimbangan politik dan hukum tertentu, negara memilih memberikan pengampunan.

“Ini lazim terjadi dalam sistem demokrasi, terutama ketika perbuatan yang dilakukan dianggap tidak mengancam stabilitas nasional atau dilakukan dalam konteks tertentu,” tambahnya.

Berbeda dengan itu, abolisi kepada Tom Lembong didasarkan pada fakta bahwa dalam putusan pengadilan tidak ditemukan mens rea (niat jahat), serta tidak ada bukti bahwa ia memperoleh keuntungan pribadi dari perkara korupsi yang disangkakan.

“Oleh karena itu, Presiden berhak memberikan abolisi sebagai bentuk penghapusan konsekuensi pidana, termasuk penghentian penuntutan, dengan syarat adanya pertimbangan dari DPR,” jelasnya.

Tom Lembong sendiri dikenal sebagai mantan Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM yang memiliki reputasi profesional dalam bidang ekonomi dan investasi.

Sedangkan Hasto Kristiyanto merupakan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan dan tokoh penting dalam dinamika politik nasional. Keputusan untuk memberikan abolisi dan amnesti kepada dua tokoh ini tentu sarat dengan pertimbangan politik, hukum, dan sosial yang kompleks.

Meskipun demikian, pemberian abolisi dan amnesti tetap harus dilihat sebagai bagian dari sistem hukum yang sah dan konstitusional.

Namun transparansi, akuntabilitas, serta dasar pertimbangan hukum yang kuat sangat diperlukan agar publik tidak meragukan integritas keputusan tersebut.

“Dengan memahami aspek yuridis dan konstitusionalnya, masyarakat diharapkan dapat melihat isu ini secara objektif dan tidak terjebak dalam asumsi atau opini yang liar,” pungkasnya.