search

Berita

Untag Samarindaakademisi hukum tata negara.Rezky Robiatul Aisyah IsmailKedaulatan RakyatPemilihan Kepala Daerah

Akademisi Untag Samarinda Sebut Wacana Pilkada Lewat DPRD Ancam Kedaulatan Rakyat

Penulis: Akmal Fadhil
5 jam yang lalu | 78 views
Akademisi Untag Samarinda Sebut Wacana Pilkada Lewat DPRD Ancam Kedaulatan Rakyat
Akademisi Hukum Untag 45 Samarinda, Rezky Robiatul Aisyah Ismail. (Dok Presisi)

Samarinda, Presisi.co – Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD menuai kritik keras dari kalangan akademisi hukum tata negara.

Rezky Robiatul Aisyah Ismail, Akademisi Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, menilai langkah tersebut berpotensi merusak prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi roh konstitusi pasca-reformasi.

Menurut Rezky, meskipun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyebutkan kepala daerah “dipilih secara demokratis”, makna demokratis tidak bisa dilepaskan dari praktik ketatanegaraan Indonesia yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

“Pemilihan langsung adalah pengejawantahan nyata Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat,” tegasnya pada Rabu, 17 Desember 2025.

Ia mengingatkan, secara formal perubahan mekanisme Pilkada memang bisa dilakukan lewat undang-undang. Namun secara substansial, pemilihan kepala daerah melalui DPR justru berisiko mencederai demokrasi konstitusional.

“Rakyat akan dijauhkan dari proses pengambilan keputusan politik yang paling mendasar, yakni menentukan pemimpin daerahnya sendiri,” ujarnya.

Rezky menilai mekanisme tidak langsung berpotensi menimbulkan distorsi representasi karena kehendak rakyat sepenuhnya dimediasi elite politik.

Kondisi ini membuka ruang lebih besar bagi transaksi politik, oligarki, dan pragmatisme kekuasaan, yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang bersih dan berintegritas. Pengalaman sebelum Pilkada langsung, lanjut Rezky, juga menunjukkan kerentanan konflik kepentingan dan lemahnya akuntabilitas kepala daerah.

“Legitimasi politik kepala daerah akan lebih bergantung pada elite DPR dibandingkan kepada rakyat,” katanya.

Dari perspektif demokrasi modern, pilkada langsung tidak hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga sarana pendidikan politik, penguatan partisipasi, serta pengawasan rakyat terhadap kekuasaan eksekutif daerah.

Jika hak memilih dialihkan ke DPR, esensi demokrasi partisipatif dinilai akan tereduksi secara signifikan.

“Meski dapat dikonstruksikan secara legal-formal, wacana ini patut dipertanyakan secara konstitusional dan demokratis,” tegasnya.

Ia menegaskan, negara seharusnya memperbaiki kualitas Pilkada langsung melalui regulasi, pengawasan, dan pendidikan politik bukan justru menarik kembali hak politik rakyat yang merupakan capaian penting reformasi.