Mengenal Ezra Abraham, Penganut Yahudi di Indonesia yang Orangtuanya Beragama Islam
Penulis: Presisi 1
Kamis, 08 Juni 2023 | 10.270 views
Presisi.co - Yahudi adalah satu kata yang masih asing di telinga orang Indonesia. Segelintir masyarakat Indonesia menganggap Yahudi adalah keturunan nabi. Segelintir lagi menganggap Yahudi adalah sosok yang patut disalahkan dalam beberapa peristiwa di dunia ini.
Tapi belum banyak yang tahu, bahwa di Indonesia sudah ada agama Yahudi, yang disebut Judaism, sejak zaman Belanda yang masih eksis hingga detik ini. Ezra Abraham adalah salah satu keturunan etnis Yahudi dan penganut Judaism di Indonesia.
Menariknya, Ezra Abraham yang punya nama asli Raditya Indira Padma ini lahir dan besar dari orangtua yang beragama Islam. Presisi.co secara eksklusif mewawancara Ezra Abraham yang menceritakan perjalanannya menjadi pemuda Yahudi di Indonesia.
Ezra Abraham terlahir dengan nama Raditya Indira Padma di Cirebon 24 Juni 1993 silam. Raditya Indira Padma lahir dari pasangan Frederick Lodewijk dan Ratu Dewiyanti.
Raditya Indira Padma mendapat gen Yahudi dari Miryam Frieda, nenek dari pihak ayahnya. Sedangkan Ratu Dewiyanti adalah keturunan keluarga besar Keraton Cirebon.
Suatu hari di usianya yang masih empat tahun, Raditya diajak ayahnya pergi ke sebuah acara di rumah David Mussry, salah satu tetua Yahudi di Indonesia yang merupakan kakeknya Irwan Mussry, suami Maia Estianty. Di acara tersebut ada prosesi memakan roti tanpa ragi.
“Yang kemudian pada saat dewasa, baru saya mengetahui bahwa acara tersebut adalah perayaan Pesach, hari raya umat Yahudi,” ucap Raditya Indira Padma kepada Presisi.co.
Itulah kali pertama Raditya menyadari sentuhan Yahudi dalam hidupnya. Ketika ia dewasa, Frederick Lodewijk kerap menceritakan masa mudanya yang memiliki ibu seorang Yahudi. Sedangkan ibunya Raditya Indira Padma sudah tahu bahwa ayahnya Raditya itu keturunan Yahudi. “Ibu saya paham bahwa Yahudi itu etnis,” jelas Raditya.
Gen Yahudi Belanda
Nenek Raditya Indira Padma dari pihak ayah, Miryam Frieda, adalah seorang Yahudi Eropa dari Belanda. Meski Raditya tak sempat bertemu neneknya, tapi Raditya menilai Miryam Frieda adalah seorang Yahudi Sekuler.
Sebab, kata Raditya, Miryam Frieda tinggal di Jakarta sejak zaman penjajahan Jepang yang saat itu, Miryam Frieda sudah beragama Katolik. Kemudian Miryam Frieda menikah dengan kakeknya Raditya Indira Padma yang berasal dari Ambon. Untuk diketahui, seorang Yahudi Orthodox sangat ketat dalam hal agama dan pernikahan. Mereka hanya menikah dengan sesama dan seagama.
Dari hasil perkawinan itu, lahirlah Frederick Lodewijk, ayah kandung Raditya Indira Padma pada tahun 1946. Kemudian Miryam Frieda pindah ke Jerman hingga meninggal dunia di sana. Sedangkan Frederick Lodewijk pindah ke Belanda untuk kuliah dan bekerja di sana. Sekembali ke Indonesia, Frederick Lodewijk bertemu dengan Ratu Dewiyanti yang kemudian menikah, dan lahirlah Raditya Indira Padma pada tahun 1993.
Kakek dan nenek dari pihak ibunya Raditya adalah bagian dari keluarga besar Keraton Cirebon. Kakeknya bergelar Pangeran dan neneknya bergelar Ratu. Bahkan keduanya dimakamkan di pemakaman Sunan Gunung Jati di Cirebon. “Pihak keluarga ibu saya tidak kaku dalam berbudaya dan beragama. Ibu saya justru open minded dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi,” tutur lelaki bertubuh kekar itu.
Meskipun Miryam Frieda beragama Katolik, ternyata ayahnya Raditya beragama Islam. Ibunya Raditya, Ratu Dewiyanti, sudah pasti beragama Islam. Namun, ia mengungkapkan, kedua orangtuanya tidak sering membahas agama.
“Bahkan cukup sekuler,” tegas Raditya.
Tapi ia mendapat pendidikan Islam di sekolah. Tak hanya itu, paman dari pihak ibunya yang merupakan petinggi ormas Islam di Cirebon pun mengajarinya cara membaca Al-Qur’an. Hingga kini dirinya masih fasih membaca kitab suci umat Islam itu.
Pencarian Jati Diri
Raditya Indira Padma mulai tertarik dengan Yahudi sejak SMP. Itu lantaran kondisi keluarganya yang memungkinkan dirinya belajar apapun. Ia mengaku pernah belajar Kristen dan Buddha. “Pernah suatu hari, paginya saya ke Gereja, sorenya ke Wihara,” tutur penggemar mie itu.
Darah Yahudi mengalir deras di dalam tubuh Raditya Indira Padma. Namun sampai kini ia mengaku tak punya alasan rasional mengapa dirinya memilih beragama Judaism. Lahir dan besar di negara dengan umat Islam terbesar di dunia, membuat Raditya Indira Padma merasa ada sesuatu yang harus ia kerjakan di negara ini.
“Saya merasa ada panggilan hati dan juga tantangan. Saya ingin menunjukkan bagaimana Yahudi yang sebenarnya, yang tidak dipengaruhi paham antisemitisme (kebencian terhadap Yahudi) dan politik internasional,” bebernya.
Raditya semakin serius mendalami Judaism setelah duduk di bangku SMA. Pada tahun 2011, ia bertemu dengan seorang Rabbi di Indonesia, yang kemudian dirinya aktif dalam komunitas Yahudi yang dipimpin Rabbi penganut Judaism Konservatif itu. “Sejak tahun 2011 itu saya mendalami Judaism secara mandiri dari website WebYeshiva.org,” jelas Raditya.
Meskipun Raditya punya gen Yahudi dari nenek dari pihak ayahnya, tapi secara Halakha (hukum Yahudi), dirinya bisa dibilang terputus dari nasab Yahudi. Sebab, Yahudi itu diturunkan dari garis ibu. Makanya untuk kembali ke Yahudi harus melalui proses konversi yang dilaksanakan oleh Rabbi internasional.
Pada tahun 2013 lalu, Raditya Indira Padma resmi konversi dari Islam ke Judaism Konservatif dengan nama Yahudi; Ezra Abraham Ben Abraham.
Ia memilih nama Ezra karena merujuk pada tokoh Judaism modern, Nabi Ezra. Dijelaskannya, Nabi Ezra adalah tokoh Yahudi yang memulihkan bangsa Israel di fase pembuangan Babel. Dengan itu, ia berharap dapat memulihkan Yahudi di Indonesia yang benar-benar Yahudi, bukan karena ikut-ikutan atau hal lainnya.
Prosesi Konversi Yahudi
Untuk diketahui, di dalam Judaism setidaknya ada tiga golongan. Yakni Orthodox, Konservatif, dan Reform. Orthodox adalah kelompok yang sangat kaku dalam agama. Konservatif lebih terbuka, sedangkan Reform bisa dibilang golongan yang liberal. Bedanya, konversi Orthodox diakui di semua golongan Yahudi. Konversi Konservatif diakui di golongan Reform dan Konservatif. Sedangkan konversi Reform diakui di golongan Reform saja.
Beberapa bulan setelah konversi secara Konservatif, Ezra Abraham bertemu dengan Yaakov Baruch seorang Rabbi Judaism Orthodox di Indonesia, pimpinan Sinagoga Sha'ar Hashamayim, Manado, Sulawesi Utara. Sinagoga adalah rumah ibadah bagi umat Judaism.
Waktu itu Ezra Abraham menceritakan ke Rabbi Yaakov Baruch bahwa neneknya seorang Yahudi Belanda sembari menunjukkan Tefillin warisan dari kakek buyutnya. Tefillin adalah kotak hitam yang dipasang di dahi dan lengan kiri ketika umat Judaism berdoa.
Ezra Abraham ingin konversi ke Orthodox. Namun Rabbi Yaakov Baruch saat itu mengatakan belum bisa melakukan konversi karena belum ada sarananya. Tapi Ezra tetap bersabar hingga sarana konversi di Manado itu dimungkinkan, sembari dirinya terus belajar lebih dalam tentang Judaism.
Sejak tahun 2019, Ezra Abraham mulai belajar semakin serius tentang Judaism. Hingga saat ini dirinya masih belajar dari Rabbi Joseph Dweck, pemuka agama Judaism ternama di Inggris. Ezra mengaku sangat terpengaruh dengan pemikiran Moshe Ben Maimon atau Rambam. Ia tertarik pada pemikiran rasionalis Rambam dalam memahami Taurat.
Pada tahun 2020, di Manado sudah bisa dilaksanakan konversi secara Orthodox. Ezra Abraham mengikuti prosesi konversi itu, yang mana salah satu ritual konversi itu adalah masuk ke dalam kolam Mikveh dan dikhitan (disunat) ulang. Jika sebelumnya sudah pernah khitan atau sunat, maka alat kelamin hanya ditusuk sampai meneteskan darah. Untuk diketahui, dalam Judaism, seorang bayi laki-laki wajib dikhitan sejak usia 8 hari kelahiran. “Sebelum prosesi konversi, saya harus ikut Zoom di subuh hari karena perbedaan waktu dengan Rabbi di luar negeri,” ujar Ezra.
Pesan Mendalam dari Sang Ibu
Setelah resmi menjadi Yahudi, bagaimana respons orangtua Ezra Abraham yang beragama Islam? Kata Ezra, ayahnya hanya tertawa. “Anakku jadi Yahudi,” ucap Frederick Lodewijk sembari tertawa.
Ibunya justru memberikan pesan yang mendalam untuk Ezra Abraham. “Mama tak peduli apa agamamu, bahkan ateis sekalipun, yang penting bagaimana kamu berperilaku. Beragama itu esensinya adalah hubunganmu dengan Tuhanmu. Tapi karena kamu hidup bermasyarakat, maka perilaku kamu yang harus diutamakan,” tutur ibunya Ezra.
“Pihak keluarga pada intinya mendukung. Hanya, pihak yang menyayangkan itu paman dari pihak ibu saya yang dulunya mengajari saya membaca Al-Qur’an,” lanjut Ezra Abraham.
Teman terdekatnya pun tak terkejut ketika dirinya sudah resmi menjadi Yahudi. Sebab teman-temannya sudah tahu dirinya Yahudi jauh sebelum konversi. Apalagi dirinya juga aktif di komunitas lintas agama.
Perubahan besar justru terjadi ketika Ezra Abraham muncul ke publik di podcast yang dipandu Husein Jafar Al Haddar atau yang akrab disapa Habib Jafar.
Ezra Abraham sebenarnya sosok yang suka becanda di medsos. Namun ketika dirinya duduk bersama Habib Jafar yang dikenal sebagai ulama muda di podcast tersebut, dirinya seketika dianggap sebagai pemuka agama juga. Hal ini membuat Ezra lebih jaim di medsos.
“Dengan begini saya tak bisa jadi diri sendiri seperti dulu. Tapi di sisi lain, saya jadi punya wadah untuk mengenalkan tentang Yahudi dengan gaya yang santai di medsos,” jelas lelaki yang berprofesi pebisnis itu. (*)