Distribusi Pupuk Kacau, DPRD Kaltim Desak Evaluasi Total
Penulis: Akmal Fadhil
Rabu, 28 Mei 2025 | 17 views
Gudang Pupuk.
Samarinda, Presisi.co — Polemik kelangkaan pupuk bersubsidi kembali mencuat di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser. DPRD Kaltim menyebut persoalan ini sebagai masalah klasik yang tak kunjung tuntas akibat lemahnya pengawasan dan sistem distribusi yang tidak transparan.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Fadly Himawan, mendesak evaluasi menyeluruh terhadap rantai distribusi pupuk subsidi, dari distributor hingga pengecer. Ia menilai, selama ini pupuk bersubsidi lebih sering dikuasai oknum tertentu daripada sampai ke tangan petani yang berhak.
“Ini masalah yang muncul tiap tahun. Harusnya jadi alarm bagi pemerintah. Sistem distribusi pupuk harus dibenahi dari hulu ke hilir,” tegas Fadly, Rabu 28 Mei 2025.
Ia menyoroti minimnya validasi data penerima subsidi, yang membuka celah manipulasi dan permainan di lapangan. Fadly meminta agar pemerintah daerah dan dinas terkait memperketat pengawasan serta memastikan hanya petani sah yang menerima jatah pupuk.
“Kalau sistemnya tidak akurat, petani kecil yang benar-benar butuh justru terpinggirkan. Padahal pupuk itu kebutuhan dasar mereka,” ujarnya.
Fadly juga mendorong transparansi penuh dalam alokasi dan pendistribusian pupuk bersubsidi. Menurutnya, data kuota, penerima, dan lokasi distribusi harus dapat diakses publik sebagai bentuk kontrol sosial.
“Ini bukan cuma soal logistik. Ini soal keadilan. Jangan sampai petani menjerit karena ada pihak lain yang diam-diam menikmati,” katanya.
DPRD Kaltim, kata Fadly, akan segera menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dinas Pertanian, distributor pupuk, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya, mengurai akar masalah dan merumuskan solusi permanen agar kelangkaan pupuk tak lagi jadi isu musiman.
Sementara itu, petani di wilayah Babulu, PPU, mengaku sudah sejak awal tahun mengalami kesulitan mendapatkan pupuk urea dan NPK. Selain langka, harga di tingkat pengecer juga melampaui harga eceran tertinggi (HET).
“Pupuknya tidak keluar, padahal kami sudah terdaftar di kelompok tani. Kalau ada pun harganya tinggi, kami jadi kurangi dosis, akhirnya panen berkurang,” keluh Haji Rahman, petani padi setempat. (*)