Dari Tiongkok ke Indonesia: Refleksi Akademik Atas Implementasi Program Makan Bergizi Gratis
Penulis: Opini
1 hari yang lalu | 385 views
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS, Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
Presisi.co - Dalam sebuah acara ngopi santai yang digelar Lembaga Pemikiran Strategik Prabowonomik di salah satu warung kopi Jakarta pada Jumat malam, 26 September 2025, berlangsung diskusi menarik mengenai isu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Diskusi ini menghadirkan beragam perspektif dari pengamat kebijakan publik Pascasarjana Universitas Mercu Buana, pakar hukum, hingga kalangan pengusaha. Pada sesi awal, perbincangan diarahkan pada pengalaman keberhasilan program MBG di Tiongkok, yang dalam analisis para narasumber dinilai bertumpu pada kombinasi komitmen politik yang kuat, pendanaan yang berkelanjutan, manajemen terdesentralisasi, standar gizi yang terukur, integrasi lintas sektor, sistem pengawasan yang ketat, serta dukungan luas dari masyarakat.
Indikator Pembanding
Pada awal diskusi Program MBG, Analis Kebijakan Publik mengambil program MBG di Tiongkok sebagai pembanding dan kemudian menjadi landasan analisis diskusi studi kasus ini. Program MBG di negara itu pada dasarnya merupakan kebijakan National Nutrition Improvement Program for Rural Compulsory Education Students (NNIPRCES) yang telah dimuali tahun 2011. Program NNIPRCES ini dinilai cukup berhasil karena proses manajemennya berjalan secara komprehensif, dengan didukung oleh beberapa faktor penting sebagai indikator: Satu, sisi komitmen politik dan kebijakan nasional. Pemerintah pusat Tiongkok telah menjadikan program MBG sebagai prioritas nasional dalam rangka mengatasi ketimpangan gizi pada anak khusus yang tinggal di wilayah pedesaan, yang diikuti oleh regulasi dan dukungan anggaran secara langsung dari negara, sehingga konsistensi pelaksanaan program terjamin.
Dua, adanya dukungan pendanaan yang terstruktur dan berkelanjutan. Anggaran MBG di Tiongkok datang dari dua sumber yakni system kombinasi pemerintah pusat dan daerah, didukung mekanisme transfer fiskal untuk memastikan daerah miskin tetap mampu menjalankan program itu. Sistem pendanaan ini menjadi perhatian utama agar berjalan secara transparan dalam pengelolaan dana, ditambah dengan pengawasan keuangan yang ketat. Tiga, Manajemen MBG di Tiongkok melalui system desentralisasi pemerintah pusat dengan menetapkan standar umum, tetapi pelaksanaan diserahkan kepada pemerintah daerah dan sekolah. Pihak sekolah-sekolah bekerja sama dengan penyedia lokal (koperasi petani setempat) untuk pengadaan bahan makanan, sehingga lebih efisien dan sekaligus bertujuan memberdayakan ekonomi lokal. Empat, soal kualitas gizi dan standarisasi menu. Menu makanan program MBG dirancang sesuai standar gizi nasional dengan memperhatikan variasi protein, sayur, karbohidrat, dan vitamin. Dalam proses ini pemerintah melibatkan pakar gizi, lembaga kesehatan, dan akademisi untuk memastikan kualitas dan proses MBG keberlanjutan.
Lima, Soal integrasi dengan program pendidikan dan kesehatan. Program MBG di Tiongkok tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi dengan program kesehatan sekolah seperti pemeriksaan gizi, kesehatan mulut, dan edukasi gizi. Hal ini menarik karena dapat memastikan bahwa peningkatan gizi berjalan beriringan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan siswa. Enam, Soal partisipasi masyarakat dan orang tua. Program MBG melibatkan orang tua murid, para komunitas desa, dan organisasi sosial dalam melakukan pengawasan mutu. Petani lokal juga dilibatkan dalam rantai pasok bahan makanan, sehingga program mendapat dukungan secara luas.
Tujuh, Soal efek multiplier ekonomi. Dengan cara membeli bahan makanan dari petani lokal, program MBG di Tiongkok mampu meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Efek ganda ini memperkuat dukungan politik dan sosial terhadap program keberlanjutan BNG di negara itu. Indikator terakhir, adalah soal system pengawasan dan evaluasi berkelanjutan sebagai pamungkas. Sistem monitoring yang berbasis data digunakan untuk menilai efektivitas program, mulai dari tingkat kehadiran sekolah, prestasi belajar, hingga indikator kesehatan siswa. Program monitoring ini diikuti oleh mekanisme laporan berkala dan inspeksi mendadak (sidak) oleh pemerintah dalam usaha mencegah penyalahgunaan anggaran dan memastikan kualitas makanan MBG.
Analisis & Wayout
Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia pada tahap awal ini masih menghadapi sejumlah tantangan sehingga belum mencapai tingkat keberhasilan seperti yang terlihat pada program serupa di Tiongkok. Dari sisi komitmen politik dan kebijakan nasional, sasaran MBG di Indonesia mencakup anak-anak di pedesaan maupun perkotaan tanpa membedakan kelas ekonomi, sehingga potensi ketidaktepatan sasaran masih cukup besar. Perlu ada regulasi yang lebih jelas terkait prioritas penerima manfaat agar anggaran negara dapat digunakan lebih efektif. Selain itu, mekanisme pendanaan MBG yang sepenuhnya berasal dari pemerintah pusat perlu dilengkapi dengan skema pembiayaan berlapis, termasuk kontribusi pemerintah daerah. Hal ini bertujuan agar konsistensi pelaksanaan program tetap terjaga dan pengawasan pengelolaan dana bisa berjalan transparan dari tingkat pusat hingga daerah.
Hambatan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum adanya standar umum yang ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dalam implementasi program di daerah. Ketiadaan manajemen yang terdesentralisasi membuat sekolah dan pemerintah daerah belum optimal menjalin kerja sama dengan penyedia lokal, seperti koperasi atau kelompok petani, sehingga potensi efisiensi biaya dan pemberdayaan ekonomi lokal masih terabaikan. Standarisasi menu gizi yang seharusnya berpedoman pada kebutuhan nutrisi nasional—dengan variasi protein, sayur, karbohidrat, dan vitamin—juga belum sepenuhnya terwujud. Untuk itu, keterlibatan pakar gizi, lembaga kesehatan, serta akademisi sangat diperlukan dalam menyusun dan mengawasi menu agar kualitas gizi siswa benar-benar terjamin. Partisipasi masyarakat, orang tua, serta komunitas lokal pun sebaiknya diperkuat karena pengawasan berbasis komunitas akan membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap program ini.
Dari sisi integrasi, program MBG di Indonesia masih berdiri sendiri dan belum dikaitkan secara erat dengan program kesehatan sekolah seperti pemeriksaan gizi, kesehatan mulut, serta edukasi gizi. Padahal, jika MBG dipadukan dengan layanan kesehatan dasar di sekolah, maka dampak peningkatan gizi akan sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan anak. Efek ganda (multiplier effect) program juga akan lebih nyata apabila bahan makanan diutamakan berasal dari petani lokal. Dengan begitu, program tidak hanya meningkatkan kualitas gizi siswa, tetapi juga mendongkrak pendapatan masyarakat desa serta memperkuat dukungan sosial-politik terhadap keberlanjutan MBG di berbagai daerah.
Aspek lain yang perlu diperkuat adalah sistem pengawasan dan evaluasi. Hingga kini, program MBG belum memiliki mekanisme evaluasi berkelanjutan berbasis data yang mampu menilai efektivitas serta efisiensinya secara menyeluruh. Padahal, indikator seperti tingkat kehadiran siswa, prestasi belajar, hingga kondisi kesehatan sangat penting untuk memetakan capaian program. Untuk itu, BGN sebaiknya membangun sistem pelaporan berkala dari sekolah-sekolah pelaksana dan melaksanakan inspeksi mendadak (sidak) secara rutin. Dengan pengawasan yang ketat, risiko penyalahgunaan anggaran dapat diminimalisasi, kualitas makanan tetap terjaga, dan tujuan utama program MBG, yakni peningkatan kualitas gizi dan pendidikan anak bangsa, benar-benar dapat tercapai.
Menjelang akhir diskusi, Ketua Lembaga Pemikiran Strategik Prabowonomik, Tommy Nicson JT, memberikan tinjauan yang cukup mengesankan. Ia menegaskan bahwa di tengah pusaran isu viral di media sosial yang menyoroti sisi lemah program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebenarnya implementasi program prioritas nasional Presiden Prabowo ini telah menghasilkan cukup banyak dampak positif. Pertama, rantai pasok bahan makanan dari petani lokal meningkat sehingga kesejahteraan petani pun ikut terdongkrak. Kedua, para pekerja lokal yang sebelumnya menganggur kini memperoleh kesempatan kerja baru dalam jaringan MBG. Ketiga, industri otomotif yang sempat terpuruk dapat terselamatkan karena beralih fungsi menjadi produsen nampan makanan (food tray), begitu pula sejumlah pabrik kelas menengah yang kini kembali hidup dengan produksi food tray. Keempat, para pemilik restoran, kafe, dan jasa katering di berbagai daerah yang sebelumnya hampir bangkrut kini bangkit kembali setelah menjadi mitra MBG, sehingga usaha mereka dapat beroperasi dengan stabil.
Terakhir dalam diskusi itu, Tommy Nicson JT menyarankan, bahwa untuk meredam isu negatif tanpa fakta yang diarahkan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu jalan keluar yang efektif adalah dengan menekankan fleksibilitas menu yang disajikan. Menu makanan sebaiknya bersifat kondisional, artinya disesuaikan dengan kearifan lokal dan jenis makanan khas di masing-masing daerah, namun tetap berlandaskan standar kualitas gizi yang berlaku secara nasional. Pendekatan ini tidak hanya membuat anak-anak lebih mudah menerima makanan yang akrab dengan cita rasa mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah peka terhadap keberagaman budaya kuliner bangsa. Di sisi lain, sistem keamanan pangan harus diperketat dengan mencegah adanya kemungkinan upaya sabotase dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik melalui kepemilikan dapur MBG yang terkontrol maupun pengawasan ketat untuk menutupi celah pihak-pihak tertentu yang bertujuan merusak kualitas makanan yang diberikan kepada anak.
Selain itu, strategi komunikasi publik juga harus berjalan paralel dengan pengelolaan teknis di lapangan. Usaha peliputan secara berkelanjutan di berbagai daerah perlu dilakukan, menampilkan wajah anak-anak yang gembira menikmati MBG serta testimoni orang tua yang merasa terbantu oleh program ini. Visualisasi positif tersebut akan menjadi narasi tandingan yang kuat terhadap kampanye negative seperti berita hoax, dll. Untuk memperkuatnya, BGN perlu pembentuk Tim Manajemen Media yang berfungsi khusus sebagai alat sosialisasi program yang konstriktif kepada masyarakat luas. Tim ini bertugas memastikan bahwa setiap isu atau pemberitaan negatif tanpa data dan fakta dapat segera dijawab dan dikonter dengan data, fakta, dan cerita keberhasilan nyata di lapangan.
Sebagai kongklusi, program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah investasi besar bangsa untuk menyiapkan generasi masa depan yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Namun, agar manfaatnya benar-benar dirasakan secara merata, pemerintah perlu memperbaiki regulasi sasaran, memperkuat transparansi pendanaan, melibatkan pakar gizi, masyarakat lokal, para guru dan akademisi, serta memastikan pengawasan yang berkesinambungan. Dengan langkah korektif ini, MBG tidak hanya menjadi simbol politik, melainkan benar-benar hadir sebagai program strategis yang mengangkat harkat hidup anak-anak Indonesia sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat. (*)
Penulis:
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co