search

Opini

Hilirisasi TambangKabupaten Sumbawa Barat Kebijakan Publik yang AdilDr. SyaifuddinKebijakan KSBTambang di Sumbawa BaratPolitik Kebijakan Tambang

Hilirisasi Tambang di Sumbawa Barat: Analisis Kritis Antara Janji Kemajuan, Politik Ekstraktivisme, dan Krisis Keadilan bagi Rakyat Lokal

Penulis: Opini
29 menit yang lalu | 0 views
Hilirisasi Tambang di Sumbawa Barat: Analisis Kritis Antara Janji Kemajuan, Politik Ekstraktivisme, dan Krisis Keadilan bagi Rakyat Lokal
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS, Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.

Hilirisasi industri tambang di Kabupaten Sumbawa Barat selama ini dipromosikan sebagai tonggak baru pembangunan nasional, namun realitas kebijakan dan implementasinya mengungkap problem jauh lebih kompleks. Di balik smelter raksasa, kawasan industri, dan narasi “poros ekonomi Indonesia tengah”, terdapat persoalan struktural tentang tata kelola, ketidakadilan distribusi manfaat, dan risiko ekologis besar. Banyak keputusan bersifat top-down, tanpa kajian AMDAL independent, dan partisipasi rakyat. Profit terkonsentrasi pada aktor negara dan korporasi, namun masyarakat lokal hanya menikmati ketidakadilan. Tulisan ini membedah persoalan tersebut melalui kacamata Teori Kritis, Teori Ekonomi Politik hingga Teori Negara Dunia Ketiga, untuk melihat apakah hilirisasi di KSB benar-benar jalan menuju kesejahteraan atau hanya reproduksi baru dari politik ekstraktivisme lama.

Membongkar Wacana Hilirisasi dan Politik Kebijakan Tambang

Tulisan ini sedikit sebagai tanggapan terhadap rumusan hasil percakapan pemikiran Bruga Nijang (BN) yang disampaikan oleh Adi Suryo (28-11-2025) bertemakan “Menjadikan Ksb Sebagai Hub Ekosistem Industri Hilirasasi Tambang”. Isi rumusan itu adalah masalah urgen sehingga cukup menarik untuk ditanggapi pada beberapa aspek yang terasa masih belum tuntas. Diskusi soal transformasi Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) sebagai pusat hilirisasi tambang membutuhkan analisis mendalam yang melampaui narasi pembangunan yang diglorifikasi pemerintah. Dalam kerangka Teori Ekonomi Politik kritis, hilirisasi tidak hanya dipahami sebagai proses teknis pemurnian mineral, melainkan sebagai arena perebutan kontrol atas sumber daya strategis antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal.

Ulasan narasi resmi pemerintah menggarisbawahi optimisme pembangunan, peningkatan investasi, serta penciptaan ekosistem industri modern. Namun pendekatan kritis melihat kebijakan ini berpotensi memperkuat struktur ekonomi ekstraktif yang telah lama mencirikan hubungan pusat dan daerah di Indonesia. KSB memang disebut memasuki era baru sebagai hubungan industri, tetapi pertanyaannya, sejauh mana proses kebijakan tersebut disusun secara demokratis dan berpihak pada masyarakat lokal?. Realitas historis pertambangan di NTB menunjukkan bahwa keuntungan finansial cenderung mengalir ke pusat kekuasaan dan pemilik modal, sementara beban ekologis dan sosial ditanggung warga setempat. Karena itu, hilirisasi perlu diposisikan sebagai objek kajian politik, bukan sekadar proyek teknokratis.

Dalam perspektif Teori Negara Dunia Ketiga, pembangunan seperti proyek smelter mineral di KSB dapat dibaca sebagai bentuk “developmentalisme terpusat” di mana negara berperan sebagai fasilitator kepentingan kapital, bukan penjaga kepentingan rakyat. Proses perumusan kebijakan tambang itu sangat top-down, sebab inisiatif, legitimasi, hingga percepatan proyek bergantung pada pemerintah pusat. Mekanisme partisipasi lokal tidak terlihat, baik dalam penyusunan agenda, kajian AMDAL, maupun mekanisme kompensasi sosial. Model seperti ini mencerminkan pola negara postkolonial yang sering bertindak sebagai komprador, dimana kekuasaan difungsikan untuk memperlancar arus investasi, sementara aspirasi rakyat dipinggirkan. Hilirisasi dijual sebagai jalan menuju Indonesia maju, tetapi tanpa tata kelola inklusif, ia dapat menjelma menjadi instrumen baru akumulasi kapital berbasis ekstraktivisme. Dengan demikian, narasi BN bahwa kebijakan ini merupakan “loncatan sejarah” masih dipertanyakan, sebab keberhasilan pembangunan seharusnya diukur dari sejauh mana ia menciptakan keadilan sosial, bukan sekadar peningkatan output industri.

Ketika case ini dibedah melalui Teori Oligarki dan Klientelisme, nampak hilirisasi KSB berpotensi menjadi arena konsolidasi kepentingan antara elit politik dan korporasi besar. Penetapan smelter berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan sejumlah privilese seperti percepatan izin, bypass evaluasi regulatif, dan akses koordinasi langsung dengan kementerian. Dalam praktik politik Indonesia, privilese seperti ini sering memperbesar ketergantungan pemerintah daerah terhadap investor, sehingga relasi menjadi asimetris yakni perusahaan mengendalikan investasi dan teknologi, sementara pemerintah daerah lebih berfungsi sebagai administrator yang mengurus izin. Kondisi ini menciptakan risiko bahwa keputusan strategis mengenai ruang hidup rakyat lokal ditentukan oleh aktor-aktor yang tidak mengalami dampak langsung dari perubahan ekologi dan sosial. Hal ini sejalan dengan temuan berbagai studi tentang industri ekstraktif, di mana keputusan yang berdampak luas sering diputuskan melalui jaringan elite-to-elite, bukan mekanisme deliberatif. Maka retorika bahwa proyek ini kolaboratif perlu diuji ulang dengan melihat struktur kekuasaan yang sesungguhnya bekerja.

Narasi pemerintah mengenai rantai nilai hilirisasi dari hulu hingga hilir, tampak lengkap dan sistematis. Namun pendekatan teori kritis mengingatkan bahwa detail teknis seperti kapasitas smelter, teknologi pengolahan, dan integrasi industry, tidak otomatis mencerminkan kesejahteraan. Sejarah industri ekstraktif menunjukkan bahwa kontrol atas rantai nilai sering berujung pada pemusatan manfaat ekonomi pada perusahaan tambang, sementara warga lokal hanya menerima pekerjaan jangka pendek dan program CSR yang sifatnya kosmetik. Dampak lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan potensi limbah B3 tidak dihitung sebagai “biaya produksi” dalam neraca perusahaan, melainkan dibebankan ke komunitas lokal. Karena itu, sekalipun rantai nilai hilirisasi tampak ideal secara teknokratis, namun belum tentu berkeadilan jika tidak diikuti mekanisme distribusi manfaat yang jelas, transparan, dan memberi posisi tawar kepada warga KSB.

Isu AMDAL menjadi salah satu titik kritis yang tidak dijelaskan secara detail dalam kebijakan itu. Teori Lingkungan Kritis menekankan AMDAL bukan hanya dokumen administratif, tetapi instrumen demokrasi ekologis yang wajib melibatkan warga sejak tahap perencanaan. Ketika AMDAL disusun tanpa partisipasi publik atau tanpa dibuka secara transparan, maka potensi konflik sosial dan kerusakan ekologis meningkat signifikan. Industri smelter mineral menghasilkan emisi SO₂, residu logam berat, dan limbah cair yang memerlukan pengawasan ketat. Jika hal tersebut tidak dijelaskan secara jujur dan rinci, maka narasi keberlanjutan yang disampaikan perusahaan berubah menjadi bentuk greenwashing. Dalam konteks ini, kekhawatiran rakyat bahwa proyek dilakukan secara sepihak memperoleh landasan teori yang kuat. Hilirisasi tanpa demokratisasi pengelolaan lingkungan hanyalah modernisasi bentuk ekstraksi, bukan transformasi menuju pembangunan berkelanjutan.

Analisis BN terhadap peran pemerintah daerah menunjukkan adanya impresi bahwa Pemda KSB memiliki kewenangan besar melalui RTRW, RDTR, dan izin usaha. Namun ekonomi politik regional menunjukkan kewenangan tersebut tidak setara dengan kendali material atas proyek. Kewenangan administratif tidak serta merta berarti kekuasaan substantif. Arah investasi, desain kawasan industri, keputusan energi, hingga akses teknologi ditentukan oleh perusahaan dan kementerian. Selain itu, status PSN membuat pemerintah pusat dapat mengambil alih keputusan jika dianggap “menghambat percepatan”. Dalam struktur seperti ini, Pemda sering berada dalam posisi dilematis; ingin melindungi warga, tetapi khawatir dituduh anti-investasi. Ketimpangan kekuasaan ini perlu disadari karena ia menentukan apakah kebijakan ini benar-benar dapat dikontrol secara lokal atau hanya dipresentasikan sebagai legitimasi politik.

Dalam rumusan BN juga banyak menekankan peran perusahaan sebagai “motor inovasi”, “mitra pembangunan”, dan “champion industri”. Retorika ini lazim dalam proyek ekstraktif skala besar, namun teori kritis mengingatkan bahwa perusahaan tetap memiliki orientasi utama yakni akumulasi keuntungan. Komitmen terhadap lingkungan atau pemberdayaan warga lokal sering bersifat minimalis atau bersyarat. Program pelatihan, pemberdayaan UMKM, dan CSR sebagaimana ditekankan dalam rumusan BN harus dievaluasi secara kritis; apakah program tersebut benar-benar meningkatkan kapasitas ekonomi warga atau hanya substitusi dari kewajiban kompensasi yang lebih fundamental seperti ganti rugi lahan, skema bagi hasil, atau jaminan lingkungan?. Tanpa mekanisme audit sosial independen, perusahaan dapat mengklaim keberhasilan yang tidak sejalan dengan realitas fakta di lapangan. Karena itu, warga lokal perlu dilibatkan tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengawas kebijakan itu.

Salah satu klaim terbesar dalam rumusan BN bahwa hilirisasi akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat KSB melalui lapangan pekerjaan dan multiplier effect ekonomi. Namun Resource Curse Theory dan studi empiris pertambangan di berbagai daerah Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan PDRB tidak serta merta meningkatkan pendapatan rumah tangga. Lapangan kerja di smelter sangat terbatas dan memerlukan keterampilan tinggi, sehingga sebagian besar posisi penting diisi pekerja dari luar daerah. Selain itu, struktur ekonomi monosektor membuat daerah sangat rentan ketika umur tambang berakhir. KSB perlu belajar dari daerah lain di mana bom industri hanya berlangsung sesaat, sementara kerusakan lingkungan bersifat permanen. Karena itu, klaim kesejahteraan harus diuji dengan data independen, bukan hanya proyeksi optimistis investor atau pemerintah. Transformasi struktural membutuhkan diversifikasi ekonomi, bukan hanya menggantungkan masa depan wilayah pada satu mega-proyek hilirisasi saja.

Menilai Asumsi, Risiko, dan Distribusi Manfaat dalam Kebijakan KSB

Selain masalah struktur ekonomi, aspek sosial-budaya juga perlu mendapat perhatian kritis dalam pembahasan hilirisasi di KSB. Transformasi kawasan menjadi pusat industri besar akan memicu arus migrasi pekerja, perubahan pola ruang, urbanisasi cepat, dan tekanan pada identitas lokal. Teori Pembangunan Berbasis Komunitas menekankan bahwa proyek raksasa sering mengikis kohesi sosial dan memunculkan ketimpangan antara kelompok yang mendapatkan akses ekonomi dan kelompok yang tersisih. Dalam konteks KSB, yang memiliki komunitas pesisir, petani, dan masyarakat adat kecil, dinamika ini dapat memunculkan “geografi baru ketidakadilan,” di mana wilayah dekat industri menjadi pusat pertumbuhan, sementara desa-desa lain mengalami marginalisasi. Proyek smelter dan kawasan industri cenderung menciptakan ekonomi enclave, yaitu wilayah makmur berbasis ekstraksi yang tidak terhubung secara organik dengan ekonomi rakyat lokal. Jika tidak dikelola dengan kebijakan inklusif, hilirisasi di KSB berpotensi memperkuat segregasi sosial dan menghapus kearifan lokal yang merugikan warga setempat.

Dari sisi kebijakan publik, salah satu indikasi lemahnya proses perumusan kebijakan pada isu ini adalah absennya konsultasi publik yang bermakna deliberatif lokal. Dalam pendekatan participatory governance, setiap proyek besar wajib melewati diskusi tripartite; negara, masyarakat, dan korporasi. Namun rumusan BN menunjukkan dominasi narasi pemerintah pusat dan korporasi, sementara suara rakyat hanya sebagai penerima manfaat, bukan aktor yang memiliki hak atas keputusan. Pola ini bertentangan dengan prinsip free, prior, informed consent (FPIC) yang menjadi standar internasional dalam industri ekstraktif. Ketika warga lokal tidak memiliki ruang untuk mempertanyakan potensi risiko, mengusulkan alternatif, atau menolak proyek tertentu, maka proses kebijakan itu kehilangan akar demokratisnya. Hilirisasi yang tidak berbasis partisipasi akan rapuh karena legitimasi sosialnya lemah, dan berpotensi memicu konflik ekologis atau sosial di kemudian hari. Pemerintah daerah seharusnya berperan aktif memperjuangkan ruang deliberatif ini, bukan sekadar menjalankan instruksi pusat.

Dalam konteks ekonomi regional, rumusan BN memproyeksikan bahwa hadirnya smelter akan menciptakan banyak peluang bagi UMKM lokal. Namun Teori Rantai Pasok Global menunjukkan bahwa industri ekstraktif memiliki kecenderungan kuat menggunakan kontraktor besar dan pemasok yang telah memiliki standar internasional, sehingga UMKM lokal sulit bersaing. Bahkan ketika UMKM dilibatkan, biasanya hanya pada sektor-sektor non-strategis seperti katering, transportasi ringan, atau layanan domestik. Sementara sektor bernilai tinggi seperti logistik berat, engineering, maintenance, dan teknologi, tetap dikuasai perusahaan besar yang berasal dari luar daerah. Hal ini membuat redistribusi ekonomi sangat kecil. Jika pemerintah daerah serius ingin memastikan UMKM lokal mendapatkan manfaat, maka harus ada kewajiban formal mengenai porsi pengadaan lokal, bukan sekadar imbauan moral. Tanpa regulasi tersebut, keterlibatan UMKM akan tetap bersifat pinggiran, sementara nilai ekonomi utama tetap terpusat pada perusahaan inti dan mitra besarnya.

Mengenai aspek lingkungan, dalam rumusan BN memaparkan adanya teknologi modern seperti electrostatic precipitator, CEMS, dan pengolahan gas menjadi asam sulfat sebagai bukti komitmen keberlanjutan. Namun membaca kasus global smelter di KSB ini menunjukkan bahwa teknologi tinggi tidak menghilangkan potensi pencemaran, hanya menahannya dalam batas tertentu. Emisi SO₂ yang lolos dari filtrasi tetap dapat menyebabkan hujan asam, kerusakan vegetasi, dan gangguan pernapasan. Limbah cair yang mengandung logam berat seperti arsenik, selenium, atau merkuri dapat terakumulasi di rantai makanan laut dan berdampak pada nelayan pesisir. Dalam Teori Ekologi Politik, masalah lingkungan tidak hanya dilihat sebagai isu teknis, tetapi sebagai perpanjangan dari ketidaksetaraan politik, dimana warga lokal yang terkena dampak biasanya adalah mereka yang paling sedikit menikmati manfaat ekonomi. Maka klaim keberlanjutan harus diuji secara independen, bukan hanya diterima berdasarkan laporan perusahaan. Pemerintah daerah perlu mendorong audit lingkungan oleh lembaga non-pemerintah untuk memastikan tidak ada greenwashing.

Analisis terhadap hubungan pusat-daerah dalam rumusan BN menunjukkan pola hierarkis dalam pengambilan keputusan. Pemerintah pusat memegang kendali pada level strategis, sementara pemerintah daerah memegang kendali pada level operasional. Namun dalam praktik kebijakan publik, kendali operasional tanpa kuasa strategis sering berarti ketergantungan penuh. Fenomena ini sesuai dengan konsep decentralized authoritarianism, di mana desentralisasi hanya berlaku pada tugas-tugas administratif, sementara kekuasaan politik dan ekonomi tetap berada di pusat. Pengaruh ini diperkuat ketika proyek dimasukkan ke dalam daftar PSN, sehingga memberikan hak intervensi langsung bagi kementerian. Dalam situasi seperti ini, pemerintah daerah sering tidak memiliki bargaining position, meskipun wilayah mereka yang akan menanggung dampak jangka panjang. Ketika pemerintah daerah tidak memiliki kekuatan untuk mengubah desain investasi, mekanisme kompensasi, atau mitigasi risiko, maka hilirisasi akan menjadi proses yang tidak adil secara struktural.

Dari perspektif Teori Dependensi, transformasi industri yang dibayangkan di KSB juga dapat dibaca sebagai bentuk ketergantungan baru terhadap modal, teknologi, dan pasar global. Walaupun rumusan BN menekankan bahwa hilirisasi akan meningkatkan kemandirian nasional, kenyataannya industri smelter sangat tergantung pada teknologi impor, LNG dari daerah lain, dan standar pasar internasional seperti LME. Ketergantungan ini berarti fluktuasi global akan berdampak langsung pada KSB, sementara warga lokal tidak memiliki mekanisme perlindungan sosial yang sepadan. Proyek besar yang sangat bergantung pada pasar global berisiko menghasilkan ketidakstabilan ekonomi lokal. Jika harga tembaga turun drastis, operasi dapat dikurangi atau dihentikan, maka ribuan tenaga kerja lokal akan kehilangan mata pencaharian. Karena itu, mengandalkan hilirisasi sebagai pilar ekonomi tunggal sangat berbahaya bagi keberlanjutan jangka panjang wilayah Sumbawa.

Salah satu tantangan besar yang tidak disinggung dalam rumusan BN adalah keberlanjutan ekonomi pasca-tambang. Teori Transisi Ekonomi menekankan bahwa wilayah yang bergantung pada industri ekstraktif sering menghadapi “lubang struktural” ketika cadangan mineral menipis. KSB memiliki waktu terbatas untuk memanfaatkan momentum ini guna mengembangkan pendidikan, ekosistem teknologi, dan sektor non-ekstraktif seperti pertanian modern, perikanan berkelanjutan, dan ekonomi kreatif. Tanpa strategi diversifikasi yang matang, KSB berisiko mengikuti jejak daerah tambang lain yang mengalami kemunduran setelah tambang ditutup, meninggalkan infrastruktur yang tak terpakai dan kerusakan lingkungan yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, visi hilirisasi harus diiringi dengan strategi keluar yang jelas, bukan hanya fokus pada masa operasi tambang. Pembangunan harus menciptakan fondasi ekonomi jangka panjang, bukan ketergantungan baru pada industri yang memiliki umur terbatas.

Dalam rumusan BN tersebut menekankan bahwa hilirisasi akan memberikan legitimasi sosial melalui keterlibatan warga dalam program pelatihan, monitoring lingkungan, dan pengembangan UMKM. Namun Social License to Operate Theory menunjukkan bahwa legitimasi sejati tidak dibangun melalui program-program yang dirancang dari atas ke bawah, melainkan melalui pengakuan hak warga atas tanah, ruang hidup, dan suara dalam pengambilan keputusan. Selama warga tidak memiliki hak veto atau hak negosiasi yang kuat dalam proyek ekstraktif, partisipasi mereka hanya bersifat prosedural. Legitimasi prosedural yang tidak disertai legitimasi substantif maka cenderung rapuh dan dapat runtuh ketika terjadi krisis lingkungan atau sosial. Karena itu, pembangunan KSB sebagai hubungan hilirisasi harus menciptakan relasi kekuasaan baru yang memberi ruang bagi warga sebagai pemilik sah wilayah, bukan hanya penerima manfaat pasif.

Jalan Keluar: Kebijakan Publik yang Adil, Partisipatif, dan Berbasis Hak

Keberhasilan hilirisasi tidak hanya bergantung pada keberadaan smelter dan kawasan industri, tetapi juga pada bagaimana kebijakan ini mempengaruhi struktur kepemilikan aset di tingkat lokal. Dalam kerangka Teori Ekonomi Politik, salah satu indikator paling penting pada pembangunan inklusif adalah sejauh mana warga memiliki akses terhadap aset produktif seperti tanah, modal, dan keterampilan. Namun dalam rumusan BN tidak menyinggung skema kepemilikan lokal atau keterlibatan warga lokal sebagai pemegang saham, melainkan hanya sebagai tenaga kerja atau penerima program. Ketiadaan skema kepemilikan lokal ini berarti struktur akumulasi tetap bertumpu pada perusahaan besar, sementara warga berperan dalam posisi sub-ordinat. Pembangunan yang tidak menempatkan warga sebagai pemilik hanya melahirkan pertumbuhan tanpa pemerataan, dan pada akhirnya menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Hilirisasi yang benar-benar adil harus mengakui warga sebagai pemilik sumber daya, bukan sekadar pelengkap rantai produksi.

Salah satu hal yang patut dikritisi dalam rumusan BN adalah cara pemerintah dan perusahaan membingkai hilirisasi sebagai “misi nasional” yang tidak boleh ditawar. Framing semacam ini lazim digunakan dalam proyek-proyek ekstraktif untuk menekan kritik dan meminimalkan ruang negosiasi warga. Hal tersebut jika dibedah dengan Teori Wacana Kritis, menunjukkan bahwa ketika negara mengklaim sebuah proyek adalah bagian dari agenda nasional, maka ruang perdebatan dipersempit dan setiap penolakan dianggap sebagai hambatan kemajuan, sebagaimana dalil yang sering dinarasikan oleh LBP. Padahal warga memiliki hak untuk mempertanyakan, mengoreksi, bahkan menolak proyek yang berpotensi merusak ruang hidup mereka. Wacana nasionalisme ekonomi sering kali menutupi kenyataan bahwa manfaat terbesar justru diterima oleh pemegang konsesi dan elite politik. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara kepentingan nasional yang sejati dan kepentingan korporasi yang dibungkus dalam retorika nasionalisme.

Dalam kerangka perencanaan ruang, rumusan BN menekankan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan RDTR dan RTRW untuk mendukung proyek. Namun Teori Tata Ruang Kritis mengingatkan bahwa perencanaan ruang sering kali direkayasa untuk melegitimasi proyek yang sudah diputuskan sebelumnya. Ketika sebuah proyek besar masuk, peta ruang biasanya diubah untuk menyesuaikan kebutuhan industri, bukan kebutuhan warga. Hal ini dapat menyebabkan alih fungsi lahan yang masif, hilangnya ruang penghidupan, dan konflik agraria. Jika RDTR disusun dengan tekanan dari pusat atau investor, maka hal itu tidak lagi menjadi instrumen pengaturan tata ruang, melainkan hanya alat administratif untuk melancarkan investasi. Karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses penyusunan tata ruang benar-benar partisipatif dan mempertimbangkan aspek ekologis serta budaya lokal, bukan hanya kebutuhan industri.

Aspek lain yang layak dikritisi adalah penggunaan istilah “keberlanjutan” dalam rumusan BN itu, yang tampaknya lebih bersifat retoris daripada substantif. Keberlanjutan dalam konteks industri ekstraktif harus memenuhi tiga indicator yakni keberlanjutan ekologis, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial. Namun proyek smelter memiliki umur terbatas, bergantung pada cadangan mineral dan fluktuasi pasar global. Ini berarti keberlanjutan ekonomi tidak bisa dijamin. Sementara keberlanjutan ekologis terancam oleh limbah B3 dan jejak karbon yang tinggi. Keberlanjutan sosial pun diragukan karena tidak ada jaminan proteksi bagi warga local ketika tambang tutup. Karena itu, penggunaan istilah keberlanjutan tanpa penjelasan rinci dapat dianggap sebagai strategi legitimasi. Pembangunan yang benar-benar berkelanjutan harus mempertimbangkan masa depan generasi setelah tambang, bukan hanya masa operasi tambang itu.

Isu energi menjadi faktor krusial dalam menilai dampak hilirisasi. Smelter tembaga adalah industri dengan konsumsi energi sangat tinggi, dan rumusan BN menunjukkan ketergantungan pada LNG. Ketergantungan ini memiliki beberapa implikasi: Pertama, biaya energi yang tinggi dapat mengurangi daya saing industry. Kedua, LNG tetap merupakan energi fosil yang berkontribusi pada emisi karbon, dan Ketiga, ketergantungan pada importasi atau distribusi dari luar daerah dapat membuat industri ini rentan terhadap volatilitas pasokan. Jika pemerintah daerah tidak memiliki kendali atas kebijakan energi, maka hilirisasi dapat menjadi beban fiskal dan ekologis bagi daerah. Alternatif energi terbarukan seperti surya atau angin memang disebutkan dalam konteks nasional, tetapi tidak dijelaskan dalam konteks KSB. Padahal transformasi energi menjadi kunci agar hilirisasi tidak berujung pada peningkatan emisi.

Secara sosial-politik, rumusan BN tersebut menggambarkan adanya dukungan luas terhadap proyek, namun tidak dijelaskan bagaimana dukungan itu diperoleh. Teori Legitimasi Politik menunjukkan bahwa dukungan dapat terbentuk melalui tiga cara yakni dukungan normatif (berdasarkan nilai), dukungan instrumental (berdasarkan manfaat ekonomi), dan dukungan koersif (karena tekanan atau ketidakmampuan menolak). Dalam banyak kasus proyek besar, dukungan warga muncul karena tidak adanya informasi lengkap tentang risiko atau karena kuatnya tekanan politik dari pemerintah. Jika proses sosialisasi hanya menyampaikan manfaat tanpa menjelaskan risiko, maka dukungan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dukungan bebas dan sadar. Karena itu, penting untuk melihat apakah warga lokal memiliki akses terhadap informasi yang lengkap dan seimbang, termasuk risiko ekologis, ekonomi, dan sosial. Legitimasi yang dibangun melalui informasi yang tidak lengkap pada akhirnya akan rapuh.

Salah satu kelemahan paling mendasar dalam rumusan BN adalah tidak adanya kajian risiko jangka panjang yang bersifat holistik. Proyek hilirisasi berskala besar memerlukan analisis komprehensif tentang dampak kesehatan, perubahan sosial, degradasi lingkungan, serta biaya pemulihan ekologis. Tanpa kajian risiko, pemerintah daerah tidak dapat merancang strategi mitigasi atau rencana kontingensi. Teori Kebijakan Publik menekankan bahwa kebijakan tanpa analisis risiko adalah kebijakan yang rentan gagal karena tidak mampu mengantisipasi konsekuensi yang tidak diinginkan. Selain itu, tanpa kajian risiko, biaya eksternalitas akan dibebankan kepada warga dan pemerintah daerah, bukan perusahaan. Oleh karena itu, hilirisasi perlu dilengkapi dengan analisis risiko independen yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penutup

Dari semua analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa rumusan hilirisasi KSB hanya narasi pembangunan yang bersifat sepihak daripada hasil perumusan kebijakan demokratis. Proyek ini berpotensi membawa manfaat ekonomi, tetapi juga mengandung banyak risiko struktural yang belum dijawab secara memadai. Untuk memastikan hilirisasi benar-benar menguntungkan warga Sumbawa, beberapa hal harus diperkuat mulai dari aspek partisipasi publik substantif, audit lingkungan independen, penguatan posisi tawar daerah, diversifikasi ekonomi, dan transparansi data. Pembangunan harus dilihat bukan sebagai proses yang hanya menguntungkan pemodal, tetapi sebagai upaya kolektif menciptakan kesejahteraan yang adil bagi seluruh warga. Tanpa itu, hilirisasi hanya sebagai politik ekstraktivisme baru yang mengulangi pola ketimpangan lama.

Proyek ini memiliki sejumlah persoalan struktural yang menimbulkan keraguan terhadap sejauh mana hilirisasi benar-benar mampu menghadirkan kesejahteraan yang adil bagi rakyat Sumbawa. Melalui beberapa perspektif teoretis, studi ini menemukan proses perumusan kebijakan minim partisipasi, dan lebih mencerminkan kepentingan aktor negara dan korporasi daripada mengagendakan kepentingan kesejahteraan warga lokal sebagai tujuan akhir. Model ini memperkuat struktur politik ekstraktivisme yang selama puluhan tahun membuat daerah kaya sumber daya, namun tetap saja memiskinkan warga lokal.

Secara kelembagaan, hilirisasi di KSB tidak memenuhi prinsip dasar kebijakan publik demokratis dari syarat keterlibatan warga, transparansi, dan evaluasi risiko. RDTR dan RTRW yang digunakan untuk melegitimasi proyek terindikasi disesuaikan dengan kebutuhan industri, bukan kebutuhan ekologis dan sosial warga lokal. Negara tampil sebagai fasilitator investasi besar, sementara rakyat ditempatkan sebagai tenaga kerja pinggiran dan penerima manfaat yang alakadar, bukan sebagai pemilik sumber daya. Proyek itu tidak ada jaminan bahwa nilai tambah yang tercipta akan bertahan atau mengalir kepada rakyat yang menyejahterakan dalam jangka panjang. Ketergantungan pada LNG, rentabilitas pasar global, dan keterbatasan cadangan mineral membuat keberlanjutan ekonomi proyek ini sangat rapuh.

Rumusan BN tentang hilirisasi tidak menjelaskan potensi dampak buruk proyek ini secara menyeluruh pasca tambang. Ketiadaan kajian akademis yang independen tentang risiko menunjukkan bahwa beban eksternalitas berpotensi dialihkan kepada pemerintah daerah dan rakyat. Klaim “keberlanjutan” bersifat retoris, tidak disertai indikator dan mekanisme kontrol yang benar-benar jelas. Pola aliran manfaat-beban menunjukkan adanya desain kebijakan yang memprioritaskan kelanjutan akumulasi modal kelompok tertentu, sementara rakyat diharapkan menerima narasi pembangunan tanpa ruang negosiasi nyata. Proses legitimasi negara dilakukan melalui retorika simbolis untuk membungkam kritik dan mempersempit ruang deliberasi publik di tingkat lokal.

Penulis:

Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. 
Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.


Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co