search

Advetorial

DPRD Kaltim TBC Kaltim Andi Satya Adi Saputra Komisi IV DPRD Treatment Success Rate TSR TBC Pengobatan TBC TB RO DOTS Kader Kesehatan Edukasi TBC Dinas Kesehatan Kaltim Pencegahan TBC Kesehatan Masyarakat Fraksi Golkar

Keberhasilan Pengobatan TBC di Kaltim Masih Rendah, DPRD Desak Intervensi Serius

Penulis: Akmal Fadhil
Senin, 19 Mei 2025 | 12 views
Keberhasilan Pengobatan TBC di Kaltim Masih Rendah, DPRD Desak Intervensi Serius
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra.

Samarinda, Presisi.co – DPRD Kalimantan Timur menyoroti rendahnya tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TBC) di daerah tersebut.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, menyebut capaian ini sebagai sinyal darurat yang membutuhkan langkah korektif cepat dan menyeluruh.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kaltim per April 2025, tingkat keberhasilan pengobatan atau Treatment Success Rate (TSR) TBC baru mencapai 77,15 persen, jauh di bawah target nasional sebesar 90 persen.

Dari 3.356 pasien yang memulai pengobatan dalam empat bulan terakhir, hanya 1.896 yang menyelesaikan terapi, sementara 286 putus obat, 152 meninggal dunia, dan 693 orang baru dinyatakan sembuh. Sisanya belum dievaluasi atau mengalami kegagalan pengobatan.

“Angka ini harus jadi alarm. TBC adalah penyakit menular serius dan sangat tergantung pada kepatuhan pengobatan. Kalau tidak disiplin, pasien bisa mengalami resistensi obat dan ini sangat berbahaya,” ujar Andi, Senin 19 Mei 2025.

Legislator Fraksi Golkar itu menekankan bahwa pengobatan TBC memerlukan ketekunan selama minimal enam bulan.

Namun, fakta bahwa ratusan pasien menghentikan pengobatan di tengah jalan menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan edukasi di tingkat layanan kesehatan.

“Kalau pasien berhenti minum obat, efeknya bukan cuma pada dirinya, tapi juga bisa menularkan TBC yang lebih kebal. Ini ancaman bagi masyarakat luas,” tegasnya.

Ia mendesak agar pemerintah daerah, terutama Dinas Kesehatan, segera memperkuat pengawasan pasien melalui program Directly Observed Treatment Short-course (DOTS). Sistem ini memungkinkan pasien diawasi langsung saat mengonsumsi obat, untuk mencegah kelalaian.

Andi juga mengusulkan peningkatan peran kader kesehatan di tingkat RT dan desa untuk mengawasi serta mendampingi pasien selama pengobatan.

“Bukan hanya petugas medis, tapi kader lokal juga harus diberdayakan. Ini soal membangun ekosistem kepatuhan pasien,” katanya.

Selain pengawasan, ia menilai edukasi publik masih minim. Banyak pasien yang tidak memahami konsekuensi dari berhenti minum obat atau merasa sudah sembuh setelah gejala mereda.

“Padahal gejala hilang bukan berarti TBC sembuh. Harus tetap tuntas enam bulan. Ini yang perlu dijelaskan berulang-ulang,” ujarnya.

Andi juga mengingatkan pentingnya pencegahan penularan di rumah tangga, terutama bagi pasien aktif. Ia menyarankan pasien menggunakan masker dan menjaga jarak dengan anggota keluarga, termasuk tidur terpisah sementara waktu.

“TBC menyebar lewat udara. Kalau tidak dicegah dari rumah, maka akan terus menular ke keluarga atau tetangga,” jelasnya. (*)