search

Berita

Putusan Mahkamah KonstitusiPresidential Threshold Herdiansyah HamzahAmbang Batas ParlemenDemokrasi

MK Cabut Presidential Threshold, Pengamat: Langkah Positif untuk Demokrasi

Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Sabtu, 04 Januari 2025 | 193 views
MK Cabut Presidential Threshold, Pengamat: Langkah Positif untuk Demokrasi
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta Pusat. (Istimewa)

Samarinda, Presisi.co - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah turut menyampaikan pendapatnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen. Ia menyebut putusan ini sebagai langkah penting untuk mengembalikan demokrasi.

"Putusan MK ini saya pikir perlu diapresiasi. Karena menurut saya, itu adalah terobosan yang bisa membuka ruang demokrasi kembali hidup," kata pria yang sering disapa Castro pada Sabtu, 4 Januari 2025.

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. Keempat mahasiswa itu bernama Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna pada Kamis, 2 Januari 2025.

Keempat mahasiswa tersebut menguji Pasal 222 UU Pemilu beralaskan dengan adanya presidential nomination threshold justru membatasi pilihan calon pemimpin yang tersedia. Presidential nomination threshold justru hanya membuat politik seakan-akan terasa eksklusif dan hanya menjadi mainan dari beberapa elite politik.

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik sebagai peserta pemilu. Apalagi pada partai yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.

MK mempelajari kalau, arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon. Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

Oleh karena itu, MK menyatakan presidential nomination threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Menurut Castro, jika melihat ketentuan presidential nomination treshold, rasanya sulit untuk menemukan kesesuaian antara sarana melalui pasal a quo dengan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang diatur dalam Pasal 222 itu.

"Selama ini, prakteknya hanya menggerucut kepada sedikit pasangan calon atau dua lah biasanya, yang justru bisa membuka ruang polarisasi di antara masyarakat dan itu hanya menyuburkan dominasi politik dari kelompok oligarki," jelasnya.

Castro beranggapan kalau Pasal a quo sebagai 'pasal keramat'. Karena, Pasal a quo yang mengatur mengenai presidential nomination treshold ini, telah dilakukan pengujian sebanyak 32 kali oleh MK.

"Ada semacam logika berserakan yang sulit diterima publik," ujarnya.

Pertama, mengenai open legal policy. Dari 32 putusan pengujian pasal keramat ini, MK menjadikan alasan open legal policy sebagai basis penolakannya. Namun, MK seperti amnesia, lupa jika salah satu unsur dalam memandang open legal policy ini tidak kita dapatkan sama sekali dalam pengaturan presidential nomination treshold.

"Selama ini kan MK memang menjadikan alasan open legal policy sebagai alasan penolakan terhadap permohonan pengujian," tegasnya.

Open legal policy adalah, keleluasaan pembentuk undang-undang dalam menentukan suatu aturan, larangan, kewajiban atau batasan-batasan. Nantinya, akan dimuat dalam suatu norma undang-undang yang sedang dibuat yang merupakan pilihan kebijakan pembuat undang-undang.

Kedua, Pasal keramat ini menjadi problematik dalam bentara praktek ketatanegaraan kita, terutama berkaitan dengan tujuan awalnya yang hendak menguatkan desain “presidensialisme”. Presidensialisme adalah, presiden memiliki kekuasaan yang cukup besar dan tidak bertanggung jawab langsung kepada legislatif.

Salah satu bentuk nyatanya adalah koalisi gemuk (over coalition), yang cenderung mematikan oposisi, sehingga berdampak tidak berjalannya check and balances system dalam pemerintahan.

"Jadi menurut saya putusan MK ini justru memberikan ruang demokrasi di mana semua partai politik bisa mengusulkan masing-masing calonnya. Ini justru memberikan dampak yang positif terhadap ruang demokrasi kita kedepannya," pungkasnya. (*)