search

Berita

bank indonesiasuku bunga acuan naikkenaikan suku bungaResesi GlobalPerry Warjiyorestrukturisasi pinjaman

Pertimbangkan Inflasi, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Menjadi 4,75%, Apa Dampaknya Bagi Masyarakat ?

Penulis: Redaksi Presisi
Kamis, 20 Oktober 2022 | 669 views
Pertimbangkan Inflasi, BI Naikkan Suku Bunga Acuan Menjadi  4,75%, Apa Dampaknya Bagi Masyarakat ?
Potret kantor Bank Indonesia (Sumber: Istimewa)

Presisi.co - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan level suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,75%. Keputusan tersebut diambil setelah BI menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 19 hingga 20 Oktober 2022.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,75%," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo pada Kamis, 20 Oktober 2022, dilansir dari Suara.com, jejaring Presisi.co

Dalam rapat tersebut, Perry menuturkan, BI juga menaikkan suku bunga Deposit Facility menjadi 4%. Dan suku bunga Lending Facility juga naik menjadi 5,5%. Menurutnya, keputusan menaikkan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, preemptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi atau overshooting.

"Selain itu, memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3% plus minus 1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023," ucap dia.

Kenaikan suku bunga ini, tambah Perry, juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah, agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya tekanan mata uang dolar AS. Sejumlah pertimbangkan lain adalah untuk menghadapi ketidakpasian pasar keuangan global dan menjaga permintaan ekonomi domestik agar tetap kuat.

Apa Dampak Kenaikan Suku Bunga ?

Kenaikan suku bunga ternyata adalah dua sisi mata koin yang berbeda. Ada dampak positif dan negatif dari kebijakan tersebut. Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Ekonom Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira.

Dari sisi positif, ia menjelaskan kenaikan suku bunga acuan dapat membuat nilai tukar rupiah perkasa. Hal ini terjadi karena kenaikan bertujuan memancing modal asing masuk ke Indonesia. Investor bakal tertarik dengan untung yang diraih dari hasil surat utang Indonesia.

“hal tersebut bisa mencegah aliran modal keluar sehingga rupiah bisa lebih stabil,” ucapnya dikutip dari Kompas.com, 29 Agustus silam.

Kedua, kenaikan diharapkan dapat menjaga inflasi agar tidak melambung tinggi. Namun, menurut Bima, proses ini baru terasa dalam jangka panjang. Pasalnya, situasi inflasi saat ini lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga makanan dan energi. Bukan dari jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kemudian, efek selanjutnya, presentase bunga deposito yang ditanam dalam bank akan lebih tinggi. Alhasil, masyarakat yang menyimpan uang mereka di bank akan mendalung cuan. Hal tersebut lumrah dilakukan sebab perbankan tidak ingin nasabah menarik tabungan mereka di bank tersebut.

"Jadi alurnya, suku bunga acuan naik, bunga deposito naik untuk jaga likuiditas perbankan. Deposannya happy, uangnya tetap di perbankan disimpan tidak jadi dialihkan ke aset lainnya," jelas Bhima.

Sementara dari sisi negatif, kenaikan suku bunga akan menambah nilai bunga kredit pinjaman masyarakat. Hal ini disebabkan bank harus membayar imbal hasil kepada nasabah yang mendeposit uang di bank. Perbankan berupaya menaikkan suku bunga kredit agar tidak menanggung beban cost of fund yang terlalu tinggi.

"Bank itu kan juga cari dana lewat deposito, nah itu bunganya akan lebih mahal jadi akan membuat cost of fund dari perbankan akan naik. Itulah yang membuat semakin cepat bank menyesuaikan suku bunga pinjamannya," ucapnya.

Dampak selanjutnya, adalah terganggungnya pertumbuhan kredit. Faktor tersebut akan berdampak langsung kepada masyarakat. Karena suku bunga tinggi, masyarakat jadi enggan mengambil pinjaman di bank.

Apalagi, industri perbankan saat ini masih belum selesia dengan restrukturisasi pinjaman masa pandemi. Masih banyak debitur yang mampu melakukan pembayaran kredit meski sudah diberi relaksasi

"Pertumbuhan kreditnya akan terganggu, risiko NPLnya (kredit macet) akan naik," terangnya.

Sementara dua persoalan terakhir adalah tergerusnya daya beli masyarakat dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Masyarakat yang terbebani bunga kredit tinggi bakal semakin sulit membeli rumah hingga kendaraan dengan sistem cicilan.

Kondisi ini kian diperparah dengan kebutuhan biaya hidup sehar-hari yang semakin meningkat. Daya beli masyarakat dan pertumbuhan bisnis nasional bakal semakin melambat. Hal ini akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi terkontraksi.

“Akhirnya kenaikan suku bunga ini akan menekan masyarakat yang paling rentan. Jadi semakin dia bergantung dengan utang, semakin berat beban hidupnya. Pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi," pungkasnya. (*)

Editor: Bella  

Join Grup Telegram Presisi.co untuk mendapatkan update berita pilihan setiap hari. Klik link https://t.me/presisidotco untuk bergabung sekarang.