Penulis: Redaksi Presisi
Rabu, 11 Mei 2022 | 282 views
Samarinda, Presisi.co - Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim menurut lapangan usaha pada 2021 didominasi pertambangan dan penggalian. Persentasenya mencapai 45,05 persen. Ironisnya, realisasi Dana Transfer Umum-Dana Bagi Hasil (DBH) SDA Kaltim justru mengalami penurunan.
Dari data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kaltim, pada 2019 angkanya Rp 3,164 triliun. Sementara pada 2020 dan 2021, menciut di angka Rp 2,876 triliun dan Rp 1,703 triliun. Sedangkan, PDRB Kaltim pada 2021 mencapai Rp 695,16 triliun. Dari angka itu, Rp 313,164 triliun berasal dari sektor pertambangan dan penggalian. Namun, angka-angka wah itu belum menggambarkan jika pembangunan di Kaltim pesat, tanpa bolong sana-sini. Yang paling terasa, jalan masih banyak bermasalah. Dengan mudahnya dijumpai kerusakan jalan.
Hingga Desember 2021, hanya 257,03 kilometer atau 28,71 persen jalan provinsi Kaltim berada dalam kondisi baik. Sementara kondisi sedang 416,10 kilometer atau 46,49 persen, rusak ringan 104,3 kilometer atau 11,65 persen, dan rusak berat sebanyak 13,15 persen atau 117,67 kilometer.
Sedangkan untuk panjang jalan berdasarkan tipe pengerasan, sepanjang 475,11 kilometer atau 53,08 persen jalan provinsi sudah beraspal. Kemudian, rigid atau cor beton sepanjang 249,14 kilometer atau 27,83 persen, telford/kerikil 141,65 kilometer alias 15,83 persen dan tanah/belum tembus sepanjang 29,19 kilometer yaitu 3,26 persen. Potret suram infrastruktur jalan itulah yang kemudian membuat Gubernur Kaltim Isran Noor kembali menyuarakan peningkatan DBH sumber daya alam (SDA) untuk provinsi.
Kemarin (9/5) di Bali, dia menginisiasi pertemuan dengan beberapa kepala daerah di Indonesia untuk menyuarakan hal ini bersama. Undangan Isran Noor provinsi penghasil SDA seperti minyak dan gas bumi, serta batu bara. Seperti Gubernur Riau Syamsuar, Gubernur Jambi Al Haris, dan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura yang hadir langsung. Dalam pertemuan itu, Isran Noor mengungkapkan, UU 1/2022 Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (HKPD) efektifnya berlaku pada 2024 sejak diundangkan.
Dia menerangkan, para gubernur daerah penghasil utama SDA yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), sudah memberikan masukan terkait DBH kepada pemerintah pusat dan DPR namun tidak diakomodasi. Sedangkan, UU HKPD tetap terbentuk tanpa memberi peluang besar DBH terhadap daerah penghasil.
"Jadi, perjuangan dana bagi hasil yang kita usulkan ini untuk kesinambungan pembangunan bangsa ini jauh ke depan, tidak kepentingan para gubernur saat ini," ungkap mantan bupati Kutai Timur itu. Melalui APPSI, pihaknya sudah mengusulkan materi UU HKPD, bahkan DBH untuk SDA minimal APBN 50 persen yang ditransfer ke daerah dan sisanya 50 persen yang dikelola pusat.
"Kalau misalnya tidak bisa 60 persen untuk daerah. Apalagi seperti China (Tiongkok), dimana 70 persen APBN-nya (untuk daerah) dan dikelola pusat hanya 30 persen," sebutnya. Isran melanjutkan, pemerintah daerah tidak perlu berputus asa memperjuangkan kepentingan daerah dan tidak boleh terhenti meski berhadapan dengan undang-undang negara yang mengaturnya.
Sebab, dalam UU itu, masih ada celah-celah yang bisa diperjuangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah dari DBH. Seperti di Pasal 122 dan Pasal 123 UU 1/2022 tentang HKPD, terutama menindaklanjuti untuk penerbitan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya.
"Usulan bagi hasil sumber daya alam ini jangan disalahartikan. Ini bukan untuk popularitas, apalagi untuk kepentingan pribadi, tidak ada itu,” katanya. Keluhan Isran pun diamini Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. Dia mengatakan, pendapatan daerah bisa berkurang akibat berlakunya UU HKPD.
“Kenapa terjadi permasalahan sosial seperti yang terjadi beberapa puluh tahun lalu. Karena kurangnya pemerataan, pembangunan termasuk tidak meratanya pembagian keuangan seperti di Sulteng ada delapan jenis tambang yang diekspor namun yang kembali jauh dari harapan, sementara warga kami yang miskin lebih kurang 400 ribu orang,” bebernya.
Gubernur Jambi Al Haris juga menyarankan dilakukan komunikasi politik dengan DPR RI agar suara daerah bisa diwujudkan demi pemerataan pembangunan daerah.
“UU HKPD ini tiada lain merupakan produk DPR RI, karenanya kelak dilakukan komunikasi dengan Komisi-Komisi di DPR RI,” saran Al Haris. Gubernur Riau Syamsuar menambahkan, justru membuat pendapatan provinsi ambruk karena pendapatan provinsi justru dikurangi.
“Memang ada perubahan yakni pendapatan provinsi dikurangi dibagi ke daerah, bukan penerimaan pusat yang dialihkan ke daerah,” ungkap Syamsuar.
Menurutnya, bagaimana daerah bisa membangun daerah jika perlahan sumber pendapatannya ditarik ke pusat dan kembalinya jauh dari harapan.
“Ancaman tahun depan, PKB nantinya langsung ke daerah tidak lagi dibagi di provinsi seperti saat ini,” ungkapnya.
Sebagai provinsi yang banyak menghasilkan devisa negara namun nasibnya sama dengan Kaltim, Riau juga mulai melakukan pengetatan ikat pinggang agar bisa memberikan pelayanan publik serta membangun. Maka dari itu, dia mendukung Kaltim yang menggelar Rakor DBH ini, agar pemerintah pusat memahami kondisi daerah penghasil jangan sampai menimbulkan masalah sosial di kemudian hari. (Zk/adv/diskominfokaltim)