Dari “De Epidemie” ke Wajah Abad ini Menghadapi Wabah
Penulis: Presisi 1
Minggu, 29 Maret 2020 | 757 views
Masih lekat kabut kebingungan dan ketidakpastian di tengah wabah COVID-19 yang dapat kita jelma menjadi pertanyaan, seperti “Bagaimana situasi ini dapat membaik atau memburuk?”. Beberapa orang membandingkannya dengan wabah virus Flu Spanyol, atau Pandemi Flu tahun 1918, yang menjangkiti lebih dari 60% populasi dunia, termasuk Indonesia yang pada waktu itu bernama Hindia Belanda. Setidaknya, masa lalu tidak mungkin persis berulang, seperti kata novelis Mark Twain, “History doesn’t repeat itself but it often rhymes.” Barangkali ada ‘rima’ dalam dua fenomena yang terpisah seabad lamanya; yang ‘telah’ dan ‘akan’ mengubah cara pandang dunia dalam menghadapi wabah.
Pada tanggal 18 Juli 1918, harian Bataviaasch Nieuwsblad memuat artikel berjudul “De Epidemie”, yang mewartakan wabah influenza sudah merebak di beberapa kota di Hindia Belanda. Artikel tersebut menyampaikan bahwa tengah terjadi pandemi flu di seluruh dunia yang belum dapat ditemukan obatnya. Namun wabah tersebut dapat dicegah dengan beberapa imbauan khusus, seperti, “Jika Anda merasa demam diikuti dengan keluarnya lendir, jangan ke kantor dan hindari kontak dengan orang. Jika Anda harus batuk atau bersin, lakukan di tempat sepi dan jangan meludah ke tanah!” Masyarakat juga diminta untuk tidak terlalu khawatir dengan penyakit ini karena umumnya menunjukkan gejala flu biasa dan tidak berbahaya; kecuali jika ada komplikasi dengan penyakit lain. Isolasi secara sukarela akan menghentikan pergerakannya.
Belum nampak langkah serius dan strategis yang diambil pemerintah kolonial guna menangani kasus ini dalam tahap awal dari gelombang besar yang mengikuti setelahnya. Siddharth Chandra, dalam artikel jurnal berjudul “Mortality from the influenza pandemic of 1918-19 in Indonesia”, membagi tahap sebaran pandemi flu di Hindia Belanda dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi dari Juni hingga awal Juli 1918, yang mereda pada akhir September 1918. Mulanya virus ini dipercaya masuk pertama kali ke Hindia Belanda dari Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara) melalui Semenanjung Malaya. Sementara, sebaran di Pulau Jawa berasal dari kapal-kapal yang transit di Singapura. Gelombang kedua terjadi dari Oktober 1918 hingga Februari 1919. Dampaknya kali ini lebih masif dibandingkan gelombang pertama dan mulai masuk ke kepulauan bagian timur Hindia Belanda.
Sebuah artikel koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië pada tanggal 13 Januari 1919 membuat perbandingan angka kematian pada tahun 1917 dan 1918 (sebelum dan setelah wabah merebak). Data yang dikeluarkan Burgerlijken Geneeskundigen Dienst atau Dinas Kesehatan mencatat 70.000 kematian di seluruh Hindia Belanda pada tahun 1917 . Sementara pada tahun 1918, lebih dari 486.000 orang meninggal dunia. Lonjakan angka kematian tersebut sebagian besar berkait dengan penyakit influenza.
Sebaran pandemi influenza dimulai di kota-kota besar yang memiliki akses pelabuhan yang terhubung dengan jaringan pelayaran internasional. Akan tetapi, bukan berarti area pedalaman bebas wabah. Harian Bataviaasche Niuewsblad pada bulan Juli 1918 melaporkan 90 petugas stasiun, 22 masinis, dan 43 petugas bea cukai terjangkit influenza di Surabaya. Dengan demikian, virus juga berpeluang besar mewabah dari pelabuhan ke pedalaman mengikuti jalur kereta api atau jalan raya yang menghubungkan ke kota-kota di pedalaman. Faktanya, banyak kota besar di pedalaman Jawa yang terhubung dengan transportasi utama yang juga mengalami kasus serius. Selang beberapa minggu kemudian, banyak kepala daerah mulai melaporkan kepada pemerintah pusat bahwa di daerah mereka terserang wabah.
Kegagapan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan pejabat setempat mengambil langkah sendiri-sendiri. Kepala Dinas Kesehatan Dr. de Vogel menganjurkan pembuatan satu dasar hukum sebagai rujukan dalam menangani wabah influenza yang merebak di seluruh Hindia Belanda. Buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda oleh Priyanto Wibowo dkk. menceritakan betapa rumitnya mengesahkan suatu undang-undang terkait wabah influenza. Setelah rancangan terbit dan disosialisasikan kepada dinas dan lembaga terkait, pemerintah justru menghadapi konflik kepentingan berbagai pihak.
Misalnya, reaksi keras yang muncul dari perusahaan perkapalan atau pelayanan negara Koninklijke Paketvaart Maatschappij karena menganggap pembatasan aktivitas di pelabuhan dapat merugikan perusahaan tersebut. Padahal, hasil penelitian de Vogel beserta timnya menyimpulkan bahwa persebaran virus bersumber dari aktivitas pelabuhan. Terlebih, korban yang terjangkit lebih besar jumlahnya di kota-kota pesisir dengan pelabuhan kecil yang belum dilengkapi fasilitas medis dan petugas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pasien influenza. Selain menyoroti pelabuhan dan perkapalan, de Vogel mengusulkan larangan berkumpul bagi sejumlah orang apabila di antara mereka sedang mengalami gejala influenza. Usul de Vogel lagi-lagi diprotes, kali ini oleh Direktur Kehakiman D. Rutgers, yang menganggap pembatasan hak berkumpul dan berserikat dapat menimbulkan keresahan di masyarakat dan dunia pendidikan.
Rancangan usulan de Vogel yang diluncurkan pada bulan Maret 1919 baru disahkan menjadi undang-undang dengan nama Influenza Ordonantie pada tanggal 20 Oktober 1920. Kendati menurut beberapa sejarawan masa kritis wabah mulai reda pada akhir Januari 1919, undang-undang influenza dapat menjadi dasar hukum yang tegas terkait penanggulangan wabah di masa mendatang. Jika sewaktu-waktu wabah serupa muncul kembali dan dalam kondisi tertentu dapat berlaku sebagai ‘kejadian luar biasa’, maka pihak-pihak yang melanggar dapat diproses secara hukum. Unsur pidana dalam undang-undang tersebut juga menunjukkan bahwa fenomena ini tidak hanya dianggap sekedar isu kesehatan, namun juga masalah keamanan dan kestabilan negara.
Lantas di tengah gelombang wabah virus COVID-19 saat ini, ketepatan dan kecepatan pemerintah dalam menghadapi fenomena wabah akan diuji di samping kemampuan untuk berkejaran dengan waktu. Siddhaart sepakat dengan pendapat Colin Brown dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesiabahwa kematian akibat penyakit influenza melalui data pada tahun 1918 dan 1919 berjumlah lebih dari 1,5 juta jiwa. Dengan kata lain, jika pada tahun 1918 angka kematian masih berkisar 480.000 jiwa, maka tahun berikutnya meningkat dua kali lipat. Fatality rate Pandemi Influenza 1918 memang jauh lebih tinggi (bahkan salah satu yang terburuk dalam sejarah), jika dibandingkan dengan COVID-19. Namun, fakta menunjukkan bahwa dunia kedokteran pada masanya sama-sama belum menemukan solusi tepat untuk membunuh virus tersebut. Maka, jangan sampai upaya mencegah persebaran saat ini menjadi kendor.
Hambatan budaya juga akan menjadi tantangan dalam waktu-waktu mendatang, khususnya selama bulan Ramadhan dan Syawal ketika kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia meningkat. Puncaknya adalah tradisi pulang kampung yang akan memperbesar tingkat mobilitas masyarakat. Pada kasus Pandemi Flu 1918, Kirsty Walker dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia juga menyinggung kontribusi besar penyebaran kasus di Hindia Belanda pada periode pertama wabah adalah tradisi pulang kampung saat hari raya Lebaran. Benar saja, sebaran awal gelombang pertama antara Juni dan Juli 1918 bertepatan dengan bulan Ramadhan dan Syawal tahun 1336 Hijriah. Jika pemerintah tidak mengeluarkan aturan yang melarang masyarakat mudik saat pandemi ini,, maka akan semakin besar risiko jumlah yang terjangkit. Masyarakat juga harus paham bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menyebarkan virus, maka disiplin diri sangat diperlukan untuk memutus penyebaran mata rantai virus corona.
Kepentingan ekonomi tentu menjadi pertimbangan besar di balik semua persoalan. Akan tetapi pada saat gelombang wabah menerjang seperti sekarang, mengorbankan sedikit kepentingan dan mematuhi imbauan menjaga jarak dengan orang lain paling tidak 1 meter, serta memperketat aturan hukumnya, adalah pelajaran yang dapat dipetik masyarakat maupun pemerintah dari Pandemi Flu 1918. Masa lalu tidak akan persis berulang, namun setidaknya kita tidak tahu apakah akan lebih baik atau lebih buruk di masa sekarang. Meski demikian, selalu ada gema sejarah yang berima untuk dipahami karena “the ultimate aim of history is not to know the past, but to understand the present,” kata filsuf dan sejarawan R.G. Collingwood.
Rujukan:
Bataviaasch nieuwsblad, 18 Juli 1918, “De Epidemie”.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 13 Januari 1919, “Spanische Influenza”.
Priyanto Wibowo, dkk., Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Jakarta: Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009.
Siddhart Chandra, “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia” dalam Population Studies, Vol. 67, No. 2 pp. 185 – 193, 2013.
Kirsty Walker, “The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia”, dalam Tim Harper dan Sunil S. Amrith (ed.) Histories of Health in Southeast Asia: Perspective on the Lon Twentieth Century, Indiana: Indiana University Press, 2014.
Penulis: Mirza Ardi Wibawa (sejarawan maritim dan ekonomi)