search

Berita

Rudy-SenoPartai KoalisiSyaiful Bachtiar Rudy Mas'udseno ajiPengamat Politik

Koalisi Partai Pendukung Rudy-Seno Mulai Rapuh, Begini Analisis Pengamat Politik Unmul

Penulis: Akmal Fadhil
2 jam yang lalu | 1 views
Koalisi Partai Pendukung Rudy-Seno Mulai Rapuh, Begini Analisis Pengamat Politik Unmul
Syaiful Bachtiar, Akademisi Universitas Mulawarman. (Istimewa)

Samarinda, Presisi.co - Gejolak kritik yang datang dari partai-partai pengusung pasangan calon Gubernur Kaltim, Rudy-Seno, semakin sering terdengar dalam beberapa pekan terakhir. 

Konflik ini menarik perhatian publik, terutama hampir satu tahun masa kepemimpinan Gubernur Kaltim yang telah melahirkan beragam pernyataan mengenai kinerja pemerintahan yang dipimpin oleh orang nomor satu di Bumi Etam ini.

Menurut akademisi dan pengamat kebijakan publik serta sosial politik dari Universitas Mulawarman (UNMUL), Syaiful Bachtiar, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketegangan politik antara partai pengusung dan Gubernur Kaltim. 

Salah satunya adalah adanya kekecewaan yang dilontarkan oleh beberapa partai pengusung terkait dengan kinerja gubernur dan wakil gubernur.

Bachtiar menjelaskan bahwa terdapat dua konteks yang perlu dipahami dalam hubungan antara partai pengusung dengan calon gubernur. Pertama, beberapa partai pengusung mendukung pasangan calon karena kesesuaian visi dan misi antara partai dan calon gubernur tersebut. 

Artinya, partai-partai ini melihat calon gubernur sebagai representasi ideologi dan program yang sejalan dengan tujuan mereka. Namun, ada juga faktor lain di mana partai-partai pengusung mengusung calon bukan karena visi misi yang sejalan, melainkan karena keputusan sepihak dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai di Jakarta. 

Dalam konteks ini, hubungan antara partai dan calon gubernur lebih didorong oleh pertimbangan strategis atau kepentingan politik tertentu, bukan ikatan ideologis yang kuat.

Kondisi ini pun memperburuk loyalitas politik antara partai pengusung dengan gubernur. Partai yang mengusung calon karena kesepakatan visi dan misi akan cenderung lebih konsisten dalam mengawal pemerintahan, sedangkan partai yang tidak merasa terikat secara ideologis mungkin akan kehilangan motivasi untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh gubernur. 

"Hal ini menimbulkan ketegangan, terutama ketika kebijakan gubernur dianggap tidak sesuai dengan harapan atau kepentingan konstituen partai pengusung," ungkapnya saat diwawancarai pada Jumat 26 Desember 2025.

Bachtiar juga menggaris bawahi bahwa dalam politik, tidak ada koalisi yang bersifat absolut. Partai pengusung yang awalnya terlihat solid dalam mendukung calon gubernur bisa saja terpecah, terutama jika kebijakan pemerintahan dianggap tidak memenuhi ekspektasi. 

Misalnya, jika program anggaran atau kebijakan tertentu lebih menguntungkan partai-partai besar seperti Golkar dan Gerindra, partai-partai lain yang merasa terpinggirkan bisa melakukan perlawanan. 

"Ini bukan hal baru dalam dinamika politik, di mana partai pengusung yang memiliki kekuatan di daerah akan berusaha menjaga kepentingan konstituen mereka," katanya.

Bachtiar menjelaskan bahwa meskipun partai-partai pengusung memiliki kader di pemerintahan, loyalitas mereka pada pemerintahan bisa berubah jika kebijakan yang diambil tidak berpihak pada kepentingan mereka. 

Ketika hubungan antara eksekutif (gubernur) dan legislatif (DPRD) tidak harmonis, maka perlawanan politik dari partai pengusung menjadi hal yang tak terhindarkan. 

"Setiap partai pengusung punya utang politik kepada pemilih mereka di daerah, dan jika kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan aspirasi mereka, mereka tentu akan memberikan perlawanan," jelas Bachtiar.

Hal ini terjadi karena partai-partai pengusung pada dasarnya tidak memiliki kesamaan ideologi yang kuat. 

Sebagai contoh, Golkar dan Gerindra dapat dianggap sebagai partai utama yang terus mengawal pemerintahan, namun partai lain mungkin hanya terlibat dalam proses pencalonan dan pengawalan pilkada, tanpa ada ikatan politik yang kuat setelah kemenangan diperoleh. 

Ini menciptakan ketegangan saat kebijakan pemerintah tidak lagi mendukung kepentingan partai pengusung selain Golkar dan Gerindra.

Bachtiar juga mengingatkan bahwa dalam sistem politik Indonesia, pencalonan kepala daerah tidak sepenuhnya bergantung pada aspirasi partai di daerah, melainkan seringkali merupakan keputusan yang diambil oleh DPP partai di Jakarta.

Hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan di level daerah jika keputusan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan politik lokal.

"Jika kebijakan yang diambil oleh gubernur tidak sejalan dengan harapan partai pengusung di daerah, maka ketidakpuasan itu bisa mengarah pada konflik terbuka," tambah Bachtiar.

Dari analisis yang disampaikan oleh Bachtiar, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara partai pengusung dan Gubernur Kaltim bukanlah masalah yang sederhana. 

Ketidakcocokan politik antara partai pengusung dengan gubernur yang berasal dari keputusan DPP partai dan kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi daerah menjadi akar dari ketegangan ini.

Dalam politik, koalisi yang dibangun berdasarkan kepentingan pragmatis bisa sangat rapuh, dan ketidakpuasan terhadap kebijakan gubernur dapat memicu perlawanan dari partai-partai pengusung.

Dengan demikian, dinamika politik di Kaltim masih akan terus berkembang, tergantung pada bagaimana Gubernur Rudy-Seno dan partai-partai pengusungnya dapat mengelola perbedaan kepentingan dan menjaga agar koalisi yang ada tetap solid. (*)

Editor: Redaksi