search

Berita

Sistem Sentralisasi Bumi Etam Izin Usaha PertambanganKalimantan TimurKementerian ESDMSeno Aji

Terbelenggu Dalam Sistem Sentralisasi, Bumi Etam Perjuangkan IUP Kembali ke Daerah

Penulis: Redaksi Presisi
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 11 views
Terbelenggu Dalam Sistem Sentralisasi, Bumi Etam Perjuangkan IUP Kembali ke Daerah
Potret aktivitas tambang batu bara. (Istimewa)

Samarinda, Presisi.co - Di tanah yang kaya akan batu bara, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) justru kehilangan kendali hampir lima tahun lamanya.

Sejak kewenangan izin usaha pertambangan (IUP) dialihkan ke pemerintah pusat lewat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, daerah penghasil seperti Kaltim seolah tak lagi punya kuasa atas tanahnya sendiri.

Lubang-lubang tambang yang menyebar di kabupaten-kabupaten tak hanya merusak lanskap, tapi juga memperdalam rasa frustrasi di antara para pengambil kebijakan di daerah.


Saat ditemui dan ditanya Seno Aji, Wakil Gubernur Kaltim, angkat suara bahwa surat telah dilayangkan kepada Kementriam ESDM.

“Soal IUP di pusat itu, kita benar-benar terkendala. Kita tahu titik-titik yang bermasalah, tapi kita tak punya kewenangan,” ujarnya pada Sabtu 11 Oktober 2025.

Sejak izin tambang dipusatkan, pemerintah provinsi hanya bisa menyampaikan laporan atau pengaduan ke kementerian.

Tapi sejauh itu pula, tak banyak yang bisa mereka lakukan secara langsung.

“Kita sudah usulkan ke Kementerian ESDM agar daerah diberi ruang lagi. Semoga bisa jadi pertimbangan, dan IUP kembali ke daerah” tambah Seno.

Ia menyebut, kondisi ini bukan hanya menyulitkan secara teknis, tetapi juga melemahkan posisi moral pemerintah daerah di mata masyarakat.

ESDM: Kami Tak Bisa Awasi Secara Maksimal

Senada dengan itu, Kepala Dinas ESDM Kaltim, Bambang Arwanto, menggambarkan posisi daerah sebagai “pemeran pembantu” dalam skenario besar pertambangan nasional.

“Semua izin dipegang pusat, tapi kami yang menghadapi dampaknya. Saat terjadi masalah lingkungan, kami yang ditanya,” ungkapnya.

Menurut Bambang, satu tambang bisa tersembunyi di pelosok hutan dengan akses terbatas. Tanpa data izin yang transparan dari pusat, daerah bahkan tak tahu apakah itu tambang legal atau ilegal.

“Kami ingin daerah dilibatkan dalam pengawasan. Minimal, berikan kami akses penuh terhadap data IUP aktif, dan wewenang melakukan inspeksi yang mengikat secara hukum,” katanya.

Ia menilai, kebijakan sentralisasi yang semula ditujukan untuk menyederhanakan proses perizinan, justru menimbulkan kekacauan baru: lemahnya pengawasan, tumpang tindih lahan, dan meningkatnya jumlah tambang ilegal.

DPRD: Ini Bukan Lagi Masalah Teknis, Tapi Soal Keadilan

Di gedung parlemen daerah, anggota DPRD Kaltim, Salehuddin, menyampaikan suara yang lebih lantang. Bagi Salehuddin, kondisi tambang di Kaltim saat ini sudah berada di titik rawan.

“Kita tidak sedang baik-baik saja. Tambang ilegal makin masif, reklamasi diabaikan, dan masyarakat yang menanggung beban. Daerah hanya jadi penonton,” tegasnya.

DPRD, kata dia, telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) pertambangan, bahkan mengusulkan revisi perda sebagai bentuk perlawanan kebijakan yang sentralistik. Tapi langkah itu tak sepenuhnya berdampak.

“Sebanyak apapun perda kita buat, kalau izin dan pengawasan tetap dipegang pusat, kita tidak bisa berbuat banyak. Inilah akar persoalannya,” katanya.

Ia juga menyinggung ketimpangan kebijakan fiskal, di mana daerah penghasil sumber daya harus menerima anggaran yang makin menipis, sementara kerusakan alam terus bertambah.

“Kita ini memberi kontribusi besar ke negara. Tapi kok seolah tidak dipercaya untuk mengelola rumah sendiri,” pungkasnya. (*)

Editor: Redaksi