search

Berita

Etika Pejabat Publik di Media SosialHerdiansyah HamzahUU ITEBahaya Isu SARA

Akademisi Soroti Rendahnya Etika Pejabat Publik di Media Sosial

Penulis: Akmal Fadhil
Sabtu, 11 Oktober 2025 | 27 views
Akademisi Soroti Rendahnya Etika Pejabat Publik di Media Sosial
Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. (Dok)

Samarinda, Presisi.co - Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah angkat bicara terkait fenomena rendahnya pemahaman sebagian wakil rakyat terhadap etika pejabat publik di media sosial.

Terbaru, dua anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang bertugas di Kalimantan Timur (Kaltim) berinisial AG dan AF yang kini menjadi perhatian publik. Unggahan dan komentar keduanya diduga memuat unsur Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) yang dikhawatirkan menimbulkan adanya perpecahan.

“Ini menunjukkan ada kegagalan DPRD kita dalam memahami etika sebagai pejabat publik. Mereka seharusnya sadar bahwa jabatan itu menuntut mereka menjadi cerminan, bukan sumber kegaduhan,” ungkapnya kepada awak media pada Jumat, 10 Oktober 2025.

Castro sapaannya menegaskan, etika seorang pejabat melekat sejak pertama kali mereka mengucapkan sumpah jabatan.

“Sumpah jabatan itu berarti mereka wajib menaati hukum dan menjaga kelakuan. Kalau mereka malah menebar ujaran yang berpotensi memecah belah, itu pelanggaran etika sekaligus bisa masuk ranah hukum,” tegasnya.

Ia menuturkan jika kebiasaan sebagian elit politik yang terburu-buru berkomentar tanpa memahami konsekuensi hukum menjadi akar persoalan. 

“Kami di kampus itu membaca dulu baru bicara. Sementara mereka bicara dulu, baru baca kemudian. Ini kebiasaan yang berbahaya,” sindirnya.

Castro menilai, kasus yang melibatkan AG dan AF harusnya menjadi pelajaran penting tentang batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab publik. 

Ia menyinggung Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 28 ayat (2), yang jelas mengatur larangan menyebarkan ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.

“Itu pidana. Ancaman hukumannya bahkan bisa sampai enam tahun penjara. Kalau mereka tidak memahami aturan dasar seperti ini, bagaimana bisa beretika dalam ruang publik?” katanya.

Lebih jauh, Castro menyoroti lemahnya internalisasi nilai etika di kalangan anggota dewan. Padahal, kata dia, aturan mengenai perilaku pejabat publik telah diatur secara rinci dalam UU Pemerintahan Daerah, Undang-Undang MD3, serta Tata Tertib DPRD yang mereka buat sendiri.

“Ironisnya, aturan itu sudah jelas tapi mereka tampaknya tidak memahami produk hukum yang mereka hasilkan sendiri,” tutupnya. (*)

Editor: Redaksi