Menghitung Potensi Kerugian Negara dari Dugaan Korupsi Halim Kalla di Proyek PLTU Kalimantan Barat
Penulis: Redaksi Presisi
Senin, 06 Oktober 2025 | 54 views
Konferensi Pers di Bareskrim Polri terkait Dugaan Korupsi Halim Kalla di Proyek PLTU Kalimantan Barat. (Sumber: Istimewa)
Presisi.co – Dugaan korupsi yang menyeret pengusaha nasional Halim Kalla, adik kandung mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, berpotensi menyebabkan kerugian negara mencapai sekitar Rp1,3 triliun. Nilai ini berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan temuan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalimantan Barat-1 di Kabupaten Mempawah.
Kasus tersebut terungkap setelah gelar perkara pada 3 Oktober 2025, yang menetapkan Halim Kalla, mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2009 Fahmi Mochtar, serta dua pihak swasta berinisial RR dan HYL sebagai tersangka.
Kepala Kortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menyebut para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
“Dari pihak swasta ada HK (Halim Kalla), RR, dan HYL. Sementara dari BUMN, tersangka FM menjabat Direktur PLN saat proyek berjalan. Tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah,” kata Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025), dikutip dari Suara.com, jejaring Presisi.co.
Tender Bermasalah dan Proyek Mangkrak
Kasus ini bermula dari lelang proyek PLTU Kalbar-1 berkapasitas 2x50 megawatt pada 2008. Konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla, ditetapkan sebagai pemenang lelang meski tidak memenuhi sejumlah syarat penting, termasuk pengalaman membangun pembangkit berkapasitas minimal 25 MW dan laporan keuangan yang telah diaudit.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi awal pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Cahyono.
Kontrak proyek senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009. Namun seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga, yakni perusahaan energi asal Tiongkok PT PI dan QJPSE, tanpa dasar hukum yang sah.
Proyek yang seharusnya rampung pada 2014 itu mangkrak sejak 2016 dan dinyatakan tidak bisa dimanfaatkan (total loss) oleh BPK.
Potensi Kerugian Negara: Rp1,3 Triliun?
Audit BPK mengungkap adanya indikasi kerugian negara sebesar USD 62,41 juta dan Rp323,2 miliar, yang jika dikonversi dengan kurs rata-rata saat ini, mencapai sekitar Rp1,3 triliun.
Nilai itu mencakup dana pembayaran proyek yang tidak menghasilkan output serta biaya pembangunan yang terhenti tanpa hasil.
“Proyek dialihkan sepenuhnya ke pihak ketiga, tapi uang sudah mengalir. Akibatnya, pembangunan PLTU mangkrak dan tidak memberi manfaat apa pun,” tambah Cahyono.
Menurut penyidik, dana proyek tersebut seharusnya digunakan untuk memperkuat kapasitas listrik di wilayah Kalimantan Barat, namun justru menjadi beban keuangan negara akibat pengelolaan yang tidak sesuai aturan.
Polri juga tengah menelusuri dugaan aliran dana suap dari konsorsium BRN kepada sejumlah pihak dalam proses penetapan lelang dan pembayaran proyek.
Untuk mencegah upaya melarikan diri, Polri telah mengeluarkan surat pencegahan ke luar negeri terhadap keempat tersangka. (*)