Kerugian Negara Bisa Rp1 Kuadriliun dari Korupsi Perminyakan
Penulis: Opini
Kamis, 27 Februari 2025 | 533 views
Eko Suprihatno.
Presisi.co - Pada suatu malam di perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba anak bungsu saya berceloteh tentang sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
"Aku bersyukur enggak bekerja di situ yah (ia menyebut sebuah perusahaan multinasional di negeri ini)," ujarnya.
"Lho kenapa dek? Kan kamu sudah magang di situ sebelumnya."
"Justru itu yah, karena aku selama magang melihat betapa potensi korupsinya benar-benar luar biasa. Jadi kalau membandingkan dengan tempat kerja aku sekarang, aku bersyukur banget walau dari segi pendapatan sedikit di atas UMR," tambahnya.
Percakapan itu tak lepas dari bagaimana dugaan korupsi di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 yang bila dihitung bisa membuat detak jantung berhenti mendadak. Laman Suara.com (27/2/2025) menuliskan kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus ini mencapai angka yang sangat fantastis.
Berdasarkan perhitungan sementara, kerugian negara pada 2023 mencapai Rp193,7 triliun. Jika pola yang sama terjadi sejak 2018, maka total kerugian selama lima tahun bisa mendekati Rp1 kuadriliun. Bila dipanjangkan, Rp1 kuadriliun berarti ada 1.000 triliun.
Bandingkan dengan APBN tahun 2025 hanya sebesar Rp3.621,3 triliun, yang berarti 27,6% terserap untuk korupsi. Ini seperti mengulik masa lalu ketika begawan ekonomi Prof Soemitro Djojohadikusumo, ayah dari Presiden Prabowo Subianto, pada 1993 mengungkapkan kebocoran anggaran pembangunan mencapai 30%.
Korupsi bukan cuma masalah kebutuhan hidup belaka. Hal ini mengingat para pelaku korupsi tingkat tinggi tak lagi berpikir tentang kebutuhan hidup, yang sejatinya sudah sangat lebih dari cukup. Artinya, buat mereka tak perlu lagi membanting tulang hanya untuk mencari sesuap nasi.
Di balik itu ada hal yang lebih besar lagi yaitu tentang bagaimana keserakahan jauh lebih menguasai ruang diri mereka. Simak saja bagaimana gaji Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang menjadi tersangka korupsi sebesar Rp193 triliun, mencapai Rp1,81 miliar per bulan. Belum lagi beragam fasilitas yang menyertainya dan hampir pasti membuat banyak pihak cuma bisa mengelus dada.
Bila mengacu pada teori kebutuhan Abraham Maslow, perilaku koruptif seperti yang dilakukan Riva dan konco-konconya itu bahwa tindak korupsi dapat terjadi apabila seseorang menganggap bahwa kebutuhan tingkat tertingginya adalah kebutuhan mendasarnya, maka apa pun akan dia lakukan untuk mencapainya. (Ali Imron Bintang dalam makalah bertajuk Antecedent Teori Motivasi untuk Melakukan Korupsi Dengan Teori Maslow Sebagai Tinjauan Motivasi)
Dengan kata lain rasa tamak/rakus begitu mendominasi dalam diri seseorang. Hal itu terjadi karena kesempatan terbuka lebar dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. McClelland (1985) menyebutkan bahwa individu termotivasi tiga dorongan dasar, yaitu kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan kekuasaan.
Bila berandai-andai dengan uang yang mencapai Rp1 kuadriliun itu dibagi rata ke semua provinsi di Indonesia (38), maka setiap provinsi mendapatkan Rp26,315 triliun. Sungguh angka yang sangat besar karena bisa ditambah untuk akselerasi pembangunan. Bandingkan dengan Kalimantan Timur, provinsi yang kaya minyak dan batu bara ini hanya mematok APBD 2024 Rp22,19 triliun.
Sungguh kontras dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, pada 22 Januari 2025. Di Inpres ini Presiden menargetkan efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun.
Bahkan seperti juga kata Mahfud MD ketika kampanye pilpres di 2023 bahwa setiap masyarakat Indonesia bisa mendapatkan gratis Rp20 juta kalau korupsi di sektor pertambangan diberantas. Yang pasti korupsi akan melibatkan lingkar kekuasaan dalam beragam level.