Halim Kalla Adik JK hingga Eks Dirut PLN Sudah Tersangka Kasus Korupsi Rp1,35 T, Mengapa Belum Ditahan?
Penulis: Rafika
Selasa, 07 Oktober 2025 | 45 views
Halim Kalla, tersangka korupsi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat sekaligus adik dari Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. (net)
Presisi.co - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri belum menahan empat tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat. Proyek tersebut diduga merugikan keuangan negara hingga Rp1,35 triliun.
Keempat tersangka itu masing-masing adalah mantan Direktur PLN periode 2008–2009, Fahmi Mochtar; Presiden Direktur PT BRN sekaligus adik Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Halim Kalla; Direktur Utama PT BRN, RR; serta Direktur Utama PT Praba, HYL.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menjelaskan, penyidik belum melakukan penahanan karena masih berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung RI untuk memastikan kelengkapan berkas perkara.
“Kami juga akan berkoordinasi dengan teman-teman kejaksaan terhadap kelengkapan berkas perkara,” ujar Cahyono kepada wartawan, Selasa 7 Oktober 2025, sebagaimana diberitakan Suara.com --jaringan Presisi.co.
Cahyono menyebut, secara hukum keempat tersangka telah memenuhi syarat objektif untuk ditahan karena ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara. Namun, keputusan penahanan akan dilakukan sesuai kebutuhan proses penyidikan.
“Penahanan itu kebutuhan. Sepanjang proses penyidikan ini kami sudah cukup bukti. Karena itu kami menyiasati agar masa penahanan tidak habis selama proses berjalan,” jelasnya.
Meski belum ditahan, Polri telah mengajukan permohonan pencegahan ke luar negeri terhadap para tersangka kepada pihak Imigrasi.
“Jadi simultan, pada saat penetapan tersangka tim kami juga sudah mengeluarkan pencegahan bepergian ke luar negeri,” ungkapnya.
Diduga Rugikan Negara Rp1,35 Triliun
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari proyek lelang ulang pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat yang digelar PLN pada 2008. Berdasarkan hasil penyidikan, ditemukan indikasi adanya kerja sama antara pejabat PLN dan pihak PT BRN sebelum lelang dimulai. Tujuannya, agar PT BRN bisa memenangkan tender tersebut.
Dalam prosesnya, panitia pengadaan PLN meloloskan konsorsium (KSO) BRN–Alton–OJSC, meski tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis. Penyidik menduga, dua perusahaan yakni Alton dan OJSC bahkan tidak benar-benar tergabung dalam konsorsium tersebut.
“Pada tahun 2009 sebelum kontrak ditandatangani, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian fee kepada PT BRN,” kata Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Kontrak proyek ditandatangani pada 11 Juni 2009, namun PLN disebut belum memiliki pendanaan yang cukup, sementara KSO BRN belum memenuhi persyaratan teknis. Akibatnya, hingga kontrak berakhir pada 28 Februari 2012, pekerjaan baru mencapai sekitar 57 persen.
Setelah 10 kali perpanjangan kontrak hingga 31 Desember 2018, proyek tetap mangkrak dan baru terealisasi 85,56 persen.
“Diduga ada aliran dana dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah,” ujarnya.
PLN diketahui telah membayar Rp323,1 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan USD 62,4 juta untuk mekanikal-elektrikal. Namun hingga kini, proyek PLTU 1 Kalbar belum juga selesai dan tak bisa dimanfaatkan.
“Sebagian besar bangunan dan peralatan terbengkalai, rusak, dan berkarat. PLN pun mengalami kerugian hingga Rp1,35 triliun,” beber Cahyono.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)