Bukan Sekadar Menghukum, Kejati Kaltim Dorong Pemulihan Aset
Penulis: Akmal Fadhil
22 jam yang lalu | 86 views
Kepala Kejati Kaltim, Supardi, dalam Seminar Nasional bertajuk “Optimalisasi Follow the Asset dan Follow the Money”. (Sumber: Kejati Kaltim)
Samarinda, Presisi.co – Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan perlunya perubahan mendasar dalam penanganan tindak pidana. Bukan lagi sekadar menghukum pelaku, pendekatan baru menekankan pemulihan kerugian negara sebagai prioritas utama.
Pernyataan ini disampaikan Kepala Kejati Kaltim, Supardi, dalam Seminar Nasional bertajuk “Optimalisasi Follow the Asset dan Follow the Money”, yang digelar di Universitas Mulawarman pada Jumat, 22 Agustus 2025, menjelang peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-80.
Supardi menilai paradigma hukum yang selama ini mengedepankan follow the suspect sudah tak lagi memadai.
Menurutnya, pendekatan yang lebih progresif harus mengutamakan pelacakan dan penyitaan aset hasil kejahatan, bahkan sebelum ada putusan pengadilan terhadap pelaku.
“Tujuan hukum itu keadilan dan kepastian. Dengan mekanisme perampasan aset, uang hasil korupsi bisa benar-benar kembali ke negara, tanpa menyisakan setetes pun,” ujar Supardi dalam sambungan Zoom dari Balikpapan.
Dorong UU Perampasan Aset
Supardi juga mendesak lahirnya Undang-Undang Perampasan Aset yang memungkinkan penyitaan aset ilegal tanpa perlu menunggu proses hukum pidana selesai.
Ia menyebut mekanisme ini sudah lazim diterapkan di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Singapura, hingga Australia.
“Negara-negara itu sudah memiliki dasar hukum untuk menyita aset meski belum ada putusan bersalah terhadap pelaku. Bahkan pihak ketiga pun bisa dijangkau,” katanya.
Dua strategi utama yang ditekankan Kejati Kaltim adalah Follow the Asset fokus pada pelacakan dan pemulihan aset dan Follow the Money menelusuri aliran dana hasil kejahatan.
Akademisi Soroti Kelemahan Lembaga Pemulihan Aset
Akademisi Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, turut menyoroti lemahnya kinerja pemulihan aset di Indonesia.
Berdasarkan data yang ia paparkan, hingga 2023 hanya sekitar 18 persen kerugian negara yang berhasil dipulihkan.
Orin menilai, Indonesia tertinggal dari banyak negara dalam menerapkan pendekatan non-konvensional, seperti Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB-AF) di Inggris.
“NCB-AF memungkinkan negara menyita aset yang diduga hasil kejahatan tanpa perlu menunggu vonis pidana yang berkekuatan hukum tetap,” jelas Orin saat dikonfirmasi pada Sabtu 23 Agustus 2025.
Ia juga mencontohkan berbagai lembaga lintas sektor di negara lain yang efektif menangani perampasan aset.
Di Australia, misalnya, ada Criminal Assets Confiscation Taskforce (CACT) yang menggabungkan otoritas pajak, kepolisian federal, badan intelijen kriminal, hingga lembaga analisis transaksi keuangan.
“Dari perbandingan ini terlihat bahwa substansi hukum dan kelembagaan yang kuat menjadi kunci efektivitas,” tegas Orin.
Meski gagasan pemulihan aset terus menguat, Supardi mengakui tantangan terbesar justru datang dari dalam: paradigma aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih berorientasi pada pemidanaan.
“Selama ini fokus kita menghukum orang, padahal uangnya belum tentu kembali,” pungkasnya.