search

Berita

Transisi EnergiEkonomi HijauEnergi Fosilkomitmen nol emisiIndonesian Center for Environmental LawYayasan CERAHAJI Samarinda

Mimpi Transisi Energi Saat Kaltim Masih Tergantung dengan Energi Fosil

Penulis: Akmal Fadhil
Jumat, 08 Agustus 2025 | 191 views
Mimpi Transisi Energi Saat Kaltim Masih Tergantung dengan Energi Fosil
Pelatihan Transisi Energi Menantang Dominasi Pertambangan yang digelar Yayasan CERAH dan AJI Samarinda, Kamis 7 Agustus 2025. (Presisi.co/Akmal)

Samarinda, Presisi.co – Pemerintah pusat terus menggencarkan transisi menuju energi terbarukan sebagai bagian dari komitmen nol emisi pada 2060. Namun, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai lumbung batubara nasional, masih menghadapi dilema besar: bagaimana melepaskan diri dari ketergantungan terhadap energi fosil?

Dalam peta jalan (roadmap) Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021–2045 yang dirilis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM pada September 2021, disebutkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya batubara sebesar 143 miliar ton hingga akhir 2020.

Sekitar 61,5 persen di antaranya berada di Pulau Kalimantan, dan 68 persen dari jumlah itu berada di Kaltim.

Buyung Marajo dari Pokja 30 menilai bahwa meskipun secara prinsip Kaltim mendukung transisi energi, namun dari sisi kebijakan anggaran belum mencerminkan keseriusan.

“Anggaran ke Dinas ESDM untuk mendukung transisi energi masih sangat kecil. Ini menunjukkan bahwa komitmen masih sebatas wacana,” kata Buyung dalam pelatihan Transisi Energi Menantang Dominasi Pertambangan yang digelar Yayasan CERAH dan AJI Samarinda, Kamis 7 Agustus 2025.

Pelatihan ini diikuti jurnalis dari Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Bontang, serta menghadirkan sejumlah pakar lingkungan dan energi.

Syaharani dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti adanya inkonsistensi antara janji pemerintah pusat dengan rencana ketenagalistrikan nasional.

“Dalam RUKN, masih tercantum bahwa 26,4 persen energi pada 2060 tetap berasal dari fosil. Padahal Presiden Prabowo pernah menyatakan Indonesia akan 100 persen beralih ke energi terbarukan sebelum 2050,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, emisi dari penggunaan energi fosil tersebut nantinya akan ‘ditebus’ dengan menyerapnya melalui tutupan hutan.

Namun, efektivitas skema ini masih diragukan, mengingat terus menurunnya luas hutan akibat ekspansi industri ekstraktif.

Wicaksono Gitawan dari Yayasan Indonesia CERAH menekankan bahwa transisi energi tidak cukup dilihat sebagai persoalan teknologi. Lebih dari itu, transisi harus menjamin keadilan sosial dan lingkungan.

“Kita tidak bisa hanya fokus pada teknologi panel surya atau PLTB. Yang paling penting adalah memastikan kelompok rentan—yang selama ini jadi korban industri kotor—ikut dilibatkan dan dilindungi,” tegasnya.

Menurutnya, agenda transisi energi juga harus menjadi alat untuk memperkuat ruang hidup masyarakat dan merebut kembali kedaulatan atas sumber daya.


Ketua AJI Samarinda, Yuda Almerio, menilai bahwa jurnalis memegang peran strategis dalam memastikan transisi energi tidak menjadi kedok baru bagi eksploitasi sumber daya.

“Transisi energi harus menantang dominasi industri ekstraktif, bukan berdamai dengannya. Jurnalis punya tanggung jawab untuk membuka ruang narasi warga, terutama yang terdampak langsung,” ujarnya.

AJI Samarinda mendorong agar jurnalis tidak sekadar menjadi pengamat, tetapi turut terlibat dalam memastikan proses transisi berlangsung adil, inklusif, dan berpihak pada korban.

“Investigasi, liputan berbasis data, dan keberpihakan pada suara-suara yang selama ini terpinggirkan adalah kunci. Tidak boleh ada yang tertinggal dalam proses ini,” pungkas Yuda.