Akademisi Ingatkan Pemerintah soal Tantangan dan Roadmap Bio Solar
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Kamis, 23 Januari 2025 | 1.022 views
Ilustrasi biodiesel sebagai pengganti bahan bakar. (Istimewa)
Samarinda, Presisi.co - Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menerapkan penggunaan bahan bakar solar dengan campuran 40 persen bahan bakar nabati berbasis minyak sawit (B40).
Program ini digadang-gadang mampu menghemat devisa negara hingga Rp147 triliun dan membuka peluang menuju pengembangan bahan bakar nabati 100 persen (B100).
Namun, Pengamat Ekonomi dan Akademisi Universitas Mulawarman, Hairul Anwar mengingatkan walaupun biodiesel memiliki potensi besar sebagai solusi energi global, tantangan dalam pengembangannya tidak bisa diabaikan.
"Biodiesel adalah sumber energi terbarukan dengan emisi rendah. Jadi, Indonesia punya dua solusi internasional: hemat devisa dan menekan emisi," ungkap Hairul.
Menurut Hairul, penerapan B40 hingga B100 membutuhkan dukungan teknologi kendaraan yang mampu memanfaatkan bahan bakar nabati secara optimal. Saat ini, mayoritas mesin kendaraan masih dirancang untuk bahan bakar fosil seperti Pertalite dan Pertamax.
"Kalau bahan bakar bio solar sudah tersedia banyak, siapa yang akan memakai kalau mesin kendaraan belum mendukung? Inovasi mesin juga harus jadi perhatian pemerintah," tegasnya.
Selain itu, kualitas bio solar juga menjadi perhatian. Hairul menyoroti masalah pembusukan atau "solar basi" yang dapat merusak mesin kendaraan jika tidak ditangani dengan riset mendalam.
"Daya tahan bahan bakar nabati harus ditingkatkan. Jangan sampai bio solar yang seharusnya jadi solusi malah merusak mesin karena kualitasnya belum optimal," katanya.
Meski menghadapi tantangan, bio solar menawarkan manfaat signifikan, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca dan menyediakan alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dengan harga yang relatif terjangkau.
Namun, Hairul menegaskan pentingnya pemerintah memiliki roadmap yang jelas agar pengembangan B40 hingga B100 tidak hanya menjadi jargon politik semata.
"Pemerintah harus serius mengejar dari hulu ke hilir, mulai dari produksi hingga penggunaan teknologi yang mendukung bio solar. Jangan hanya jadi alat politik, lalu ditinggalkan untuk mengejar alternatif lain seperti kendaraan listrik," ungkapnya.
Hairul menyebut, bio solar dapat menjadi solusi transisi energi sebelum kendaraan listrik menjadi dominan di masa depan. Namun, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam mengganti fokus tanpa menyelesaikan pengembangan bio solar terlebih dahulu.
"Bio solar punya potensi besar untuk masa depan energi Indonesia. Pemerintah harus memastikan pengembangan bahan bakar ini berjalan optimal, bukan sekadar langkah sementara," pungkasnya. (*)