Tepatkah Langkah Mendikbudristek Meniadakan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA?
Penulis: Rafika
Sabtu, 20 Juli 2024 | 2.724 views
Presisi.co - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), mulai tahun ajaran 2024/2025.
Ditiadakannya tiga jurusan SMA tersebut tertuang dalam peraturan Mendikbudristek nomor 12 tahun 2024 bagian kurikulum yang mengatur bahwa murid kelas XI akan diberi mata pelajaran umum dan khusus.
Kini, peserta didik harus memilih sendiri empat sampai lima mata pelajaran pilihan berdasarkan minat, bakat, kemampuan, serta rencana pendidikan lanjutan mereka setelah tamat SMA.
Berkaitan dengan hal itu, pakar kebijakan pendidikan sekaligus Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Arif Rohman, menilai aturan ini lahir secara prematur tanpa melewati proses diskusi secara ilmiah, sehingga mengejutkan banyak pihak.
"Kebijakan di Indonesia ini selalu tiba-tiba dan mengagetkan. Sehingga diskusi-diskusi ilmiah, diskusi secara rasional teoritik itu tidak bisa berkembang, tahu-tahu muncul kebijakan itu," kata Arif, dilansir dari Suara.com, Sabtu (20/7/2024).
Menutnya, aturan ini tidak melewati prosedur implementasi kebijakan sebagaimana mestinya. Ia juga belum mendapati argumen yang kuat dari Mendikbudristek soal kebijakan ini.
"Padahal secara teori kebijakan itu berawal dari inisiasi dulu, lalu ada diskursi atau pewacanaan, lalu ada adopsi dan formulasi, baru implementasi, ini tiba-tiba mau implementasi kebijakan. Sehingga kaget," kata dia.
Arif menilai, implementasi kebijakan ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi, aturan ini diterapkan sekitar 3 bulan sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi berakhir pada Oktober mendatang.
"Siapapun kaget ini, wong di akhir masa jabatan kok mau melakukan tindakan yang meresahkan, menurut saya ini meresahkan," ujarnya.
Dirinya khawatir aturan ini menimbulkan dampak negatif secara psikologis dan sosial terhadap siswa, orangtua, dan juga guru.
"Sehingga ini dampaknya negatif. Meskipun seandainya itu oleh Pak Menteri dianggap positif tapi dampaknya negatif dampak psikologis, dampak sosial, itu justru lebih banyak dibandingkan dampak mutu yang ingin diharapkan," tegasnya. (*)