search

Berita

Tragedi Kanjuruhanthe washington postgas air mata

Hujan Gas Air Mata dan Misteri Pintu yang Terkunci di Kanjuruhan

Penulis: Redaksi Presisi
Jumat, 07 Oktober 2022 | 1.092 views
Hujan Gas Air Mata dan Misteri Pintu yang Terkunci di Kanjuruhan
Foto seorang perempuan berdiri di depan salah satu gerbang di Stadion Kanjuruhan (Sumber: The Washington Post)

Presisi.co – Salah satu surat kabar terbesar dan tertua di dunia, The Washington Post, merilis hasil investigasi mereka mengenai tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. Tembakan gas air mata diduga kuat sebagai penyebab utama peristiwa tersebut.

Berdasarkan pemeriksaan lebih dari 100 video, foto, sebelas wawancara saksi mata. Polisi menembakan setidaknya 40 selongsong gas air mata dalam kurun sepuluh menit di Stadion Kanjuruhan.

Mayoritas tembakan pun diarahkan ke sisi selatan stadion mengenai sejumlah tribun, seperti 11,12, dan 13. Hal itu menyebabkan ribuan pentonton berlarian beranjak dari bangku kursi mereka. Namun, karena pintu stadion terkunci, terjadi penumpukan yang menyebabkan kepanikan masal yang mematikan.

“Informasi ini dikofirmasi oleh presiden (Joko Widodo), yang memerintahkan pengkajian keamanan seluruh stadium di negara tersebut,” tulis media itu, dikutip Presisi.co.

Sampai Kamis, 6 Oktober 2022 kemarin, kepolisian mengumumkan terdapat setidaknya 131 korban dalam peristiwa tersebut. 40 diantaranya adalah anak-anak. Meskipun sudah melanggar peraturan dari FIFA mengenai penggunaan gas air mata di stadion, kepolisian daerah menjelaskan bahwa pengunaan gas air mata sudah sesuai prosedur karena terjadi ‘anarki’.

Ahli kerumunan asal Keele University, Inggris, Clifford Stott, tidak setuju dengan dengan pertimbangan kepolisian. Ia mengatakan perisitiwa tersebut merupakan akibat langsung dari tindakan polisi dan buruknya manajemen stadion. Clifford menilai, pengunaan gas air mata tidak proporsional.

“Untuk menembakan gas air mata ke arah tempat duduk saat gerbang dikunci sangat mungkin menyebabkan masifnya korban yang berjatuhan. Dan itu yang persis terjadi,” ungkapnya.

Analisis arah Gas Air mata (Sumber: The Washington Post)

Hujan Gas Air Mata

The Washington Post pun menyusun runtun perkara Tragedi Kanjuruhan. Awalnya, pada pukul 21.39 WIB, wasit meniupkan peluit penutup pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Laga itu adalah kali pertama Arema FC kalah dengan Persebaya dalam kurun 23 tahun.

Pukul 21.45, ketika pemain Arema FC mulai meninggalkan lapangan, para suporter, yang mayoritas adalah Aremania, melompati pagar pembatas untuk mendekati para pemain. Jumlahnya mencapai ratusan. Namun, dua menit setelah para pemain diamankan dari lapangan, petugas keamanan yang menjaga pintu keluar mulai mendorong balik kerumunan suporter. Situasi kian panas.

Petugas yang menggunakan seragam militer mulai mendesak balik para penonton menuju tribun 11,12, dan 13. Menedang dan memukul suporter dengan tongkat dan perisai anti huru-hara. Sebagian jatuh saat mencoba untuk memanjat kembali ke arah tribun penonton.

Pada pukul 21.50, kepolisian menembakkan gas air mata. Video menunjukan asap yang dihasilkan senjata tersebut melayang ke arah sisi selatan stadion. Sejumlah saksi mata yang diwawancarai Washington Post, mengaku kesulitan bernafas. Air mata mengalir deras. Sementara di bangku 12 dan 13, banyak orang sudah diselimuti gas. Mereka berlarian menuju ke dalam lapangan.

“Gasnya sakit. Mereka terus menembak ke tribun tapi orang-orang tidak tau apa yang terjadi. Bukan cuma kami saja yang lari ke stadion,” ucap Elmiati, 33 tahun, bukan nama sebenarnya. Saat itu ia sedang duduk bersama suami dan anak laki-lakinya yang berusia tiga tahun. Keduanya meninggal malam itu juga.

Sepuluh saksi lain yang diwawancarai Washington Post juga melihat banyak penonton yang melarikan diri menuju lapangan. Hal tersebut terjadi lantaran sejumlah pintu keluar terkunci. Lagipula, gas air mata semakin tercium di tribun 12 dan 13. Kepolisian kembali melontarkan gas air mata ke sisi selatan stadium. Beberapa bahkan ke tempat duduk penonton.

“Semuanya panik. Suporter panik karena mereka mau keluar, aparat kemanan yang menjaga juga panik. Jadi dua-duanya panik dan begitu saja terus,” beber Ari Bowo Sucipto, seorang fotografer lokal.

Ahli hukum hak asasi manusia (HAM) asal Medan, Ranto Sibarani, yang meninjau video Tragedi Kanjuruhan, menilai aparat keamanan terlihat menembakkan gas air mata secara sporadis, namun tanpa strategi yang jelas. Sementara Wakil Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menilai persoalan tersebut menunjukan persoalan sistematis di tubuh kepolisian.

Pada 2020, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang HAM tersebut menemukan setidaknya ada 43 insiden kekerasan polisi dalam aksi protes. Banyak video yang menunjukkan aparat kerap menggunakan gas air mata di tempat-tempat tertutup. Serta menembakkan water cannon dari jarak dekat.

Misteri Pintu yang Terkunci

Mohammad Iqbal, 17 tahun, adalah salah satu penonton yang berlari ke tribun 13 ketika gas air mata ditembakkan. Awalnya, ia berlari menuju pintu keluar di tribun nomor 8. Namun, pintu tribun tersebut terkunci. Ketika ia kembali ke tribun 13, Iqbal pun terjatuh dari tangga.

Sementara, Bhaitul Rohman, 27 tahun, mengaku sempat berhasil ke luar dari pintu tribun nomor 3 sebelum berlari ke tribun 4. Ia melihat banyak orang yang tersangkut di pintu tersebut.

“Aku melihat sekitar 20 orang bertumpukan di atas satu sama lain,” kisahnya.

Dari temuan sementara kepolisian di enam dari 14 pintu keluar yang terlihat di CCTV. Sejumlah pintu justru terbuka, namun terlalu sempit untuk dilalui oleh massa yang berlarian keluar. Akan tetapi, Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo, enggan menanggapi hal tersebut. Ia menjelaskan tanggung jawab mengenai pintu keluar merupakan urusan panitia penyelenggara, bukan kepolisian.

Adapun Ketua Komisi Disiplin PSSI, Erwin Tobing, mengakui sejumlah pintu tertutup ketika polisi menembak gas air mata. Menurutnya, pekerja stadion tidak mempunyai waktu untuk membuka semua pintu keluar. Meskipun demikian, ia tidak menyebutkan berapa jumlah pintu yang tertutup.  

Sementara dari video dan foto yang beredar, beberapa pintu baja di Stadion Kanjuruhan justru terlihat bengkok dan melengkung usai kejadian tersebut.

“Hal tersebut hanya bisa terjadi ketika pintu menerima tekanan yang kuat. Apalagi ketika terkunci rapat,” ucap Clifford Stott dari Keele University menyimpulkan.

---------------------

Laporan asli berita di atas dirilis pertama kali oleh The Washington Post dalam artikel berjudul How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium. Presisi.co, berupaya untuk menerjemahkan artikel tersebut. Penerjemahan dilakukan dengan menanggalkan sejumlah bagian minor yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembaca. (*)

Editor: Bella