Penulis: Redaksi Presisi
Sabtu, 16 Mei 2020 | 832 views
Umat Islam di pelbagai pelosok dunia dihadapkan pada Ramadan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena wabah virus korona yang sudah menjangkiti lebih dari empat juta orang di seluruh dunia dengan korban melewati tiga ratus ribu orang (hingga 13 Mei 2020).
Di Masjidil Haram, Mekah dan Masjid Nabawi, Madinah shalat tarawih ditiadakan untuk umum. Iftar bersama yang biasanya dilangsungkan di masjid dibatalkan dan diganti dengan distribusi hidangan iftar di sekitar kota Mekah dan Madinah.
Kegiatan i’tikaf pun ditiadakan. Hingga hari ini (6 Mei 2020), virus SARS-CoV-2 telah menjangkiti lebih dari 30 ribu orang di Arab Saudi dengan angka kematian mencapai 200 orang.
Kemenag RI, MUI, dan Muhammadiyah sudah mengeluarkan larangan dan pembatasan jarak fisik/kerumunan terkait ibadah khusus bulan Ramadan seperti salat tarawih, buka puasa dan sahur bersama, tadarus, i’tikaf dan pesantren kilat. Larangan tersebut dikeluarkan sebagai usaha untuk mengendalikan penyebaran wabah.
Di lain pihak, kita juga harus memerhatikan pola kejadian superspreader seperti kasus-kasus Jamaah Tabligh yang menyebabkan penyebaran virus korona transnasional di Indonesia, Malaysia, Singapura, India dan Pakistan.
Tiga klaster Jamaah Tabligh di Selangor (Malaysia), Gowa (Sulsel), dan baru-baru ini Pesantren Al Fatah, Temboro melibatkan jumlah penderita yang sangat signifikan. Kasus pertama di Selangor melibatkan hampir 30 ribu peserta dan mengakibatkan 1720 kasus positif dan 2620 orang dalam pengawasan di Malaysia.
Sementara di Indonesia sendiri, karena lemahnya pengawasan dan pelacakan kontak dari hampir 700 orang WNI peserta acara ini, tidak bisa dipastikan berapa kasus COVID-19 yang bersumber dari acara ijtima di Selangor ini.
Kesalahan serupa tidak boleh terulang, mengingat ada ratusan WNI Jamaah Tabligh yang sekarang terdampar di India, 75 di antaranya positif COVID-19 dan 216 dari 717 WNI Jemaah Tabligh terlibat masalah hukum terkait pelanggaran ketentuan karantina.
Di Indonesia, klaster Ijtima Internasional Gowa, meskipun izin acaranya di pertengahan Maret (19 – 22) dibatalkan, sudah menyebabkan ratusan kasus COVID-19 di berbagai provinsi di Indonesia. Acara ini melibatkan sekitar 10 ribu peserta, 8 ribu di antaranya WNI, sisanya warga negara asing dari negara-negara yang belum menerapkan larangan bepergian seperti India dan Pakistan.
Setelah ditetapkannya aturan terkait PSBB, ada lagi kejadian superspreader terkait Jamaah Tabligh, kali ini Imigrasi Malaysia menemukan 43 santri yang baru kembali dari Ponpes Al Fatah Temboro, Magetan, positif terinfeksi COVID-19 setelah dites di Bandara KLIA. Kembali pemerintah Indonesia berada selangkah di belakang wabah ini, karena pelacakan pergerakan dan karantina orang-orang dari Ponpes Al Fatah ini tidak dilakukan dengan baik.
Pemerintah perlu mempertimbangkan cara-cara persuasif dengan merangkul pemimpin Jamaah Tabligh di Indonesia untuk menginstruksikan pengikutnya agar mengikuti aturan-aturan karantina. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah umat Jamaah Tabligh melanggar instruksi isolasi dan karantina yang diberikan tenaga medis.
Ini sudah dilakukan pimpinan-pimpinan ormas Islam besar lain, seperti NU dan Muhammadiyah. NU sudah menunda Munas dan Konbes di awal Maret dan melakukan ritual Nisfu Syaban, suatu ritual tahunan yang berpotensi mengumpulkan puluhan bahkan ratusan ribu orang, secara online. Muhammadiyah juga sudah menunda rencana Muktamar pada 1 – 5 Juli 2020 ke bulan Desember.
Tentunya, masalah ini tidak terbatas pada Jamaah Tabligh saja. Klaster-klaster Sekolah Teologi Bethel, Petamburan dan Seminar Keagamaan di Gereja Bethel, Bandung merupakan contoh bahwa permasalahan ini tidak membeda-bedakan kelompok agama.
Pemerintah juga perlu pendekatan dialog agama yang tepat, karena pendekatan hukum seperti yang dilakukan pemerintah Korea Selatan pada sekte gereja Shincheonji tidak tepat diterapkan pada Jemaah Tabligh.
Aliran Jamaah Tabligh lebih menyerupai gerakan puritan yang masih menggunakan dalil-dalil yang diakui jumhur ulama dan secara umum bukanlah aliran yang menyimpang dari kaidah-kaidah Islam.
Tuntutan hukum yang dihadapi imam besar Jamaah Tabligh di India terkait wabah COVID-19 ini juga memberikan motivasi tersendiri bagi anggota Jamaah Tabligh di Indonesia karena berpotensi digambarkan sebagai bentuk diskriminasi mayoritas Hindu di India terhadap minoritas muslim di sana.
Tentu saja langkah penertiban dan penegakan hukum PSBB harus dilakukan secara sama rata tanpa pandang bulu. Keterlambatan hadirnya aparat saat penutupan McDonalds Sarinah menarik kerumunan massa yang mengacuhkan kaidah jaga jarak fisik merupakan salah satu contoh kelemahan penegakan hukum PSBB yang seharusnya tidak terjadi, apalagi di daerah yang tinggi jumlah kasusnya seperti DKI Jakarta.
Masalah lain adalah seringkali pemerintah dan ormas pun tidak sepenuhnya satu kata dalam mengeluarkan kebijakan berkenaan pembatasan pengumpulan massa di tempat ibadah ini. MUI Sumatera Utara, misalnya, mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengurangi efektivitas pembatasan jarak fisik dengan masih memperbolehkan salat berjamaah di masjid (21/4/2020).
Kesimpangsiuran kebijakan ini menyebabkan kasus-kasus sporadis di mana kegiatan shalat berjamaah masih saja tetap diselenggarakan di masjid-masjid. Saat PSBB berlaku, ratusan masjid di Surabaya masih mengadakan kegiatan salat berjamaah dan tarawih. Di Masjid Kemayoran, Surabaya seorang jamaah mendadak jatuh selepas salat magrib hingga jamaah berlarian dan akhirnya pengurus masjid membatalkan salat tarawih.
Di Kabupaten Bogor, seorang jamaah Masjid Al-Atieq kampung Semplak tiba-tiba jatuh dan meninggal saat salat Jumat. Di Tasikmalaya, seorang pasien positif COVID-19 sempat menjalankan salat Jumat berjamaah sebelum dirawat di rumah sakit.
Kejadian-kejadian di atas menunjukkan bahwa narasi pemerintah dalam menanggapi wabah ini yang terkesan meremehkan pada awal bulan Januari hingga Maret berimbas pada perilaku sebagian kecil masyarakat yang menganggap sepele bahaya penularan virus korona.
Ini semakin rumit apabila dikontraskan dengan perintah agama untuk beribadah, terutama di Bulan Ramadan, di mana ibadah dan pahalanya dilipatgandakan. Sudah mulai terjadi konflik-konflik di mana kepala daerah (camat, bupati) yang menegakkan aturan ibadah berjamaah di masjid mendapatkan perlawanan dari penduduknya.
Keseimbangan antara peningkatan kesadaran publik, penegakan hukum, pendekatan edukatif dan usaha persuasif perlu dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah demi menekan laju penyebaran COVID-19 di bulan Ramadan ini.