search

Berita

samarindaJalan Ringroad Samarindakalimantan timur

Pemandangan Tak Biasa di Ringroad 3 Samarinda

Penulis: Muhammad Riduan
2 jam yang lalu | 34 views
Pemandangan Tak Biasa di Ringroad 3 Samarinda
Wandora (kanan) yang kini tinggal bersama dengan keluarganya di tengah jalan Ringroad 3 Samarinda. (Presisi.co/Riduan)

Samarinda, Presisi.co — Pemandangan tak biasa terlihat di Jalan H.M. Ardans atau yang dikenal sebagai Ringroad 3, Kelurahan Air Hitam, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda. Di tengah jalan itu, berdiri sebuah tempat sederhana berdinding terpal biru dan hijau yang diikat tali rapia. Di dalamnya, seorang wanita paruh baya bernama Wandora (50-an) tinggal bersama anak dan cucunya, di bawah terik dan bisingnya lalu lintas kendaraan.

Bangunan darurat itu menjadi tempat berteduh setelah ia dan keluarganya diduga digusur dari rumah yang diklaim telah mereka tempati sejak 1970. Wandora mengaku terpaksa keluar dari rumah pada 17 September 2025 oleh pihak perusahaan yang mengaku telah memenangkan sengketa lahan di pengadilan.

“Kami dipaksa keluar. Alasannya mereka sudah menang di pengadilan negeri. Padahal saya punya surat segel, pajak pun saya bayar. Kok bisa saya dikeluarkan dari hak saya?” keluhnya, saat ditemui Presisi.co pada Senin, 10 November 2025.

Menurut Wandora, tanah tersebut sudah dikelola keluarganya jauh sebelum pembangunan jalan Ringroad 3 dimulai. Ia mengaku lahir dan besar di lahan yang kini menjadi sengketa.

“Saya lahir di sini. Waktu itu belum ada jalan ini. Saya asli petani, tapi petani kecil-kecilan,” tuturnya.

Usai penggusuran, Wandora mendirikan tempat tinggal darurat yang tidak jauh dari lahannya sebagai bentuk protes dan perlawanan. Ia mengaku tidak memiliki pilihan lain selain bertahan di sana.

“Saya pindahlah di atas trotoar ini. Karena saya minta tolong keadilan, karena saya ini tidak sekolah, orang awam,” ucapnya.

Kini, di bawah terpal dan beralaskan papan seadanya, sembilan orang dari dua rumah tangga bertahan hidup di tengah lalu lintas padat. Untuk makan, mereka hanya mengandalkan bantuan warga sekitar dan hasil kebun seadanya yang masih bisa digarap.

“Sayur dari kebun sendiri. Kalau air dulu masih bisa dari sumur pakai dinamo, tapi setelah rumah dirobohkan tidak ada kompensasi,” katanya.

Ia juga menyebut penggusuran dilakukan tanpa ganti rugi dan berlangsung dengan cepat.

“Kami sempat diberi tahu hari Jumat sebelumnya. Ada empat rumah tangga keluarga saya yang kena,” ujarnya.

Meski hidup di tengah bising kendaraan dan risiko keselamatan, Wandora mengaku hanya bisa pasrah dan berharap perlindungan Tuhan.

“Saya mau bilang takut. Ya, saya pasrah tapi saya berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Allah melindungi saya. Karena memang saya ini orang enggak punya. Jadi hanya saya berpegang-teguh kepada Allah,” ucapnya pelan.

Ia berharap pemerintah daerah dapat turun tangan meninjau ulang persoalan lahan yang membuat keluarganya kehilangan tempat tinggal.

“Saya cuma minta tolong keadilan,” imbuhnya. (*)

Editor: Redaksi