search

Berita

PUBGLedakan SMAN 72 JakartaPlayerUnknown’s BattlegroundsPUBG diblokir

Waduh! Pemerintah Mau Blokir Game PUBG Imbas Ledakan di SMAN 72 Jakarta

Penulis: Rafika
2 jam yang lalu | 0 views
Waduh! Pemerintah Mau Blokir Game PUBG Imbas Ledakan di SMAN 72 Jakarta
Poster game online PUBG. (Ist)

Presisi.co - Pemerintah mempertimbangkan langkah tegas untuk membatasi hingga menutup sejumlah game online di Indonesia, menyusul tragedi ledakan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta dan menewaskan satu siswa.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan, pemerintah tengah mencari solusi terbaik untuk menekan dampak negatif dari fenomena game online yang dinilai kian meresahkan.

“Kita juga masih harus berpikir untuk membatasi dan mencoba bagaimana mencari jalan keluar terhadap pengaruh pengaruh dari game online,” kata Prasetyo, usai Rapat Terbatas (Ratas) di Kertanegara, Minggu, 9 November 2025, sebagaimana diberitakan Suara.com --jaringan Presisi.co.

Menurut Prasetyo, sejumlah game daring mengandung elemen kekerasan dan konten yang berpotensi merusak moral generasi muda.

“Karena, tidak menutup kemungkinan, game online ini ada beberapa yang di situ, ada hal-hal yang kurang baik, yang mungkin itu bisa memengaruhi generasi kita ke depan,” katanya.

Dugaan keterkaitan aksi FN, pelaku ledakan di SMAN 72, dengan pengaruh game online semakin menguat setelah polisi menemukan laras panjang mainan di lokasi kejadian.

Temuan tersebut memicu pemerintah meninjau ulang kebijakan terhadap game dengan rating kekerasan tinggi.

Salah satu yang disebut secara spesifik adalah PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), permainan bergenre battle royale yang menampilkan simulasi perang dengan berbagai jenis senjata api.

“Misalnya contoh, PUBG. Itu kan di situ, kita mungkin berpikirnya ada pembatasan-pembatasan ya, di situ kan jenis-jenis senjata, juga mudah sekali untuk dipelajari, lebih berbahaya lagi,” katanya.

Ia menambahkan, paparan terhadap kekerasan virtual dapat menimbulkan efek psikologis serius, terutama bagi anak-anak dan remaja yang belum mampu membedakan realitas dengan permainan.

“Ini kan secara psikologis, terbiasa yang melakukan yang namanya kekerasan itu sebagai sesuatu yang mungkin menjadi biasa saja,” katanya. (*)

Editor: Redaksi

Baca Juga