Mengenal Whesly, Penari Muda yang Menjaga Napas Kesenian Adat Dayak
Penulis: Rafika
4 jam yang lalu | 3 views
Whesly, Penari Muda yang Menjaga Napas Kesenian Adat Dayak. (Dok)
Samarinda, Presisi.co - Gencarnya arus budaya modern di era digital saat ini tak menyurutkan semangat Whesly untuk terus mengenalkan tradisi leluhurnya. Pemuda 20 tahun asal Desa Budaya Sungai Bawang, Muara Badak, Kutai Kartanegara, ini memilih menekuni seni tradisional sebagai penari Dayak Kenyah sekaligus pemain sape’, alat musik petik khas Dayak.
Sejak kecil, Whesly tumbuh di lingkungan yang kental dengan nuansa kesenian. Hidup di desa budaya membuatnya akrab dengan berbagai pertunjukan tari tradisional yang kerap digelar di lingkungannya. Tak heran, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, ia sudah mulai belajar dan menjajal berbagai tarian khas Dayak.
“Tapi waktu SD masih kaku banget (tariannya). Di SMP, masih aktif belajar menari ditambah mulai belajar Sape’,” tuturnya saat diwawancarai Presisi.co pada Sabtu, 25 Oktober 2025.
Whesly baru benar-benar menekuni tarian tradisional Dayak Kenyah serta alat musik Sape’ saat duduk di bangku SMA, tepatnya di masa pandemi Covid-19.
Bagi Whesly, proses belajar tarian justru banyak ia peroleh dari lingkungan sekitarnya. Ia menuturkan, masyarakat di kampungnya umumnya belajar secara otodidak, dengan meniru gerakan dan alunan musik yang diwariskan oleh para pendahulu.
“Kalau di kampung, apalagi kami yang memang hidup dalam kebudayaan itu, cara bermainnya agak berbeda dengan yang diajarkan di sanggar atau sekolah di kota,” ujarnya.
Menurut Whesly, metode seperti itu sudah menjadi tradisi turun-temurun. Anak-anak muda biasanya belajar dengan mengamati orang tua, kakek-nenek, atau para tetua adat yang menampilkan tarian. Dari situ, mereka memperhatikan gerakannya, mencoba sendiri, lalu memperbaikinya seiring waktu.
“Pokoknya semua berjalan beriringan, baik itu berlatih secara otodidak, melalui pelatih dari program yg diadakan sekolah, ataupun sanggar seni yang menjalankan programnya,” jelas pria yang akrab disapa Boy ini.
“Kebanyakan kita yang masyarakat Dayak melakukan metode begitu (belajar dari para pendahulu). Menurut saya bukan cuma di Sungai Bawang saja. Desa Pampang dan desa-desa adat lain pasti melakukan hal serupa,” sambungnya.
Whesly mengakui, awalnya tak mudah menekuni seni tradisional. Apalagi, ia mempelajarinya secara otodidak. Namun seiring waktu, ia terus berbenah dan belajar hingga akhirnya mulai merasakan hasil dari usahanya.
“Lama kelamaan terus belajar, berbenah diri, hingga sampai sekarang peluang tersebut bisa kita manfaatkan. Jika ada panggung yang menawarkan tampil, kita bisa dengan senang hati menerima tawaran tersebut,” ungkap mahasiswa Etnomusikologi Universitas Mulawarman ini.
Inspirasi Whesly untuk menekuni seni tradisional sebenarnya bermula dari rasa penasaran dan kekagumannya terhadap kesenian Kalimantan. Ia mengenang masa sekitar tahun 2018 hingga 2019 sebagai tahun yang cukup berkesan. Kala itu, terang Whesly, banyak seniman Kalimantan mulai bangkit dan memperkenalkan karya mereka ke publik.
“Saat itu banyak seniman mulai muncul di media sosial, salah satunya Uyau Moris dan teman-temannya. Saya lihat karya mereka dan langsung tertarik. Luar biasa, ternyata kesenian kita bisa tampil sekeren itu,” ujarnya.
Whesly mengakui, banyak anak muda memandang kesenian tradisional sebagai sesuatu yang kuno. Namun setelah melihat bagaimana seniman-seniman lokal menampilkan tarian dan musik Dayak, pandangannya pun berubah.
“Dalam pandangan kita, kesenian kita terlihat jadul dan kurang menarik, tapi ketika dilihat oleh masyarakat luas, bahkan dunia, kesenian kita justru sangat unik. Dari situ jiwa seni saya bangkit. Inspirasinya dari seniman-seniman yang saya anggap keren,” ucapnya.
Perjalanan Whesly di dunia seni mulai serius saat duduk di bangku kelas dua SMA. Saat itu, ia iseng mengikuti lomba alat musik tradisional sape’ di Kota Samarinda. Tak disangka, penampilannya berhasil menarik perhatian juri.
“Puji Tuhan, waktu itu saya dapat juara. Dari situ nama saya mulai dikenal dan mulai sering dipanggil ke beberapa acara,” kenangnya.
Sejak saat itu, Whesly mulai rutin tampil di berbagai kesempatan, mulai dari acara resmi hingga pertunjukan di hotel. Meski kini kesibukan kuliah membuatnya tak seaktif dulu, ia tetap menyempatkan diri untuk tampil, terutama di acara-acara budaya di Samarinda dan sekitarnya.
“Sekarang lebih sering tampil di Samarinda, biasanya di acara kampus seperti di Unmul bersama teman-teman. Di desa saya sendiri, Sungai Bawang, saya masih aktif tampil di upacara adat. Di Pampang juga pernah, dan beberapa kali ikut ritual Hudoq Kawit di Samarinda,” tuturnya.
Tak hanya di daerah, Whesly juga pernah tampil di luar kota. Pada 2023, ia bersama rekan-rekannya sempat pentas di Surabaya. Setahun kemudian, pada momen peringatan 17 Agustus 2024, ia mendapat kehormatan mewakili Taman Budaya Kalimantan Timur sekaligus tampil memainkan sape’ di sana.
Berbeda dengan penari muda lain yang kerap menampilkan tarian kreasi, Whesly justru memilih tetap setia pada pakem asli Dayak Kenyah. Bahkan, detail kostum tari yang kerap dikenakannya masih berpedoman pada pakem yang diajarkan leluhurnya..
“Saya sendiri dan beberapa teman-teman bawa pakem asli dari Dayak Kenyah. Kami memang agak sulit melepaskan diri dari pakem. Kami bawa tari tunggal atau tari perang, bahkan musiknya pun iringan musik asli tradisi tanpa campur tangan modern,” ujar Whesly.
Bukan tanpa alasan, Wesley merasa memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan kebudayaan asli Dayak kepada generasi muda. Ia ingin warisan yang ditinggalkan para pendahulunya tetap dikenali dan dipahami oleh generasi saat ini, sebagaimana aslinya dulu.
“Termasuk bulu burung yang menjadi aksesoris kepala punya aturan sendiri dan kami membawa hal tersebut di kota. Apa yang diajarkan ortu kami, itu yang kami perkenalkan ke masyarakat umum,” sambungnya.
Meski begitu, ia tak menutup diri terhadap perkembangan seni. Whesly mengaku, dirinya juga mempelajari tarian kreasi serta kontemporer. Bahkan, ia kerap memadukan sentuhan modern saat tampil live music sape’.
“Kalau live music sape’ di hotel gitu sudah campur. Main musik modern juga dan pakai efek,” terangnya.
Berbicara soal tantangan anak muda mempertahankan adat budaya di era modern, bagi Whesly hal itu bukan datang dari lingkungan orang lain, melainkan dari diri sendiri.
Menurutnya, banyak anak muda yang enggan mengikuti kegiatan budaya seperti menari, bernyanyi, atau menghadiri acara adat karena kesibukan masing-masing.
“Tantangannya ya mengalahkan pikiran atau ego. Saya sendiri pun masih kuliah, caranya ya harus membagi waktu,” ujarnya.
Bagi Whesly, budaya adat Dayak merupakan identitas dirinya sekaligus warisan yang sangat berharga.
“Orangtua kami tidak meninggalkan harta benda. Tapi mereka meninggalkan sesuatu yang jauh lebih berharga sebelum pergi, yaitu adat, kebudayaan, dan tradisi yang biasa mereka lakukan,” katanya.
“Supaya kami bisa terus mengingat dan mengenangnya, bagaimana kehidupan atau kebiasaan orang tua kami, keseniannya seperti ini,” sambungnya.
Oleh sebab itu, semangat Whesly melestarikan budaya lahir dari keinginan meneruskan warisan leluhur.
“Banyak yang koar-koar di luar sana, ‘ayo kita lestarikan budaya.’ Ya, bagaimana mau mengajak orang lain melestarikan kalau diri sendiri belum mampu. Lakukan ke diri sendiri dulu, baru mengajak orang lain,” tutupnya. (*)