search

Berita

Koperasi Kelola TambangKoperasi Merah PutihUntung Rugi Pengelola Tambang

Gejolak Koperasi Kelola Tambang, Siapa yang Untung?

Penulis: Akmal Fadhil
18 jam yang lalu | 113 views
Gejolak Koperasi Kelola Tambang, Siapa yang Untung?
Ketua Koprasi Merah Putih Kelurahan Lempake, Adung KS Utomo saat diwawancarai. (Presisi.co/Akmal)

Samarinda, Presisi.co – Di tengah geliat ambisi pemerintah pusat membuka sektor pertambangan bagi lebih banyak pelaku, termasuk koperasi, suara penolakan justru menggema dari pinggiran Kota Samarinda.

Di Kelurahan Lempake, Ketua Koperasi Merah Putih, Adung KS Utomo, menyatakan sikap tegas. Ia bilang, koperasi sebaiknya tidak masuk ke tambang.

Sikap ini bukan tanpa alasan. Adung menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 perubahan atas PP 96 Tahun 2021 yang kini memberikan ruang bagi koperasi untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam atau batu bara seluas hingga 2.500 hektare.

Namun bagi Adung, kebijakan itu justru terasa seperti jebakan. Ia menyebutnya terlalu jauh dari misi koperasi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kecil.

“Menurut saya itu terlalu jauh,” ujar Adung saat ditemui di kantor koperasinya pada Sabtu 18 Oktober 2025.

Adung lebih memilih koperasi tetap fokus pada urusan-urusan yang langsung menyentuh masyarakat.

“Kalau gerai sembako bisa jalan, Lembaga Produksi jalan, atau program pupuk subsidi dijalankan dengan baik, itu sudah luar biasa. Sudah menguras tenaga dan membuka banyak lapangan kerja,” katanya.

Bagi Adung, tambang bukan hanya soal peluang ekonomi. Ia melihatnya sebagai sektor yang sarat konflik, rawan permainan, dan punya risiko besar terhadap lingkungan yang justru menjadi kekuatan wilayah mereka.

“Tambang itu kan merusak alam. Sementara kami ini daerah pertanian. Kalau kami ikut tambang, siapa yang jamin tidak akan merugikan masyarakat sekitar?” ujarnya dengan nada prihatin.

Bukan Penolakan Kosong

Penolakan Adung tak datang dari ruang hampa. Ia melihat langsung gejala koperasi dijadikan kedok oleh pemodal besar untuk masuk ke tambang lewat celah regulasi. Di beberapa daerah, kata dia, praktik itu sudah mulai terlihatkoperasi diminta mengurus perizinan, tapi kendali dan modal dipegang pihak lain.

“Bisa jadi koperasi hanya jadi kendaraan. Yang untung ya tetap orang-orang kuat, koperasi cuma dicatut namanya,” jelasnya.

Disampaikannya, masalah ini lebih dari sekadar potensi penyalahgunaan. Ia menyebutnya sebagai persoalan etika dan kapasitas.

“Rasulullah pernah bersabda, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.’ Ini yang terjadi di negeri ini. Banyak jabatan dan wewenang bukan dipegang oleh orang yang kompeten,” kata dia.

Kritis Tapi Tetap Konstruktif

Meski tajam dalam menyampaikan pandangan, Adung tetap menunjukkan sikap kritis yang membangun. Ia mengaku mendukung banyak program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yang menurutnya memiliki semangat kuat dalam menyejahterakan rakyat.

“Saya pribadi mengagumi Pak Prabowo. Harusnya pejabat-pejabat lain juga seperti beliau—berani koreksi, tidak alergi kritik,” kata Adung.

Tapi, ia mengingatkan, semangat itu harus diiringi dengan perencanaan yang matang dan evaluasi dampak. Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang, meski membawa niat baik, ternyata memberi efek samping bagi pelaku usaha kecil.

“Di sekolah kami ada 11 kantin yang kini sepi. Masing-masing kantin pekerjakan dua orang. Artinya, 33 orang kehilangan mata pencaharian,” jelasnya. “Siapa yang tanggung jawab?”

Koperasi: Pilar atau Kendaraan Kepentingan?

Adung tak menolak perubahan. Ia tahu bahwa koperasi punya potensi besar bila diberdayakan dengan tepat. Namun, ia juga paham bahwa sektor tambang bukan tempat yang netral. Terlalu banyak tarikan kepentingan, terlalu sedikit koperasi yang
benar-benar siap.

“Kami lebih baik fokus di yang kami kuasai: pertanian, sembako, ekonomi lokal. Jangan sampai koperasi, yang harusnya jadi tulang punggung rakyat, malah jadi alat permainan orang kuat,” tutupnya.

PP Nomor 39 Tahun 2025 membuka peluang bagi koperasi, ormas, UMKM, hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan konsesi tambang. Regulasi ini disebut-sebut sebagai langkah untuk demokratisasi ekonomi di sektor pertambangan.

Namun, tanpa pengawasan dan pendampingan yang memadai, suara seperti milik Adung bisa jadi akan makin banyak terdengar. (*)

Editor: Redaksi