Menyimak Penjelasan Ketua Badan Kehormatan DPRD Kaltim dan Pakar Hukum Terkait Etika Wakil Rakyat di Media Sosial
Penulis: Akmal Fadhil
Jumat, 10 Oktober 2025 | 18 views
Ilustrasi. (Sumber: Canva.com)
Samarinda, Presisi.co – Media sosial kini menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk menyampaikan pendapat, termasuk bagi pejabat publik seperti anggota legislatif. Namun, penggunaan media sosial oleh pejabat publik perlu diiringi dengan kesadaran etika agar tidak menimbulkan kesalahpahaman maupun kegaduhan di tengah masyarakat.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur, Subandi, menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam setiap pernyataan publik, terutama di ruang digital. Menurutnya, setiap anggota dewan memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga marwah lembaga dan tidak menggunakan media sosial sebagai sarana menyampaikan pendapat yang dapat menimbulkan polemik.
“Sebagai pejabat publik, kita harus berhati-hati dalam menyampaikan pandangan di ruang publik, termasuk media sosial. Etika harus tetap dijaga agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,” ujar Subandi saat dihubungi Presisi.co melalui sambungan telepon seluler pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Politisi PKS itu menambahkan bahwa media sosial sebenarnya dapat menjadi sarana komunikasi yang positif antara wakil rakyat dan masyarakat, asalkan digunakan dengan bijak dan proporsional.
Menurutnya, kritik atau masukan sebaiknya disampaikan melalui mekanisme resmi lembaga, bukan melalui pernyataan yang berpotensi multitafsir di ruang publik.
“Kalau memang ada hal yang ingin disampaikan, gunakan saluran resmi. Jangan sampai penyampaian di media sosial justru menimbulkan persepsi yang salah,” tambahnya.
Subandi juga mengingatkan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Setiap anggota dewan, kata dia, harus menyadari bahwa statusnya sebagai pejabat publik melekat baik di ruang formal maupun informal, termasuk di dunia maya.
“Wakil rakyat harus bisa menjadi teladan. Jangan sampai ucapan kita di media sosial justru menimbulkan keresahan di masyarakat,” ujarnya.
Senada dengan itu, Pakar Hukum yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pentingnya pemahaman mendalam mengenai etika pejabat publik dalam berkomunikasi di era digital. Castro sapaanya menuturkan, pejabat publik seharusnya memahami bahwa kebebasan berpendapat memiliki batas tanggung jawab hukum dan moral.
“Etika pejabat publik itu melekat sejak mereka mengucapkan sumpah jabatan. Artinya, mereka wajib menjaga kehormatan jabatan dengan cara berbicara dan bertindak secara bijak,” jelas Castro kepada awak media.
Ia menambahkan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur secara tegas larangan penyebaran ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan. Oleh karena itu, setiap pejabat publik diharapkan memahami aturan tersebut sebelum menyampaikan opini di ruang digital.
Merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 28 ayat (2), yang jelas mengatur larangan menyebarkan ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.
“Itu pidana. Ancaman hukumannya bahkan bisa sampai enam tahun penjara. Kalau mereka tidak memahami aturan dasar seperti ini, bagaimana bisa beretika dalam ruang publik?” katanya.
Lebih jauh, Castro menyoroti lemahnya internalisasi nilai etika di kalangan anggota dewan. Padahal, kata dia, aturan mengenai perilaku pejabat publik telah diatur secara rinci dalam UU Pemerintahan Daerah, Undang-Undang MD3, serta Tata Tertib DPRD yang mereka buat sendiri.
“Ironisnya, aturan itu sudah jelas tapi mereka tampaknya tidak memahami produk hukum yang mereka hasilkan sendiri,” tutupnya.