Kasus HIV di Samarinda Naik, Kepala Dinkes Ungkap Seperti Fenomena Gunung Es
Penulis: Muhammad Riduan
4 jam yang lalu | 0 views
Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, Ismed Kusasih.(Presisi.co/Muhammad Riduan)
Samarinda, Presisi.co – Dinas Kesehatan (Diskes) Samarinda mencatat peningkatan jumlah kasus HIV pada tahun 2025. Namun, kenaikan ini bukan berarti penyebaran HIV semakin meluas, melainkan hasil dari semakin gencarnya program screening yang dilakukan pemerintah.
Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, Ismed Kusasih menjelaskan bahwa HIV merupakan salah satu dari 12 Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan yang wajib dijalankan di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, deteksi dini melalui screening terus diperkuat.
“Kalau kasusnya meningkat itu karena kita kuat melakukan screening. HIV ini seperti fenomena gunung es, semakin banyak kita melakukan screening, kemungkinan menemukan kasus juga semakin besar,” kata Ismed, pada Kamis 11 September 2025.
Pada 2024 lalu, Diskes Samarinda melakukan pemeriksaan terhadap sekitar 50 ribu orang, dan sekitar 500 di antaranya dinyatakan positif HIV. Sementara hingga pertengahan 2025 ini, dari hampir 40 ribu orang yang diskrining, ditemukan sekitar 200 kasus positif.
Menurut Ismed, penemuan dini justru memberikan keuntungan besar. Pasien bisa segera mendapatkan pengobatan sehingga angka kematian dapat ditekan.
“Prinsipnya, semakin cepat menemukan penderita, semakin cepat kita obati. Sama halnya dengan TBC, yang kita hindari adalah kematian,” tegasnya.
Ismed menambahkan, seluruh pasien HIV di Samarinda sudah rutin mendapatkan pengobatan. Saat ini, 26 puskesmas, rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, hingga sejumlah klinik sudah melayani terapi bagi penderita HIV. Diskes juga menjamin kerahasiaan pasien.
Meski begitu, ia menekankan penanganan HIV tidak bisa hanya dibebankan pada sektor kesehatan. Faktor sosial, perilaku, dan ekonomi juga sangat berpengaruh. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, seperti halnya saat menangani pandemi COVID-19.
“Penanganan HIV itu tidak bisa hanya oleh tenaga kesehatan. Harus kolaboratif, karena HIV berkaitan erat dengan masalah perilaku dan sosial,” pungkasnya. (*)