UNMUL Desak Percepatan Valuasi Kerugian Ekologis di KHDTK yang Digarap Tambang Ilegal
Penulis: Akmal Fadhil
23 jam yang lalu | 98 views
Potret Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Unmul yang rusak akibat aktifitas tambang. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Universitas Mulawarman (Unmul) menegaskan pentingnya percepatan proses verifikasi valuasi kerugian ekologis akibat penyerobotan dan aktivitas tambang ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK).
Selain itu, Tim Hukum Unmul mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan keterlibatan korporasi dalam perusakan hutan tersebut.
Menurut anggota Tim Hukum Unmul, Haris Retno Susmiati, valuasi ekonomi atas kerusakan lingkungan sebenarnya sudah dilakukan, namun masih memerlukan verifikasi lebih lanjut, khususnya pada aspek jasa lingkungan.
“Sudah ada angka kasarnya, tapi masih perlu verifikasi terutama pada perhitungan jasa lingkungan. Karena dampaknya tidak hanya terbatas pada lahan seluas 3,6 hektare yang dirambah, tapi meluas ke daerah sekitar, termasuk yang mengalami banjir,” kata Haris usai rapat dengar pendapat, Kamis 10 Juli 2025.
Ia menjelaskan, valuasi tidak hanya mencakup nilai ekonomi kayu, tapi juga mencakup hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan seperti fungsi resapan air dan penyangga ekosistem.
Jasa lingkungan ini dinilai sebagai kerugian tak kasatmata yang muncul akibat kerusakan ekosistem hutan.
Lebih jauh, Haris menyoroti pentingnya penelusuran hubungan para terduga pelaku dengan entitas korporasi, sebagaimana disinggung oleh aparat kepolisian dan Gakkum KLHK dalam paparan mereka. Ia menyebut indikasi kuat ke arah kejahatan korporasi.
“Kalau benar ada keterlibatan perusahaan, maka ini bukan lagi kejahatan individu. Ini sudah masuk ranah kejahatan korporasi. Maka harus ditelusuri dan dibuktikan di pengadilan siapa yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa valuasi ekonomi tidak akan bermakna jika proses hukum tidak menetapkan pelaku secara jelas.
“Valuasi itu hanya bisa dituntut kalau ada penanggung jawab hukum yang sah. Kalau tidak, ya angka itu tidak bisa digunakan dalam gugatan,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Dekan Fakultas Kehutanan Unmul, Prof Irawan, ia menyebut tim Unmul telah melibatkan pakar hukum lingkungan dan akademisi untuk memastikan keakuratan valuasi.
“Perhitungan berdasarkan kajian ilmiah dan jurnal internasional. Tapi tetap harus dijastifikasi dan diverifikasi secara hukum,” jelasnya.
Irawan menegaskan, valuasi tidak hanya mengacu pada kerusakan yang tampak, tapi juga pada dampak ekologis jangka panjang.
“Ada fungsi hutan yang hilang, seperti jasa lingkungan, resapan air, dan stabilisasi iklim mikro. Ini yang masuk dalam kategori kerugian ekologis,” paparnya.
Unmul berharap proses penegakan hukum terus dikembangkan, tidak berhenti pada satu tersangka saja. Mereka juga mendorong agar aparat kepolisian dan Gakkum KLHK menyelidiki dari sisi akses, izin, dan tanggung jawab perusahaan terhadap kerusakan kawasan yang berada di bawah pengelolaan akademik tersebut.
“Ya termasuk ada jasa lingkungan dan lain-lain. Jadi ada fungsi hutan itu kan tidak hanya yang fisik kelihatan, tetapi ada jasa yang sebetulnya tidak fisik tapi dia dihitung. Misalnya ada jasa-jasa lingkungan yang seharusnya pada saat hutan itu ada, tapi begitu itu rusak jasa lingkungannya hilang,” pungkasnya. (*)