Perempuan Mahardhika Samarinda Gelar Diskusi Publik Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP)
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Kamis, 05 Desember 2024 | 197 views
Samarinda, Presisi.co - Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), Perempuan Mahardhika Samarinda mengadakan diskusi publik bertema "Jurnalis Perempuan Lawan Kekerasan dan Diskriminasi: Wujudkan Lingkungan Kerja yang Aman bagi Jurnalis Perempuan Samarinda". Acara berlangsung di Aula Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur, Jalan Biola, Kamis, 5 Desember 2024
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber: Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kaltim Tri Wahyuni, Anggota Majelis Pertimbangan dan Legislasi AJI Kota Samarinda Nofiyatul Chalimah, serta Koordinator Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda Disya Halid.
Ketua PWI Kaltim, Abdurrahman membuka acara dengan menyoroti tantangan unik yang dihadapi jurnalis perempuan.
“Perempuan yang terjun ke dunia jurnalistik merupakan sebuah keberanian tersendiri. Mereka menghadapi kerentanan yang berbeda, tetapi memiliki keistimewaan dengan sentuhan khusus saat meliput isu tertentu,” ujarnya.
Tri Wahyuni mengungkapkan pentingnya media yang berperspektif gender. Ia mengkritisi pemberitaan yang sering kali mengeksploitasi korban kekerasan daripada mengangkat kejahatan itu sendiri.
“Perlu upaya kolektif untuk meningkatkan kualitas pemberitaan yang berperspektif gender. Ini tugas kita sebagai jurnalis perempuan,” tegasnya.
Sementara itu, Nofiyatul Chalimah memaparkan tiga jenis kekerasan yang sering dialami jurnalis perempuan. Seperti, intimidasi oleh narasumber, budaya patriarki yang melekat, serta diskriminasi di lingkungan kerja.
“Kita harus menciptakan kesadaran kolektif untuk membangun lingkungan kerja yang aman,” ucapnya.
Disya Halid dari Perempuan Mahardika, menyoroti kasus kekerasan seksual yang kerap dialami jurnalis perempuan, mulai dari pelecehan verbal hingga tindakan fisik. Ia menegaskan banyak korban yang bingung harus melapor ke mana atau takut menghadapi stigma.
“Melalui Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda, kami menyediakan wadah aman bagi jurnalis perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual,” ujarnya.
Disya juga mengingatkan pentingnya memperjuangkan hak-hak jurnalis perempuan di tempat kerja, seperti cuti haid yang sering tidak diambil karena kurangnya kesadaran atau dukungan.
Diskusi publik ini diakhiri dengan komitmen bersama untuk melawan kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap jurnalis perempuan. Peserta dan narasumber sepakat bahwa kolaborasi kolektif adalah langkah penting untuk menciptakan perubahan nyata.
“Jurnalis perempuan harus berani bersuara dan memperjuangkan hak-haknya, baik sebagai pekerja maupun individu,” pungkas Disya. (*)