Jawaban Kabag Hukum Pemkot Samarinda atas Anggapan Rumitnya Urusan Tanah
Penulis: Jeri Rahmadani
Rabu, 07 April 2021 | 1.344 views
Samarinda, Presisi.co – Pemkot Samarinda menindaklanjuti revisi Perwali 61/2019 tentang izin membuka tanah negara (IMTN), Rabu 7 April 2021 di Balai Kota.
Kepala Bagian Hukum Pemkot Samarinda Eko Suprayetno mengatakan, revisi perwali ini masih dalam pembahasan.
"Lebih ke redaksional," ungkapnya saat disambangi Presisi.co.
Dikatakan Eko, setelah finalisasi, revisi perwali yang sudah ditandatangani wali kota akan diundangkan. Kemudian dilaporkan ke DPRD Samarinda.
"Banyak sekali masukan camat yang harus diakomodasi Dinas Pertanahan. Kemudian dituangkan dalam draft Perwali tentang IMTN," terang Eko.
Sebelumnya, usulan revisi itu, sebut Eko, didorong oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) se-Samarinda yang melapor ke DPRD Samarinda. LPM menganggap aturan pertanahan terlalu rumit.
Laporan ini dilontarkan ke DPRD Samarinda pada November 2020. Hingga pada 9 September 2020, surat laporan itu diterima Eko. Kemudian bermuara pada revisi Perwali 61/2019 tentang IMTN hingga Rabu 7 April 2021.
"Salah satunya menyampaikan agar IMTN direvisi," ungkapnya.
Menegakkan Undang-Undang Pokok Agraria
Disebutkan Eko, salah satu yang dipermasalahkan tanah negara yang dikuasai masyarakat atau badan hukum perorangan tidak boleh dijualbelikan, tidak boleh dipindahtangankan, tidak boleh diagunkan.
Ketentuan umum seperti ini disebut Eko tertera pada Undang-Undang Pokok Agraria 5/1960. Namun, lanjutnya, jika dibenturkan dengan kenyataan pada praktik yang selama ini keliru dan dianggap itu benar, sebenarnya malah telah menyalahi aturan.
"Semisal, saya punya tanah. Suratnya penguasaan lahan. Saya mau jual. Saya ke lurah, ke camat dilayani. Kemudian saya ajukan ke bank diterima. Sebenarnya ini tidak boleh. Tapi karena dari dulu seperti itu biasa, hal ini semakin menjadi pembenaran," jelas Eko.
Eko menyebut, yang dipahami masyarakat dengan terbitnya perwali ini kian membuat susah. Ia tak berharap surat penguasaan hingga diwariskan. Namun lebih baik jika disertifikatkan.
"Surat penguasaan (PPAT) juga ada batasnya. Berdasarkan peraturan gubernur hanya tiga tahun maksimal. Untuk diwariskan pun jika berdiri di atas lahan negara seharusnya tak boleh. Mengacu Undang-Undang Pokok Agraria 5/1960," pungkasnya. (*)