Proyek Kereta Cepat Whoosh Diduga Rugikan Negara Rp75 Triliun, Pengamat Bongkar Konspirasi Jahat Dibaliknya
Penulis: Rafika
6 jam yang lalu | 0 views
Kereta cepat Whoosh. (kcic.co.id)
Presisi.co – Proyek Strategis Nasional (PSN) Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) tengah jadi sorotan publik. Proyek prestisius itu diterpa isu serius soal dugaan adanya “pemufakatan jahat” dalam proses pemilihan mitra proyek yang disebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp75 triliun.
Tudingan tersebut dilontarkan oleh pengamat ekonomi Antonio Budiawan dalam sebuah diskusi yang ditayangkan di kanal YouTube milik mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto.
Antonio menilai, kerugian negara dalam proyek KCJB bukan sekadar potensi, melainkan sudah menjadi kerugian nyata dan pasti.
“Jadi, di sini kita lihat secara transparan bahwa ini sudah menjadi kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti,” ujar Antonio, dikutip Kamis, 30 Oktober 2025.
Antonio membeberkan analisisnya dengan membandingkan dua proposal utama yang diajukan oleh Jepang dan Cina. Ia menilai keputusan pemerintah untuk memilih penawaran dari Cina justru menimbulkan tanda tanya besar, karena nilainya jauh lebih mahal dibandingkan dengan proposal Jepang.
“Maksudnya nyata dan pasti, karena begini, kita komparasi kan ini ada dua proyek kan, yang menawarkan kereta cepat, Jakarta-Bandung, Jepang dan Cina,” jelasnya.
Menurut Antonio, Jepang sejak awal mengajukan proposal dengan biaya proyek sebesar 6,2 miliar dolar AS. Sementara itu, Cina menawarkan angka yang lebih rendah di awal, yakni 5,5 miliar dolar AS, namun kemudian biayanya melonjak menjadi 6,07 miliar dolar AS.
“Kalau kita lihat proyek Jepang itu, nilai biaya proyeknya aja 6,2 miliar US dolar,” ujarnya. “Cina menawarkan awalnya 5,5 miliar US dolar, yang kemudian berkembang. Tidak tahu bagaimana naik menjadi 6,07 miliar US dolar.”
Kenaikan mendadak sebesar 570 juta dolar AS dalam proposal Cina itu menjadi salah satu hal yang disorot tajam oleh Antonio. “Itu ada 570 juta US dolar yang tiba-tiba bisa naik,” tegasnya.
Lebih jauh, Antonio menghitung total beban biaya yang harus ditanggung negara selama masa konsesi proyek, termasuk masa tenggang (grace period) 10 tahun dan masa cicilan pokok selama 40 tahun. Dari kalkulasi itu, ditemukan selisih yang sangat besar jika dibandingkan dengan tawaran Jepang.
“Kalau kita total semuanya, itu proyek Cina itu total selama masa konsensi proyek, artinya grace period 10 tahun ditambah cicilan pokok 40 tahun. Totalnya adalah kemahalan 4,5 miliar US dolar atau sekitar Rp75 triliun,” ungkap Antonio.
Angka tersebut menjadi dasar tudingannya soal kerugian negara yang nyata. Ia pun mempertanyakan alasan pemerintah tetap memilih tawaran yang lebih mahal. “Artinya apa? Kalau kita bilang kenapa kemahalan ini tetap dipilih?” tanya Antonio retoris.
“Nah, ini yang saya katakan bahwa di sini ada satu pemufakatan jahat, di mana yang lebih mahal tetap dipilih dan ini merugikan keuangan negara, yaitu totalnya Rp75 triliun,” tegasnya.
Tak hanya itu, Antonio juga menduga ada praktik penggelembungan harga (mark up) dalam proyek tersebut dan mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan.
“Jadi, ada dugaan mark up di sini, sekitar paling sedikit 2 miliar US dolar,” pungkasnya. (*)