Transparansi Setengah Hati, Kementerian ESDM Dianggap Abaikan Keterbukaan Informasi Publik
Penulis: Akmal Fadhil
23 jam yang lalu | 194 views
Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo saat memberikan pandangannya. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghadapi sorotan tajam setelah menggugat balik dua warga Kutai Timur yang sebelumnya memenangkan sengketa informasi publik terkait dokumen pertambangan milik PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Langkah ESDM ini dinilai sebagai kemunduran dalam praktik keterbukaan informasi dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi.
Sengketa bermula dari permintaan informasi publik yang diajukan oleh dua aktivis lingkungan, Erwin Febrian Syuhada dan Junaidi Arifin, sejak 2022. Mereka meminta akses atas dokumen AMDAL, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), dan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) milik KPC.
Setelah melalui proses panjang, Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan bahwa ketiga dokumen tersebut bersifat terbuka dan wajib diberikan kepada publik.
Alih-alih mematuhi putusan tersebut, ESDM justru menggugat keputusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Aksi ini memicu kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil, terutama dalam momentum peringatan Right to Know Day 2025 atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia.
Koordinator POKJA 30, Buyung Marajo, menyebut gugatan balik ini sebagai bentuk perlawanan negara terhadap hak rakyat atas informasi dan lingkungan yang sehat.
“Selama 17 tahun UU KIP berlaku, sektor tambang tetap jadi wilayah gelap. Pemerintah justru lebih sering bersembunyi di balik alasan pengecualian. Padahal, dokumen seperti AMDAL dan RKAB menyangkut keselamatan rakyat dan lingkungan,” tegas Buyung saat konferensi pers di Caffe Bagios Samarinda, Sabtu 28 September 2025.
Menurutnya, gugatan ESDM ke PTUN tidak hanya melawan dua warga Kutim, tapi juga mencederai amanat konstitusi dan semangat reformasi.
“Ini bukan hanya serangan terhadap warga, tapi juga terhadap prinsip negara hukum. Pemerintah semestinya menjadi garda depan keterbukaan, bukan malah menghambatnya,” tambah Buyung.
Erwin Febrian Syuhada, salah satu pemohon informasi, menilai bahwa yang mereka perjuangkan bukan sekadar akses dokumen teknis, tapi hak hidup masyarakat yang terdampak tambang.
“AMDAL, RKAB, dan PPM bukan data rahasia negara. Itu menyangkut masa depan lingkungan dan warga Kutai Timur. Menutup dokumen ini sama saja menutup mata terhadap hak dasar rakyat,” ujarnya.
Rekan Erwin, Junaidi Arifin, menyebut langkah ESDM sebagai ujian nyata implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Kalau negara sendiri takut membuka informasi lingkungan, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa tambang dijalankan secara bertanggung jawab?” ucapnya.
Skor Transparansi Tambang Masih Rendah
Data global memperkuat kritik masyarakat sipil. Berdasarkan Resource Governance Index (RGI) 2017, Indonesia hanya memperoleh skor 65 dari 100 dalam aspek keterbukaan.
Penilaian terbaru Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2024 menempatkan Indonesia di angka 67 — masih tergolong rendah.
Empat Tuntutan untuk Pemerintah
Dalam forum diskusi publik, Koalisi POKJA 30 dan Fraksi Rakyat Kutim (FRK) menyampaikan empat tuntutan utama: 1. ESDM segera menjalankan putusan Komisi Informasi Pusat tanpa upaya hukum tambahan. 2. Penetapan dokumen tambang seperti AMDAL, RKAB, dan PPM sebagai dokumen publik. 3. Penguatan mekanisme keterbukaan informasi oleh pemerintah pusat dan daerah. 4. Masyarakat sipil, media, akademisi, dan komunitas lokal mengawal kasus ini sebagai preseden nasional.
Right to Know Day 2025 menjadi panggung evaluasi nyata terhadap praktik keterbukaan di Indonesia.
Buyung Marajo mengingatkan, tanpa akses informasi yang jujur dan adil, demokrasi hanya akan menjadi formalitas.
“Transparansi bukan sekadar jargon reformasi. Ia adalah fondasi untuk memastikan bahwa pembangunan terutama di sektor tambang tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tapi juga melindungi hak rakyat dan lingkungan,” pungkas Buyung.