search

Opini

Kebijakan GeopolitikOpiniMercu BuanaKomunikasi PolitikAnalis Kebijakan Publikrivalitas Amerika Serikat - Tiongkok

Kebijakan Geopolitik Melemah: NKRI Terancam

Penulis: Opini
6 jam yang lalu | 0 views
Kebijakan Geopolitik Melemah: NKRI Terancam
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS, Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.

Presisi.co - Dalam beberapa tahun terakhir ini, rivalitas Amerika Serikat - Tiongkok memasuki fase baru yang sangat kompetitif. Dalam situasi politik internasional, kedua negara itu telah mencoba menekan negara-negara menengah, termasuk Indonesia. Instrumen pengaruh yang dipakai  mencakup ekonomi, teknologi, keamanan, hingga operasi pengaruh. Artikel ini mencoba menata ulang konsep aneksasi dan infiltrasi, memetakan instrumen pengaruh kedua kekuatan terhadap Indonesia, mengulas kerentanan internal, lalu menawarkan opsi kebijakan agar kemandirian strategis (strategic autonomy) Indonesia tetap terjaga.

Dalam satu dekade terakhir, kompetisi strategis Amerika Serikat-Tiongkok makin menajam: perang tarif dan teknologi, perlombaan standar teknologi (5G, AI, chip), reposisi rantai pasok, dan intensifikasi kerja sama pertahanan di Asia-Pasifik. Bagi Indonesia - aktor kunci ASEAN dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara - situasi ini membuka peluang investasi/teknologi sekaligus menimbulkan risiko ketergantungan, tekanan politik, dan vulnerabilitas keamanan.

Literatur hubungan internasional menjelaskan dinamika ini dengan cukup gambling, dimana realisme ofensif melihat perebutan pengaruh sebagai konsekuensi logis struktur sistem internasional (Mearsheimer, 2001), sementara jebakan Thucydides mengingatkan bahwa transisi kekuatan besar membawa risiko eskalasi (Allison, 2017). Tantangannya bagi Indonesia adalah mengekstraksi manfaat dari kedua belah pihak seraya menjaga kedaulatan, otonomi, dan persatuan nasional.

Masalah Geopolitik

Kita dapat membaca secara kasat mata tentang kelemahan geopolitik Indonesia saat ini yang dapat mengancam eksistensi NKRI melalui mekanisme utama yakni disintegrasi internal, intervensi eksternal, dan kolaps ekonomi-politik, berikut dijelaskan satu persatu. Pertama, spiral disintegrasi internal dari ketimpangan hingga separatism. Ketimpangan sosial - ekonomi antarpulau, misalnya Jawa yang menyumbang PDB 57% vs Papua <5%. Hal ini menciptakan ketidakadilan struktural yang memicu gerakan separatis tanpa henti. Di Papua, konflik berkepanjangan dengan insiden kekerasan terjadi sepanjang tahun (Kemko Polhukam 2023). Kondisi ini telah semakin menggerus kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Jika ketimpangan ini terus dibiarkan, provinsi-provinsi di KTI seperti Maluku, NTT, Papua bisa mengalami efek domino kearah disintegrasi dalam bentuk tuntutan merdeka, jika situasi ini didukung oleh isu "penjajahan Jawa" atau eksploitasi sumber daya oleh pusat, seperti contoh Timor Leste memisahkan diri akibat kombinasi ketimpangan dan tekanan internasional. Jika Papua atau daerah kaya sumber daya lain seperti Aceh mengalami eskalasi serupa, utas NKRI bisa terurai.

Kedua, soal intervensi eksternal yang memanfaatkan kelemahan domestic. Ancaman di Laut China Selatan (LCS), konflik Papua, dan beberapa daerah lain yang muali bergolak saat ini bisa menjadi argumentasi bagi kekuatan asing mengganggu kedaulatan NKRI. Tiongkok, melalui klaim "garis sembilan titik" di Natuna sering melakukan provokasi sistematis masuk ZEE Indonesia. Jika Indonesia gagal mempertahankan wilayah, negara lain bisa ikut mengklaim atau mendukung gerakan separatis sebagai "balasan". Di Papua – sebagaimana mulai bangkit di Aceh - organisasi separatis seperti ULMPC mendapat dukungan logistik dan diplomatik dari pihak asing, misalnya kelompok advokasi di Pasifik dan Eropa. Jika konflik ini meluas, intervensi internasional seperti sanksi atau bahkan referendum ala Timor Leste bukan mustahil terjadi, karena misalnya Indonesia dianggap gagal melindungi HAM di Papua.

Ketiga, kolaps ekonomi-politik akibat ketergantungan geopolitik Indonesia pada jalur pelayaran LCS, 40% perdagangan global dan 80% impor minyak Tiongkok melewatinya (World Bank, 2022) membuat perekonomian rentan terhadap blokade atau konflik. Jika LCS ditutup akibat perang AS-Tiongkok, Indonesia bisa kehilangan PDB 30% dalam hitungan bulan. Ditambah ketergantungan energi seperti impor minyak 30% (ESDM 2023), gejolak harga minyak global bisa memicu krisis ekonomi parah. Krisis ini berpotensi memicu kerusuhan sosial, jatuhnya legitimasi pemerintah, dan gerakan pemisahan diri yang didukung oleh kelompok radikal. Situasi yang dimaksud ini Nampak mulai muncul dan viral di media social. Jangan lupa yang pernah dialami oleh Uni Soviet pada 1991 bubar setelah krisis ekonomi yang memicu gelombang separatisme di negara-negara bagian.

Peta Pengaruh Tiongkok-AS

Coba kita lihat peta instrumen pengaruh Tiongkok di Indonesia. Pertama, di bidang ekonomi & infrastruktur. Investasi dan proyek Belt and Road Initiative (BRI). Contoh yang menonjol  adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC/“Whoosh”) dan ekosistem nikel-baterai EV (kawasan industri Morowali, Weda Bay) yang memperdalam integrasi Indonesia dalam rantai pasok global. Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/BKPM; tren 2019-2023, FDI Tiongkok konsisten berada di jajaran teratas sumber investasi asing ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, namun politik infiltrasi Tiongkok juga harus diwaspadai.  

Kemudian di bidang teknologi & standar, penetrasi pemasok Tiongkok pada infrastruktur digital seperti fiber, perangkat 4G/5G, kamera/surveillance, cloud, dan produk-produk lainnya berimplikasi pada ketahanan siber, proteksi data, dan ketergantungan standar. Begitu pula di bidang keamanan maritim regional. Tentang proyeksi kekuatan maritim dan klaim historis di Laut Cina Selatan yang selama ini menjadi pusat perhatian dunia telah menimbulkan friksi dengan ASEAN. Bagi Indonesia, area ZEE di sekitar Natuna perlu dimitigasi melalui maritime domain awareness dan diplomasi yang konsisten. Lalu apa implikasi semua itu, kita dapat memprediksi secara mudah bahwa peluang pembiayaan dan industrialisasi cepat jelas mengandung risiko ketergantungan finansial / teknologi, tekanan standar, dan vulnerabilitas informasi Indonesia kepada Tiongkok.

Bagaimana dengan peta pengaruh AS di Indonesia. Pertama, di bidang keamanan dan pertahanan, adanya peningkatan latihan gabungan, misalnya Garuda Shield / Super Garuda Shield dan kerja sama modernisasi alutsista, misalnya rencana pembelian F‑15ID yang pernah dinotifikasi ke Kongres AS. Kegianata ini diarahkan pada interoperabilitas, kesadaran situasional maritim, dan profesionalisasi. Di bidang ekonomi, teknologi, & rantai pasok, adanya upaya diversifikasi rantai pasok dan penguatan “de‑risking” ketergantungan terhadap Tiongkok, termasuk penjajakan kemitraan mineral kritis (nikel/EV) dan forum Indo‑Pacific Economic Framework (IPEF). Tidak sampai di situ saja, AS membangun hubungan kerja sama bidang ekonomi digital, keamanan siber, dan standar tata kelola data, dan terakhir masalah penetapan pajak 19% bagi Indonesia, namun sebaliknya, AS bebas pajak masuk di Indonesia. Adapun implikasi yang sangat mungkin terjadi dari semua ini adalah memberikan penguatan terhadap kapasitas pertahanan dan akses pasar / teknologi yang berakibat pada adanya potensi tekanan kebijakan, misalnya tentang peraturan lingkungan / tenaga kerja, kontrol ekspor teknologi, risiko politisasi isu HAM / demokrasi dalam hubungan bilateral AS – Indonesia ini, dan gerakan infiltrasi AS terhadap Indonesia.

Kerentanan Internal

Risiko eksternal berlipat ketika bertemu kelemahan domestic, seperti oligarki ekonomi-politik, pembiayaan politik yang mahal, disinformasi, dan tata kelola pemerintahan dan politik yang tidak konsisten. Studi tentang politik Indonesia pasca‑otoritarian menegaskan berkelindannya jaringan bisnis dan kekuasaan (Robison & Hadiz, 2004; Hadiz, 2010; Mietzner, 2015). Dalam konteks rivalitas AS-Tiongkok, kelemahan ini membuka celah infiltrasi kebijakan melalui lobi, tender, regulasi sektoral, kampanye informasi, dan lain-lain.

Hal berikut adalah soal hedging, yakni strategi mencari asuransi - meminimalkan risiko dengan tidak mengikatkan diri pada satu kubu, sembari mengambil manfaat dari semua pihak (Kuik, 2008). Dalam praktik, Indonesia memadukannya dalam bentuk pragmatic equidistance - menjaga jarak seimbang yang fleksibel terhadap kedua kekuatan (Laksmana, 2020).

Adapun fakta kunci yang dapat disampaikan secara ringkas di sini adalah terkait dengan Tiongkok, kerjasama BRI plus manufaktur hilir nikel - EV telah menjadikan Indonesia sebagai simpul penting rantai pasok Asia. Sementara dalam kaitan dengan Amerika Serikat, terkait kerja sama pertahanan meningkat dan penjajakan kemitraan mineral kritis serta forum ekonomi IPEF. Terkait Tren FDI 2019–2023, AS dan Tiongkok konsisten di jajaran utama sumber investasi ke Indonesia (BKPM). Sementara area rawan dalam konteks itu adalah timbul sikap dan prilaku politik ketergantungan teknologi, governance proyek besar, ketahanan informasi, dan pembiayaan politik.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk dapat meminimalisir kemungkinan resiko buruk yang bisa timbul dari hubungan bilateral antara Indonesia dengan kedua negara tersebut, sy merekomendasikan beberapa kebijakan  sebagai langkah actionable yang bisa dilakukan oleh pihak pemerintah Indonesia. Pertama, Indonesia harus mampu menciptakan kesimbangan social-ekonomi dari ketimpangan, agar konflik yang berbau separatis dapat diatasi. Pemerintah harus menjaga otonomi strategis (strategic autonomy) dengan menetapkan “rambu merah” (red lines) nasional terkait data strategis, infrastruktur kritis, dan kontrol teknologi tertentu untuk tidak dinegosiasikan. Pemerintah Indonesia harus mampu menerapkan security review lintas‑kementerian untuk investasi pada sektor kritikal seperti bidang energi, telekom, pelabuhan, keuangan digital. Indonesia harus memperkuat ketahanan ekonomi – teknologi, perkuat diversifikasi pemasok teknologi inti seperti RAN, cloud, satelit, serta mendorong open standards dan vendor‑agnostic architecture. Selain itu, dalam setiap kontrak proyek besar wajib dilakukan secara transparan, auditabel, dan memuat transfer teknologi dengan milestone yang terukur.

Kedua, di bidang maritime domain awareness & postur pertahanan, pemerinatah Indonesia harus melakukan integrasi satelit, radar coastal, AIS, UAV untuk Natuna dan choke points. Untuk hal ini, perlu dilakukan latihan gabungan multinasional yang berorientasi non‑provokatif namun credible. Di bidang ketahanan informasi & etika AI, pemerintah perlu membangun Pusat Resiliensi Informasi lintas K/L untuk menghadapi disinformasi/operasi pengaruh perkembangan digitallisasi yang demikain cepat. Pemerintah harus membuat standar due diligence konten di platform digital pemilu dan kebijakan public lainnya. Untuk bidang reformasi pembiayaan politik & anti‑korupsi perlu segera diperhatikan transparansi dana politik baik dalam pemilu, pilkada dan event politik lainnya, mengupayakan pembatasan konflik kepentingan dalam B2G (business‑to‑government), dan melakukan penguatan whistleblower protection.

Kesimpulan

Terdapat ancaman nyata bagi NKRI, yakni akibat kombinasi tekanan internal yakni ketimpangan social-ekonomi yang menganga, dan eksternal seperti intervensi di LCS, dan ketergantungan ekonomi menciptakan "lingkaran setan" yang mengikis stabilitas NKRI. Jika pemerintah gagal memitigasi ketimpangan itu seperti pertahanan di perbatasan, dan mengurangi ketergantungan geopolitik, skenario disintegrasi - meski ekstrem - menjadi mungkin. Data historis (Timor Leste, Uni Soviet) menunjukkan bahwa negara besar pun bisa bubar jika tekanan internal-eksternal ini tidak dikelola dengan cerdas. NKRI hanya akan bertahan jika kebijakan integrasi nasional seperti pembangunan merata, penyelesaian konflik dan kedaulatan eksternal seperti pertahanan perbatasan, diversifikasi ekonomi diutamakan.

Dalam hubungan Indonesia dengan AS dan Tiongkok, risiko paling realistis terhadap keutuhan NKRI saat ini tidak terletak pada politik aneksasi terbuka, melainkan politik infiltrasi pengaruh politik AS – Tiongkok terhadap Indonesia melalui jalur ekonomi, teknologi, informasi, dan politik. Indonesia harus memiliki sikap tegas untuk merespons secara efektif, menuntut keseimbangan hubungan dan manfaat dengan manfaatkan peluang dari AS maupun Tiongkok, tapi dengan rambu merah, tata kelola yang kokoh, dan ketahanan nasional yang terukur. Strategi hedging Indonesia masih tetap relevan, asalkan diimbangi peningkatan kapasitas domestik dan konsistensi diplomasi melalui komunikasi politik internasional yang efektif. (*)

Penulis:

Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. 

Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.


Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co