Usulan Gubernur Kaltim untuk Skema Pembagian Dana Bagi Hasil Sawit Tahun 2023
Penulis: Redaksi Presisi
Jumat, 29 Juli 2022 | 1.097 views
Samarinda, Presisi.co - Gubernur Kaltim Isran Noor menjadi salah satu penggagas munculnya dana bagi hasil sawit ini. Pasalnya, potensi sawit untuk penerimaan negara cukup besar. Namun, tidak dinikmati Kaltim sebagai daerah penghasil. Sehingga bersama 20 provinsi lainnya di Indonesia, Isran Noor memperjuangkan agar kucuran dana ini bisa dinikmati daerah. Gayung bersambut, perjuangan yang dimulai sejak beberapa tahun lalu itu membuahkan hasil.
Peluang mendapatkan dana bagi hasil dari sawit muncul dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Regulasi itu disahkan pemerintah dan DPR RI pada Desember 2021. Berdasarkan Pasal 111 UU HKPD, hanya ada dua jenis dana bagi hasil. Yaitu dana bagi hasil pajak. Meliputi pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan cukai hasil tembakau. Kemudian, dana bagi hasil sumber daya alam.
Terdiri dari kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, dan perikanan. Pada Pasal 123 UU HKPD, menerangkan bahwa pemerintah dapat menetapkan jenis dana bagi hasil lainnya. Bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi daerah penghasilnya. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) setelah berkonsultasi dengan DPR RI. Sehingga ada payung hukum yang mendasari adanya dana bagi hasil sawit ini.
Pembahasan mengenai skema pembagian dana bagi hasil sawit terus dilakukan oleh daerah penghasil. Termasuk gubernur Kaltim yang menginisiasi pertemuan dengan gubernur penghasil sawit lainnya. Pertemuan terakhir dilakukan di Bali, beberapa waktu lalu. Kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Keputusan dari pertemuan itu adalah seluruh provinsi penghasil sawit menyurati pemerintah pusat untuk mengakomodasi usulan dana bagi hasil sawit. Hingga akhirnya disetujui bahwa dana bagi hasil itu akan dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur dan perbaikan lingkungan akibat dampak dari pengelolaan sawit.
Gubernur Kaltim mengusulkan skema pembagian sebesar 90 persen untuk daerah penghasil dan 10 persen untuk pemerintah pusat. Besaran 90 persen itu terdiri dari 45 persen untuk kabupaten/kota penghasil sawit, 35 persen untuk provinsi, dan 10 persen untuk pemerataan kepada kabupaten/kota lain.
“Mudah-mudahan bisa diakomodir. Atau setidaknya bisa mendekati usulan kami,” ungkap Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim Ismiati, usai rapat koordinasi pembahasan penambahan komponen skema dana bagi hasil sumber daya alam di Hotel Platinum, Balikpapan, Kamis (28/7).
Rapat koordinasi kemarin diikuti perwakilan daerah penghasil sawit. Baik secara daring maupun luring. Meliputi Provinsi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat, dan Papua. Termasuk 10 kabupaten/kota di Kaltim. Dalam pertemuan itu, DJPK Kemenkeu menyampaikan bahwa dana bagi hasil sudah diakomodasi dalam APBN 2023.
“Dan saat ini dalam proses penyusunan peraturan teknisnya. Yang merupakan turunan dari UU HKPD,” tuturnya. Untuk diketahui, ada delapan peraturan pemerintah (PP) yang disiapkan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan UU HKPD. Salah satunya PP tentang Dana Bagi Hasil Sawit. Sementara itu, mengenai usulan pembagian dana bagi hasil sawit dari Kaltim, mengacu pada beberapa komponen. Mulai PBB perkebunan, PPh badan, PPN, PPh Pasal 22, PPh Pasal 21, PNBP bibit, pungutan ekspor, hingga bea keluar. Dan saat ini, belum diputuskan skema pembagian dana bagi hasil sawit tersebut.
“Kami yakin dan percaya bahwa pemerintah pusat akan arif dan bijaksana untuk memberikan kebijakan terkait dengan skema dana bagi hasil sawit ini,” harap perempuan berkacamata ini.
Dalam pertemuan tersebut, sambung dia, banyak usulan yang disampaikan perwakilan daerah penghasil sawit. Salah satunya terkait fleksibilitas pembagian dana bagi hasil agar tidak menjadi sisa lebih penggunaan tidak menjadi silpa atau sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan. Sehingga dapat dimanfaatkan dengan optimal. Selain itu, ada usulan lainnya mengenai rekonsiliasi data mengenai indikator dana bagi hasil sawit.
Semua usulan yang disampaikan langsung kepada DJPK Kemenkeu itu, akan melengkapi usulan yang sebelumnya disampaikan para kepala daerah penghasil sawit.
“Baik formulasinya, skema pembagian, dan usulan lainnya. Kami harapkan di tahun 2023, bisa diwujudkan. Dan hasilnya berpihak pada daerah,” tutur Ismiati.
Mantan kepala Biro Pemerintahan Umum Setprov Kaltim ini menambahkan, secara teknis pertemuan dengan perwakilan daerah penghasil sawit di Balikpapan kemarin, sebagai upaya untuk mempersiapkan diri. Sekiranya skema pembagian dana bagi hasil sawit sudah diimplementasikan, maka langkah apa yang perlu dipersiapkan pemerintah daerah.
“Untuk mengoptimalkan sumber penerimaan dari dana bagi hasil sawit ini. Karena potensi dana bagi hasil Kaltim selain dari sawit ini, sekitar Rp 3 triliun lebih,” terang dia.
Di forum yang sama, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad mengungkapkan, luas perkebunan sawit di Kaltim 1,3 juta hektare. Dengan TBS atau tandan buah segar kelapa sawit yang diolah pada 2021 sebanyak 17,8 juta ton. Selain itu, produksi crude palm oil (CPO) pada tahun lalu sebanyak 3,7 juta ton. Sehingga dia berharap data tersebut menjadi pertimbangan. Untuk memutuskan besaran dana bagi hasil sawit untuk Kaltim.
“Untuk angkanya berapa, kami minta sebesar-besarnya,” jawabnya.
Dalam pertemuan tersebut, DJPK Kemenkeu juga masih belum bisa menyampaikan nominal dana bagi hasil sawit untuk Kaltim. Sebab, saat ini masih dalam pembahasan mengenai skema pembagian dan formulasi besaran dana bagi hasil yang akan diterima masing-masing provinsi penghasil sawit. Apalagi dana bagi hasil sawit ini merupakan dana transfer ke daerah atau TKD baru.
“Jadi belum ada data perbandingan tahun sebelumnya. Karena dana bagi hasil sawit ini baru. DJPK pun belum bisa menjawabnya. Karena nominalnya nanti tergantung dari persentase yang diputuskan pemerintah pusat,” pungkasnya. (Zk/adv/diskominfokaltim)