Awalnya Door to Door, Bisnis Hidroponik Alumnus Politani Samarinda Ini Makin Gacor
Penulis: Jeri Rahmadani
Selasa, 11 Mei 2021 | 2.068 views
Samarinda, Presisi.co – Bercocok tanam secara hidroponik menjadi pilihan beberapa warga Kota Tepian. Ini untuk mengisi waktu luang dan menambah uang semenjak pandemi menerjang.
Itu pula yang dilakukan Niko Agus Bintoro, salah satu pendiri Graha Indah Farm (GIF). Awalnya, ia secara mandiri mengenalkan tanaman hidroponik di Samarinda dengan cara door to door layaknya menjual panci keliling.
"Karena orang belum tahu tanaman hasil hidroponik. Sekarang orang sudah tahu. Restoran mulai berlangganan. Termasuk penjual kebab (shawarma)," sebutnya saat disambangi Presisi.co di kediamannya belum lama ini.
Atas permintaan pasar yang kian meningkat, Niko membuka instalasi hidroponik baru lagi. Perluasan lahan dilakukan dengan menyusun tim baru bernama Sinergi Hidroponik sejak 2019.
Graha Indah Farm miliknya itu melayani konsultasi hidroponik, penjualan sayuran, penjualan perlengkapan hidroponik, sampai pelatihan hidroponik. Sehingga tak mungkin, semua dirangkul. Makanya ia membuat tim khusus mengurus produksi sayuran yang mereka kembangkan secara bersama agar lebih fokus. Check point hasil produksi tetap dilakukan di rumahnya. "Ketika panen, dikirim ke sini, kemudian didistribusikan," papar Niko
Tim Sinergi Hidroponik digerakkan tujuh orang termasuk Niko. Kebunnya di Perumahan Bengkuring, Palaran, Rapak Dalam, dan di Loa Duri. "Paling besar di Loa Duri. Dengan green house full. Ada sekitar 8.500 lubang. Dengan luas lahan sekira 5 kavling," urai Niko.
Masing-masing lahan memiliki luas berbeda-beda. Lahan di Palaran dibangun di atas rawa. Sehingga kondisinya lebih ekstrem. Ketika hujan, air menggenang bisa sampai sepekan di pekarangan instalasi hidroponik itu. Tentu berpotensi menyulut munculnya hama.
"Untuk meminimalisasi, dibersihkan minimal dua kali panen," jelas Niko mengutamakan kebersihan proses produksinya.
Bersama timnya, kini ia mampu menjual 2 ton per bulan selada dan 900 kilogram per bulan sawi. Selain menanam sawi dan selada, ada juga selada hijau, kailan, kangkung, romain, dan kale. Kemudian ada daun mint, sawi caisim, basil, dan selada merah yang dijualnya.
Sawi sendok dibanderol Rp 25 ribu per kilogram. Segmen penjualan sawi adalah pasar tradisional. "Konsumsi sawi untuk restoran kurang banyak. Sebulan hanya 200 kilogram," imbuhnya.
Penjualan sawi sendok hidroponik tadi dikatakan Niko mencapai 900 kilogram per bulan. Ini hanya di Samarinda. Penjualan paling besar di Palaran sebagai pasar induk sawi sendok di Samarinda.
Nilai Tambah untuk Pelanggan
Sayur yang paling banyak ditanam Niko dan kawan-kawan adalah selada. Per kilogram dibanderol Rp 40 ribu. Langka atau banjir, harga tetap sama. "Dengan kualitas yang selalu kami jaga," kata Niko kepada Presisi.
Dalam proses jual-beli, Niko memberikan garansi. Semisal ada pasokan yang dikirim terkena hama, ia mengganti 100 persen. Sebagai contoh, kerusakan 1,5 kilogram yang diterima pelanggan, Niko malah biasa mengganti 2 kilogram.
"Kami lebihkan. Tak mungkin dikurangi. Sama-sama usaha. Kami menjalin hubungan jangka panjang," ungkap Niko.
Pembelian pun bisa dengan cara invoice (barang duluan, bayar kemudian). Sistem invoice itu bisa untuk seminggu, sebulan, atau dua minggu sekali.
Niko juga melayani penjualan dari luar daerah. Paling jauh pernah sampai Long Mesangat, Kutai Timur. "Termasuk Bontang, Wahau, bahkan Berau," urainya.
Butuh Banyak Tangan
Bertani hidroponik dengan produksi besar tidak akan mampu dilakukan sendiri. Niko menyarankan pengelola hidroponik pemula membuat tim. Niko bersedia membantu jika ada masalah. Sebab ia kerap mendapat permintaan seseorang bergabung di timnya.
Timnya sudah punya jadwal mengirim, menanam, menyemai, memanen, dan memindah tanah. Ini supaya semua berjalan berkelanjutan. "Karena kalau terkendala di satu siklus, akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan pasar," terang Niko.
Ia menyebut, pengelola hidroponik di Samarinda sebenarnya banyak. Apalagi di masa pandemi. Ia mengingatkan supaya tidak hanya fokus pada selada yang sedang tren. Ada tanaman lain seperti sawi dan kangkung yang masa panennya lebih pendek, yang juga menjadi incaran pasar. "Sedangkan selada memakan waktu dua kali lipat," sebutnya.
Mendulang Ilmu Gratisan
Niko mulai mendirikan instalasi hidroponik sejak 2013. Itu setelah dirinya rampung kuliah. Meski sempat vakum, ia mengaku tetap menanam di pekarangan rumah pada waktu tertentu.
"Menanam hidroponik itu asyik. Saya suka menanam dan makan sayur. Apalagi sejak kecil sudah suka menanam," terangnya.
Perantau dari Tanah Jawa itu masuk ke Samarinda sejak 2009 silam. Ia menuntut ilmu di Politani Samarinda. Mengambil jurusan manajemen lingkungan yang menurutnya tidak ada sangkut pautnya dengan tanam menanam. "Kuliah saya itu fokusnya ke pengelolaan lingkungan dan limbah," tuturnya.
Niko belajar otodidak menanam hidroponik melalui YouTube. Mulanya berhidroponik di Samarinda cukup sulit. Sebab, untuk mendapatkan nutrisi yang berfungsi menunjang tanaman hidroponik saja susahnya minta ampun.
"Mau beli online, kemahalan biaya kirim. Jadi, nekat saja. Kami pakai pupuk organik. Namun usia remaja pertumbuhannya berhenti," pungkasnya. (*)