search

Politik

Pilkada KutimMahyunadi

Isu Ijazah Palsu Mahyunadi Dianggap Pengamat Tak Pantas

Penulis: Cika
Rabu, 23 September 2020 | 816 views
Isu Ijazah Palsu Mahyunadi Dianggap Pengamat Tak Pantas
Lutfi Wahyudi, Pengamat Politik Universitas Mulawarman

Presisi.co - Setelah berhasil mengumpulkan dukungan dari enam partai politik (parpol) dengan 23 kursi parlemen, pasangan calon Mahyunadi-Kinsu, akhirnya mendaftarkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati Kutai Timur (Kutim). Namun belakangan, Mahyunadi diisukan menggunakan ijazah palsu saat mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kutim. 

Beredarnya isu penggunaan ijazah palsu tersebut, turut ditanggapi oleh Pengamat Politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi. 

Lutfi menilai, isu tersebut tak sepantasnya muncul saat moment Pilkada. Bahkan hal tersebut dia duga adalah bagian dari 'black campaign' bila tidak terbukti kebenarannya. 

“Hal yang tidak wajar dan tidak selayaknya dilakukan. Saya menilai tidak wajar, dari sisi etika dan moralitas. Tetapi sesuatu yang lumrah dilakukan, walaupun belum tentu benar,” ucap Lutfi kepada awak media ini, beberapa waktu lalu.

Dia mengingatkan, bahwa isu seperti itu, dalam urusan politik, merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh oknum-oknum tertentu di masa pilkada. Hal yang demikian biasa dimunculkan, meski tidak wajar dan belum tentu benar adanya sebagai bagian dari strategi politik. 

Seperti isu ijazah palsu Mahyunadi, menurut Lufti, bisa dikatakan sebagai bagian dari 'black campaign' bila itu tidak benar adanya. Tetapi jika itu bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kelemahan lawan, maka itu termasuk dalam 'negatif campaign' atau mencari-cari kelemahan lawan.

“Dikatakan 'black campaign', mana kala itu fitnah (tidak sesuai kenyataan). Sesuatu yang tidak ada, kemudian diada-adakan. Dan 'black campaign' itu cenderung fitnah. Sesuatu itu tidak benar adanya, tetapi diada-adakan,” ulasnya.

Adapun riwayat karirnya, Mahyunadi bukan orang baru di kancah politik Kutim maupun Kaltim. Sejak 2004, dia telah terjun ke dunia politik dengan terpilih menjadi anggota DPRD Kutim, dan berlanjut pada 2008 dan 2014. Dia terpilih secara berturut-turut dalam tiga kali pemilihan legislatif, bahkan sempat menjabat sebagai ketua DPRD Kutim. 

Terbaru, Mahyunadi terpilih sebagai anggota DPRD Kaltim pada pemilihan legislatif 2019. Dalam rentan waktu itu, nyaris tidak ada satu kali pun Mahyunadi bermasalah dengan ijazah.

Lutfi sendiri tidak ingin mengomentari lebih jauh soal keabsahan ijazah yang digunakan Mahyunadi. Menurutnya, itu menjadi ranah dinas pendidikan atau kepolisian. Namun yang pasti, apabila ijazah yang digunakan Mahyunadi adalah asli, maka isu yang dihembuskan saat ini diduga adalah bagian dari 'black campaign'.

“Dalam persaingan politik, politik cenderung menganut politik Harold Lasswell, 'who gets what, when and how'. Siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana. Bagaimananya itu, kemudian ditafsir oleh sebagian orang bisa menggunakan segala cara, salah satunya 'black campaign',” ulas akademisi senior di Unmul itu.

“Dalam proses pertarungan, seluruh sumber daya akan dikerahkan. Nah, ketika sumber daya yang positif sudah mulai habis, maka kemungkinan memunculkan yang negatif, bahkan sumber daya yang nol atau tidak ada (itu bisa dilakukan). Dan ini biasa dilakukan, namun tidak wajar,” tambahnya.

Namun demikian, Lutfi meyakini, bahwa isu-isu 'black campaign' atau 'negatif campaign' di masa-masa pilkada sudah menjadi konsumsi biasa. Masyarakat saat ini menurutnya sudah jauh lebih melek politik dan banyak memahami isu-isu 'black campaign'.

“Sebagian masyarakat sudah terbiasa dengan isu-isu seperti itu dan mulai memahami, kalau cara yang demikian biasa dilakukan menjelang kompetisi politik,” sebutnya.

Terakhir, Lufti mengingatkan, kalau persaingan di level pilkada ini sangat kompetitif. Karena pesertanya terbatas. Pemilahan masyarakat lebih kelihatan. Sehingga isu-isu 'black campaign' biasanya dimunculkan untuk menjegal lawan.

“Cara-cara seperti itu sebenarnya sudah tidak terlalu efektif (jika ingin menjegal lawan). Masyarakat sudah bisa berpikir secara cerdas. Masyarakat mulai meningkat kecerdasan politiknya,” tandasnya.