Ekonomi Ambruk Dihantam Pandemi, Begini Pendapat Ekonom Kaltim
Penulis: Yusuf
Senin, 08 Juni 2020 | 1.237 views
Samarinda, Presisi.co - Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Hairul Anwar, menyebut pandemi Covid-19 sebagai disrupsi yang memaksa pelaku ekonomi untuk segera berbenah diri.
Cody sapaan karibnya menyebut, kondisi ekonomi yang disebabkan oleh pandemi global ini, berbeda dengan krisis ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia di Tahun 1998 dan resesi 2008, yang berdampak pada menurunya daya beli masyarakat.
"Pada saat itu, yang kena hantaman keras hanya dari sisi demand dan bisnis-bisnis menengah besar saja. Pemerintah merespons dengan mengeluarkan bantuan langsung tunai (BLT). Tahun 98 dan 2008 kan mirip cara penanganannya," sebut Cody, saat dihubungi lewat telepon seluler oleh Presisi.co, Senin (8/6/2020) siang.
Kali ini sangat berbeda, kerusakan terjadi pada sisi demand dan supply. Ia menyebut, akibat pandemi yang semula tersebar di Wuhan, Tiongkok itu masuk ke Indonesia, pelaku industri besar, kecil, mikro dan konsumen turut terdampak secara ekonomi.
"Gimana industri bisa berproduksi jika dihadapkan pada masalah bahan baku dan segala macam pembatasan yang ada. Akibatnya, pendapatan turun drastis, PHK karyawan dan produksi melorot." terangnya.
Minimnya pendapatan selama pandemi ini berlangsung, lanjut dikatakan Cody jadi sebab turunya daya beli masyarakat. Meski industri tetap berjalan, tak berarti daya beli berangsur normal.
"Keluar (rumah) aja was-was. Engga bisa berharap. Akhirnya, belanja drastis turun. Industri juga kolaps," ungkapnya.
Terkait itu, Cody menyebut pemerintah tak lagi bisa menerapkan pola yang sama seperti yang terjadi di Tahun 98 dan 2008. Meski BLT disalurkan melalui banyak pintu penyaluran, dari tingkat pusat hingga desa, namun hal tersebut belum menunjukan perubahan pada roda perekonomian.
"Topiknya sih bantuan, sebenarnya itu kan menajaga agar masyarakat tetap belanja. Kita tidak belanja, pemerintah yang belanjanya makin besar," ungkapnya.
Sementara, untuk kebijakan yang berpihak kepada para pengusaha. Pemerintah disebut Cody telah melakukan relaksasi fiskal dan moneter untuk mengurangi beban pengusaha sehingga diharapkan bisa menahan angka PHK karyawan dengan kebijakan terkait penundaan pembayaran kredit di bank hingga pajaknya.
Pun begitu terkait upaya pemerintah yang disebutnya mengurangi pengeluaran masyarakat di masa pandemi ini. Pemerintah dikatakan Cody membebaskan pembayaran listrik terhadap pelanggan dengan daya 450 Volt Ampere (VA) dan memberikan diskon 50 persen bagi pelanggan dengan 900 VA bersubsidi.
"Bagi kebanyakan orang, menyebut itu sebagai supaya mempertahankan kelangsungan hidup. Sementara ekonom memandang itu sebagai upaya untuk mempertahankan daya beli masyarakat," sebutnya.
"Kalau orang gak belanja, roda ekonomi kita macet," tambahnya lagi.
Ia memastikan, jika roda ekonomi di Indonesia berhenti, maka sebab yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat, akan lebih buruk dari dampak yang dibawa corona saat ini.
"Pemerintah kita ini engga kaya-kaya banget, jadi jangan juga dituntut berlebihan," sebutnya.
Indonesia Butuh Rp 1.439,8 Trilliun untuk Tangani Dampak Covid-19
Foto : Menteri Keuangan RI - Sri Mulyani (Foto : Facebook/Sri Mulyani Indrawati)
Dikutip dari CNN Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani merinci kebutuhan anggaran yang dibutuhkan negara untuk menangani dampak corona, adalah sebesar Rp 1.439,8 trilliun. Dana tersebut bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.289,43 trilliun ditambah penarikan pinjaman Rp 150,5 trilliun.
Ia merinci, sekitar Rp 856,8 triliun dipenuhi dari lelang utang di pasar domestik dan luar negeri, penerbitan SBN ritel, private placement, serta penerbitan surat utang berdenominasi rupiah dan valuta asing.
"Terdiri dari SBN valas Rp132 triliun, SBN ritel diperkirakan Rp60 triliun, private placement Rp10 triliun, sisanya dari lelang SBN dua mingguan dan SUN konvensional serta sukuk," kata Ani, panggilan akrabnya, dalam rapat virtual dengan Komisi XI DPR, Rabu (6/5), seperti yang Presisi kutip dari CNN Indonesia.
Lanjut dikatakan Sri Mulyani, kebutuhan utang yang besar membuat target serapan utang dari hasil lelang meningkat dari Rp20 triliun pada 2018-2019 menjadi Rp35 triliun sampai Rp45 triliun per dua pekan tahun ini. Target itu dijalankan mulai kuartal II sampai kuartal IV 2020.
Ia mengestimasi dari kebutuhan penerbitan utang Rp856,8 triliun, pemerintah mengestimasikan Bank Indonesia (BI) setidaknya bisa membeli surat utang berkisar Rp106 triliun sampai Rp242 triliun. Proyeksi ini merujuk pada kapasitas pasar pada 2018-2019.
"Angka dari BI kemungkinan Rp125 triliun dengan suku bunga yang sama karena memang BI mengikuti lelang dengan mekanisme pasar, bahkan greenshoe dan private placement," ucapnya.