search

opini

Kisah Petugas MedisCovid-19indonesia

Cerita Dokter dan Relawan COVID-19, Ada Harapan untuk Setiap Perjuangan

Penulis: Redaksi Presisi
Sabtu, 09 Mei 2020 | 1.277 views
Cerita Dokter dan Relawan COVID-19, Ada Harapan untuk Setiap Perjuangan
dr. Debryna Dewi Lumanauw. Sumber Foto (Internet)

COVID-19 bukan flu biasa. Untuk itulah, kompleks Wisma Atlet telah diatur sedemikan rupa untuk menampung pasien COVID-19 dengan standar kesehatan dan keamanan yang ekstra. Inilah yang kami, para tenaga medis, pelajari dalam sesi pengarahan ketika kami pertama kali menginjakkan kaki di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet.

Mandat untuk membangun rumah sakit ini baru disampaikan dalam sepekan sebelum kami bertugas. Dalam waktu yang relatif singkat ini, tindakan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit bagi petugas telah disiapkan.

Semua petugas menjalani check-up medis oleh dokter, diperiksa darahnya, dan bahkan diberi suplemen kesehatan. Kami juga menjalani tes rapid untuk COVID-19. Puji Tuhan, di tim kami, semua hasilnya negatif. 

Dalam sesi pengarahan pada hari pertama, kami dijelaskan tentang tiga zona di kompleks ini, yakni Merah, Kuning, dan Hijau. Semua gerbang dijaga ketat oleh tentara yang masing-masing membawa pengukur suhu (termometer).

Setiap ada yang berpindah dari satu zona ke zona lainnya, orang tersebut akan menjalani penyemprotan/mandi untuk dekontaminasi. Pos mandi ini juga dijaga oleh tentara. Terkadang saya malah merasa pos mandi ini justru menyegarkan di tengah udara Jakarta yang panas dan lembab.

Setelah proses persiapan dan pemeriksaan yang komprehensif, para dokter dan tenaga medis lainnya ditempatkan untuk bekerja di Zona Merah. Begitu memasuki zona ini, kami sudah menganggap diri kami ODP sehingga kami berkomitmen untuk tidak akan bebas keluar dari sini sebelum dikarantina selama 14 hari.

Zona Hijau adalah yang paling tidak terpapar dan biasanya diperuntukkan bagi staf administrasi, logistik, dan non-medis lainnya. Sementara itu, bagian administrasi, area untuk rapat, dan pusat informasi (call center) berlokasi di Zona Kuning.

Saya sendiri suka berkunjung ke bagian pusat informasi, yang menerima semua telepon dan pesan dalam 24 jam sehari dan memberikan rujukan terkait COVID-19 dari dan ke rumah sakit ini.

Berbeda dengan rumor yang beredar di media sosial, di sini terdapat banyak personel dan bukan hanya dari TNI atau Kemenkes. Ada banyak lembaga pemerintah, BUMN, asosiasi profesi lain, serta organisasi nirlaba yang bersatu dengan Gugus Tugas COVID-19. Situasi di sini cukup pelik. Jelas terlihat di foto berikut.

Sebelum terjun ke lapangan, kami juga mendapat arahan tentang penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Mengingat tingginya risiko terpapar selama bertugas, kami harus memastikan bahwa kami mengenakan APD dengan benar. 

Kami mengenakan 2-3 lapis baju atau apron, scrubs, dan surgical capsebelum memakai coverall (baju astronot). Coverall yang kami pakai mungkin bukan yang paling bagus di pasaran, tapi paling tidak menutupi badan 360° dan tahan air (ingat, virus ini sebagian besar berada di droplets). Lalu, kami memakai sarung tangan bedah lapis dua (di dalam dan luar coverall), masker lapis dua (bedah dan N95), dan pelindung mata (goggles).

Pelindung mata ini awalnya sangat tidak nyaman karena selalu berembun tapi dapat diakali dengan menyapukan tipis odol lalu diberi air (tapi terasa pedas) atau disemprot dengan anti fog yang biasa dipakai untuk menyelam. Terakhir, kami memakai sepatu bot. Semua ini kami pelajari dan praktekkan dahulu dalam sesi pengarahan. 

Ketika sudah mulai bertugas, kami semakin berhati-hati. Karena benar-benar tidak mau ada lubang atau rongga, kami mengencangkan APD dengan selotip di mana-mana. Biasanya, sebelum berangkat bertugas, sesama tenaga medis akan saling mengecek jika masih ada bagian yang bolong.

Mengingat rumitnya pemakaian APD yang aman dan komitmen kami untuk menghemat apapun sumber daya yang ada, kami memilih untuk memakai popok dewasa dan menahan pipis, makan, dan minum selama shiftberlangsung. Saat melepaskannya pun, ada aturannya. 

Saya menceritakan ini karena dua hal. Pertama, penting untuk dimengerti bahwa kami tidak sedang main-main. Pandemi ini masalah serius. Kedua, saya ingin membagi pesan dari dr. Nina Nur Kharima, kawan saya seorang residen paru, yang menyebutkan bahwa memiliki sikap steril yang benar adalah hal yang sama pentingnya dari kelengkapan APD itu sendiri.

Memakai masker N95 tapi masih sering mengucek mata, mengonsumsi dosis tinggi vitamin C tapi berkerumun dengan orang, dan memakan superfood dan minum jamu cold brew tapi tidak punya kebiasaan mencuci tangan dengan benar adalah contoh yang tidak baik. Kita harus konsisten dalam segala hal.

Di RS Darurat, jadwal kerja dibagi menjadi tiga jadwal jaga, yakni pagi (pukul 06.00-14.00), siang (14.00-22.00), dan malam (22.00-06.00). Pada hari ke-3, saya mulai bekerja di departemen gawat darurat (emergency department).

Saya tidak menyangka hari itu cukup melelahkan. Kami mulai bekerja dari sekitar pukul 5 pagi dan selesai pukul 3 sore. Pagi itu kami sudah kewalahan di IGD, bukan hanya karena pasien tapi juga karena tidak ada bantuan housekeeping porter untuk menerima titipan barang pasien dan security triage.

Kami ingin lingkungan kerja kami bersih dan nyaman, jadi kami membelah diri untuk menyapu, menyiapkan tabung oksigen, dan melakukan pekerjaan lainnya. 

Untunglah setelah agak siang, relawan non-medis datang, dan kami baru bisa duduk. Menurut saya, kontribusi mereka sangat signifikan. Tanpa bantuan berbagai pihak yang mendukung para tenaga medis, kami tidak bisa tetap waras dan sehat menjalani perang ini. 

Hanya karena media menganggap cerita mengenai relawan non-medis tidak menarik, bukan berarti mereka tidak perlu mendapatkan apresiasi dari publik. Saat itu, saya juga merasakan kekompakan dan rasa saling menghormati yang luar biasa di antara semua relawan.

Dengan cara atau dalam bentuk apapun, mereka melakukan tugas dengan senang hati dan tulus. Mungkin tekad kami yang sama-sama absolut dan keikhlasan inilah membuat kami mudah bersinergi. 

Sebagai tenaga medis, tugas utama kami adalah memeriksa dan memantau kondisi pasien yang menjalani isolasi mandiri di RS ini. Pasien-pasien ini pada intinya adalah mereka yang masih bisa beraktivitas secara normal tetapi berada dalam isolasi. Pasien tinggal sendiri atau berdua (tergantung kriteria) dalam sebuah kamar yang menurut saya cukup nyaman.

Kamar mereka dilengkapi dengan termometer, alat mandi, peralatan makan dan minum, alat pembersih, dan kantong sampah. Setiap pagi pukul 07.00 dan malam pukul 19.00, kami meminta pasien melaporkan suhu badan. Mereka disediakan makanan tiga kali sehari tetapi juga boleh menerima barang/makanan dari luar. Perawat akan mengantarkannya ke kamar mereka. Mereka juga boleh keluar dari kamar tetapi wajib memakai masker dan menjaga jarak.

Pagi hari biasanya adalah jadwal saya mengunjungi (visit) pasien, sekitar pukul 9-10. Saya senang sekali mendapati banyak pasien bersemangat melakukan olahraga ringan dan berjemur di bawah sinar matahari, sesuai saran kami.

Jadwal visit ini pun saya manfaatkan untuk berinteraksi lebih jauh dengan mereka dan membicarakan banyak hal, mulai dari cerita sehari-hari sebelum mereka tinggal di RS hingga tips membuat kue. Yang membuat saya tersentuh adalah pasien seringkali mengutarakan rindu mereka pada keluarga di rumah, dan inilah yang memotivasi mereka untuk segera sembuh. 

Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa sikap positif ditunjukkan bukan hanya oleh pasien tetapi juga para tenaga medis. SARS-CoV-2 adalah virus baru, dan belum ada yang dapat disimpulkan secara pasti tentang virus ini dan penyakit yang diakibatkan olehnya. 

Di lapangan, kami selalu menemukan hal yang baru dan di luar perkiraan. Misalnya, ada banyak pasien yang tidak bergejala, umumnya berusia di bawah 40 tahun, tetapi hasil tesnya positif. Tentu ini harus menjadi perhatian karena risiko penularan Orang Tanpa Gejala sama besarnya dengan yang bergejala sedang hingga kronis. Menghadapi ini, tenaga medis di seluruh dunia seolah sedang berperang dengan musuh yang tidak terlihat dan bersatu melawannya.

Di RS ini, setiap hari ada materi baru dari jurnal yang kami pelajari bersama. Konferensi kesehatan yang biasanya berbiaya menjadi gratis dan dapat diakses dari jauh. Kami juga mengikuti webinar sejawat medis seluruh Indonesia untuk berbagi pengalaman dalam menangani COVID-19. 

Agar tetap sehat dan kuat dalam perang melawan COVID-19, kami menyelipkan jadwal berolahraga di sela jam kerja. Contohnya, kami mengadakan sesi cardio yang menyenangkan dan saya pribadi berusaha membuat kettlebell sendiri. Kami juga menjaga asupan nutrisi dengan strategi food portioning. Misalnya, setiap kali makan, makanan kami harus habis.

Ini adalah upaya untuk mengelola bahan makanan secara efisien agar cukup untuk konsumsi jangka panjang. Saya sendiri walau tidak terbiasa sarapan tetap makan pagi secara teratur sebelum menggunakan APD. Supaya tidak merasa mual, saya memilih makanan yang padat kalori dengan GI/GL rendah, seperti kacang.

Di kamar tidur, kami juga punya pojok suplemen. Yang sering saya konsumsi saat badan terasa lelah di antaranya adalah madu, vitamin D, minyak MCT, minyak ikan, vitamin C, suplemen BCAA, dan multivitamin. 

Di samping itu, tidur kami harus cukup agar daya tahan tubuh baik. Kami selalu mengingatkan diri sendiri bahwa kami bukan manusia super. Artinya, tubuh kami punya batasan. Demikian juga dengan kesehatan mental, yang kami jaga dengan tidak membicarakan COVID-19 setiap waktu.

Untuk memastikan bahwa kondisi kami selalu prima, kami menerapkan sistem buddy bagi semua petugas di Zona Merah agar kami saling menjaga karena jika ada satu saja yang sakit, hal ini akan berdampak pada yang lain.

Lalu, secara berkala, kami akan dites COVID-19. Jika hasilnya negatif, kami diberikan pilihan untuk pulang ke rumah atau melanjutkan tugas. Kalau positif artinya kami akan menjadi pasien (semoga tidak). Pada hari ke-14, hasil tes saya keluar, yakni negatif. Seketika teman saya bertanya apakah saya akan lanjut bertugas, dan saya mengiyakan.

Tidak terasa dua minggu sudah berlalu. Saya akan mempergunakan waktu karantina ini untuk beristirahat sebelum bertugas lagi. Jujur, ternyata saya sangat merindukan kehidupan sehari-hari saya, meski sebelumnya saya pikir saya lebih tangguh daripada ini.

Selama ini, saya mendapatkan banyak sekali dukungan berupa pesan-pesan baik, gambar, video, dan kiriman makanan. Saya sangat berterima kasih akan semua ini dan saya yakin jika bukan karena dukungan yang luar biasa dari semua masyarakat dan petugas di rumah sakit ini, kami tidak bisa melalui ini semua dengan mentalitas yang baik. 

Saya tahu ini melelahkan bagi kita semua. Kerugian yang kita lihat sekarang masih akan berlanjut, mungkin lebih dari yang dapat kita tanggung. Namun, sebagaimana dalam skenario bencana alam atau terorisme, yang benar-benar harus kita hindari adalah menyebarkan ketakutan dan kepanikan yang tidak perlu.

Banyak dari kalian yang sangat kooperatif dan bahkan mau membantu sebagai relawan atau berdonasi, tetapi jangan sampai kita menghabiskan sumber daya dan energi di awal tapi kekurangan setelahnya. Bagaimanapun, pandemi ini akan berlangsung lebih lama dari yang kita harapkan sehingga daya tahan (endurance) kita harus dijaga. 

Terlepas dari itu semua, tetaplah berada di rumah dan perhatikan kebersihan kalian. Kami sebagai tenaga medis hanya bisa mengurangi kerusakan yang sudah terjadi. Kami hanya seporsi kecil dari usaha melandaikan kurva, dan saya pun disadarkan bahwa sebagai manusia, kami punya batasan energi. 

Untuk itu, supaya ini semua berakhir, kami perlu kalian semua untuk diam di rumah agar tidak menyebarkan virusnya. Sebagaimana yang saya resapi selama dua minggu di sini bersama tenaga medis, relawan non-medis, dan para pasien, ingatlah bahwa dalam setiap perjuangan selalu ada harapan.

Penulis: dr. Debryna Dewi Lumanauw

Sumber : Kawalcovid19.id