search

Berita

dpr ribank indonesiaDampak Covid-19Coronaindonesia

DPR RI Usul Bank Indonesia Cetak Uang Hingga Rp 600 Triliun Untuk Biayai Dampak Covid-19

Penulis: Presisi 1
Jumat, 01 Mei 2020 | 1.507 views
DPR RI Usul Bank Indonesia Cetak Uang Hingga Rp 600 Triliun Untuk Biayai Dampak Covid-19
Ilustrasi

Presisi.co – Sejumlah strategi disiapkan pemerintah dalam mengatasi penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. Para wakil rakyat yang duduk di Senayan pun tengah sibuk meramu beragam skenario penganggaran untuk mengatasi dampak yang disebabkan oleh pandemi ini.

Diketahui, kehadiran Covid-19 atau virus corona tak hanya mengancam jiwa orang yang terjangkit. Ekonomi nasional, bahkan ikut tergulung dihantam tsunami pandemi global ini.

Dikutip dari website resmi DPR RI, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah menilai, besarnya kebutuhan pembiayaan yang di perlukan pemerintah saat ini belum mencukupi.

Itu dikatakan Said, berdasarkan ancaman likuiditas perbankan akibat menurunnya aktivitas ekonomi nasional dan ketidakmampuan para debitur membayar kredit.

“Besarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan,” kata Said dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/4/2020).

Banggar DPR RI dikatakan Said mengeluarkan enam rekomendasi yang ditujukan kepada Bank Indonesia dan pemerintah. Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas. 

Selanjutnya, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.

Selain itu, Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar. 

“Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah,” lanjutnya.

Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud sebelumnya, dinilai Said harus memperhitungkan biaya operasi moneter Bank Indonesia. Sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada Pemerintah. “Oleh sebab itu, besaran yieldnya tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter Bank Indonesia, agar tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Indonesia, serta tidak menyebabkan modal Bank Indonesia lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya,” jelas Said.

Adapun kebijakan mencetak uang nantinya, juga perlu memperhitungkan dampak inflasi yang ditimbulkan, sekaligus tekanan kurs terhadap rupiah. “Demikian pokok-pokok rekomendasi kami, kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan Bank Indonesia dan pemerintah sebagai jalan pemulihan program ekonomi nasional,” tutupnya.