Eks Kepala BMKG Peringatkan Indonesia Terancam Bencana Beruntun hingga Maret Akibat Cuaca Ekstrem
Penulis: Rafika
8 jam yang lalu | 29 views
Ilustrasi banjir. (Pexels.com)
Presisi.co - Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, sekaligus Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan Indonesia tengah menghadapi ancaman berlapis yang dipicu kombinasi faktor iklim, cuaca ekstrem, kondisi geologis, serta kerusakan lingkungan yang semakin serius.
Ia menilai, rangkaian bencana hidrometeorologi yang muncul belakangan ini tidak bisa dipandang sebagai kejadian terpisah.
Perempuan yang akrab disapa Rita itu menyebut potensi bencana di berbagai daerah masih sangat besar, terlebih dengan tingkat kerentanan wilayah yang terus meningkat, mulai dari curah hujan yang kian tinggi, kemunculan bibit siklon yang lebih sering, hingga menyusutnya tutupan hutan.
Situasi tersebut, kata Rita, menempatkan Indonesia dalam posisi “terkepung” risiko.
“Saya lebih khawatir begini, giliran berikutnya mana?” ujarnya dalam acara Pojok Bulaksumur, UGM, Kamis, 4 Desember 2025, dilansir dari Suara.com --jaringan Presisi.co.
“Ini curah hujan meningkat terus, bibit-bibit siklon akan semakin sering muncul, kemudian lahannya berkurang, hutannya berkurang, kita saat ini terkepung,” lanjutnya.
Rita memaparkan bahwa pola siklon yang kini berkembang membuat wilayah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara berpotensi terdampak cukup besar dalam beberapa bulan mendatang.
Setiap November hingga Maret, kawasan selatan Indonesia kerap dilintasi siklon dari Samudera Hindia, belum termasuk berbagai anomali pergerakan siklon yang kini makin sulit diprediksi.
“Sudahkah kita siap? Kalau itu bersamaan, kita dikeroyok,” katanya.
Eks Rektor UGM itu menegaskan bahwa persoalan bukan lagi soal kesiapan sistem peringatan dini, karena BMKG sudah mengeluarkan peringatan sejak jauh hari.
Masalah utamanya adalah lemahnya kebijakan lingkungan, khususnya terkait tutupan hutan dan pengelolaan bentang alam yang rentan.
Ia menjelaskan bahwa banjir bandang yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat dipicu pola siklon yang tidak lagi mengikuti jalur normal. Siklon kini tidak hanya bergerak di laut, tetapi juga masuk ke daratan dan melintasi kawasan yang seharusnya menjadi benteng alami.
Selain faktor iklim dan cuaca, Rita menekankan bahwa Indonesia memiliki kerentanan geologis bawaan akibat proses tumbukan lempeng yang telah berlangsung sejak ribuan tahun. Banyak wilayah memiliki perbukitan curam yang mudah retak, patah, dan memicu longsor.
Kerentanan itu diperburuk oleh masifnya perubahan penggunaan lahan selama beberapa dekade terakhir serta kenaikan suhu permukaan akibat konsentrasi gas rumah kaca. Dampak antropogenik membuat jarak waktu antar bencana semakin pendek.
“Kalau enggak usah diubah, enggak usah dirusak lahannya, itu udah rapuh, apalagi dirusak. Sekarang kejadiannya mungkin 5 tahun, 10 tahun terulang lagi. Itu yang pengaruh antropogenik,” ujarnya.
Dwikorita menekankan bahwa Indonesia masih menghadapi ancaman beruntun hingga beberapa bulan ke depan. Bencana di Sumatera, menurutnya, hanyalah pembuka dari periode panjang risiko akibat dinamika iklim, geologi, dan aktivitas manusia.
“Poinnya adalah ke depan, sampai Maret nanti, kita itu sebenarnya belum selesai (dari ancaman bencana hidrometeorologi),” tandasnya. (*)