search

Opini

Job FairEko SuprihatnoBekasi Pasti Kerja 2025Double Job

Job Fair versus Double Job, Apa yang Salah?

Penulis: Eko Suprihatno
4 jam yang lalu | 23 views
Job Fair versus Double Job, Apa yang Salah?
Eko Suprihatno, Pimpinan Redaksi Presisi.co. (Dok)

Presisi.co - Publik terhenyak ketika pada Selasa, 27 Mei 2025 berlangsung job fair bertajuk Bekasi Pasti Kerja 2025 di President University Convention Center, Jababeka, Cikarang, Jawa Barat berujung kericuhan.

Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi sudah pasti berniat mulia, membuka akses bagi para pencari kerja. Tercatat ada 2.500an lowongan kerja dari 64 perusahaan dan kedatangan tak kurang dari 25 ribu pencari kerja.

Bukan cuma sekali ini saja job fair selalu dipenuhi pencari kerja, mencoba tantangan baru, atau mungkin saja sekadar memenuhi hasrat ingin merasakan keramaian berburu pekerjaan. Namun yang cukup mengagetkan adalah komentar Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Republik Indonesia Sunardi Manampiar Sinaga, yang menyebutkan membludaknya pencari kerja pada job fair tersebut bukan sebagai potret sulitnya mencari pekerjaan. Hal itu lebih kepada tingginya animo masyarakat terhadap lowongan pekerjaan.

"Kalau dibilang job fair yang di Bekasi membludak bahkan ricuh sebagai potret sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia, saya kira kurang tepat," kata Sunardi seperti dilansir detikcom, Rabu, 28 Mei 2025.

Pernyataan yang mungkin menjadi kontroversi ketika membandingkan dengan peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah orang yang belum mendapatkan pekerjaan mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025 secara tahunan (year on year/yoy), bertambah 83,45 ribu dibandingkan Februari 2024. (kumparan.com 5 Mei 2025).

Tapi bantahan pejabat Kemnaker tersebut bisa dipahami. Pemerintah jelas tidak akan mengakui bahwa kericuhan di job fair itu menjadi bukti betapa sulitnya mencari pekerjaan di negeri ini. Barangkali yang harus dikoreksi adalah komunikasi publik agar masyarakat tidak meradang. Sudah banyak contoh komunikasi publik pejabat pemerintah yang kontroversi.

Akan lebih bijak bila Kemnaker menyebutkan ke depan lebih bijak menggunakan sarana daring untuk meminimalkan kerumunan pencari kerja. Hal itu dilakukan untuk mengurangi potensi kekisruhan. Atau gunakan saja bahasa yang menyejukkan agar publik merasa pemerintah terbantu niat baik pemerintah.

Ketika banyak warga yang berjibaku mencari pekerjaan, seperti berbanding terbalik dengan pengangkatan petinggi negeri yang berposisi sebagai wakil menteri. Mereka justru mendapat pekerjaan baru sebagai komisaris utama atau komisaris di sejumlah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). Tercatat ada 23 wakil menteri yang didapuk mengisi posisi-posisi tersebut.

Adakah yang salah? Tentu tergantung pada persepsi mereka yang melihatnya. Jika mengacu pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, MK menegaskan larangan rangkap jabatan yang berlaku pada menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) juga harus berlaku terhadap wakil menteri.

Menurut Mahkamah, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, namun karena pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri, maka wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri. (mkri.id)

Bahkan mantan Ketua Mahfud MD menyatakan wakil menteri dilarang merangkap jabatan (double job) di BUMN. Mahfud tegas mengutip Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 sebagai dasar, walau di UU Kementerian Negara larangan untuk wakil menteri tidak tertulis secara literal. "MK berpendapat larangan terkait wakil menteri ini enggak perlu diputuskan dalam sebuah amar karena bagi MK larangan yang melekat pada menteri melekat juga pada wakil menteri," ucapnya seperti disitat kompas.com.

Namun bagi pemerintah, karena tidak ada penyebutan wakil menteri dilarang rangkap jabatan di perusahaan BUMN, tentu boleh-boleh saja menunjuk sang pejabat sebagai komisaris utama atau komisaris. Kita tunggu siapa lagi wakil menteri yang akan melakoni double job tersebut, ketika masyarakat justru berjibaku di job fair.

Penulis:

Eko Suprihatno
Pimpinan Redaksi Presisi.co


Disclaimer Redaksi

Tulisan ini merupakan tajuk rencana resmi Redaksi Presisi.co yang disampaikan oleh Pimpinan Redaksi. Tajuk ini merepresentasikan sikap dan pandangan redaksional terhadap isu premanisme serta respons aparat penegak hukum sebagaimana dikaji melalui fakta, data, dan perspektif sosial.