UU TNI Digugat ke MK, Kelvin Oktariano Mahasiswa UI dari Samarinda Jadi Sorotan
Penulis: Akmal Fadhil
Selasa, 25 Maret 2025 | 279 views
Kelvin Okatarino (dua dari kanan) Mahasiswa FH UI saat melayangkan gugatan ke MK bersama rekan-rekannya. (istimewa)
Samarinda, Presisi.co – Kelvin Oktariano, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) asal Samarinda, turut menggugat Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru disahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lulusan SMAN 1 Samarinda ini menilai bahwa pengesahan UU tersebut cacat formil karena melanggar prinsip transparansi dan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Kelvin menyoroti bahwa masyarakat seharusnya dapat mengakses naskah akademik dan draf RUU sebelum pengesahan, tetapi pemerintah justru membatasi akses dengan alasan mencegah perdebatan.
"Yang jadi pertanyaan besar adalah transparansi. Seharusnya, dalam negara demokrasi, dokumen kenegaraan bisa diakses publik. Namun, DPR malah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) secara tertutup dan tidak menyertakan draf RUU untuk dibahas," ujar Kelvin kepada Presisi.co, Selasa (25/3/2025).
Kelvin menegaskan bahwa UU TNI ini tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas sehingga pengesahannya melanggar prosedur legislasi. Bersama rekan-rekannya, ia berharap MK membatalkan UU tersebut karena tidak sesuai dengan konstitusi.
"Kami menggugat kecacatan formil ini. Besar harapan agar UU ini dapat dikembalikan seperti semula," katanya.
Kelvin bukan nama asing di dunia akademik dan debat. Sejak di SMAN 1 Samarinda (Smansa), ia aktif dalam ekstrakurikuler debat dan berhasil meraih Champion dan Second Best Speaker of National LDBI 2023. Prestasinya membawanya ke FH UI, di mana kini ia tergabung dalam tujuh mahasiswa penggugat UU TNI di MK.
Dalam gugatan ini, Kelvin dan rekan-rekannya didampingi dua kuasa hukum, Abu Rizal Biladina dan Muhammad. Para mahasiswa yang ikut menggugat adalah Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R. Yuniar A. Alpandi.
"Kami berharap masyarakat sipil terus mengawal kasus ini, karena banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi," pungkasnya. (*)